sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berebut kuasa di Partai Kakbah

Suharso Monoarfa hingga Arsul Sani siap berebut kursi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP menggantikan Romahurmuziy.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 19 Nov 2019 22:45 WIB
Berebut kuasa di Partai Kakbah

Suharso Monoarfa hingga Arsul Sani siap berebut kursi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggantikan Romahurmuziy.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP Achmad Baidowi mengatakan musyawarah kerja nasional (mukernas) akan digelar pada 14-16 Desember 2019 untuk menentukan jadwal muktamar. Menurut dia, orang yang berhak mengikuti mukernas ialah pengurus PPP yang sah sesuai keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).

"Di luar itu, tidak boleh pihak-pihak yang mengatasnamakan PPP melakukan melaksanakan muktamar. Saya kira itu clear," kata Baidowi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11).

Awiek, sapaan akrabnya belum memastikan siapa yang bakal bertarung merebut kursi nomor satu di partai berlambang kakbah itu. Namun demikan, ia menyebutkan sejumlah nama yang disebut-sebut akan menjadi calon ketua umum PPP.

"Tetapi kalau pun yang ada saat ini kan ada beberapa yang disebut di antaranya Plt Ketum (Suharso Monoarfa), Mardiono, Arsul Sani, Muqowwam, ada juga Ketua Fraksi PPP Amir Uskara, Waketum. Itu yang disebut punya peluang maju sebagai Ketum PPP," ujar dia.

Ketika disinggung apakah Humphrey Djemat juga ikut bertarung, Awiek mengatakan boleh-boleh saja. Namun demikan, kata dia, peluang Humphrey lolos sangat kecil karena kemungkinan Humphrey dikenal oleh kader PPP terbilang minim.

"Ya susah kami menjelaskannya. Yang milih DPC (dewan pimpinan cabang) dan DPW (dewan pimpinan wilayah). Kenal enggak dia sama Humphrey? Kan begitu," ujarnya.

Di sisi lain, Awiek mengatakan mukernas bukan ajang untuk islah sebagaimana yang berkembang beberapa hari terakhir. Sebab, kata dia, kedua kubu sudah bersatu dalam mukernas di Asrama Haji Pondok Gede, 2016 lalu.

Sponsored

"Tapi kalau oknum-oknum mengatasnamakan PPP menyatakan PPP belum selesai konfliknya itu oknum. Jangankan oknum, ngaku sebagai sekjen, zaman nabi saja, ada nabi palsu," pungkas Awiek.

Kepengurusan PPP terbelah sejak 2014. Muasal pertikaian adalah penetapan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sebagai tersangka korupsi dana haji oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketika itu, sejumlah pengurus yang dimotori Rommy, sapaan akrab Romahurmuziy, memecat Suryadharma. Suryadharma merespons dengan memecat balik Rommy. 

Bukannya mereda, perselisihan kian panas. Masing-masing kubu kemudian menghelat muktamar, yakni di Surabaya dan Jakarta. Di Muktamar Surabaya, Rommy dikukuhkan sebagai Ketua Umum PPP.

Pada 2 November 2014, Djan Faridz ditetapkan sebagai Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta. Pada 9 April 2016, Rommy kembali dikukuhkan sebagai ketum pada Muktamar Pondok Gede. 

Tak selesai, kedua kubu saling mendaftar kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun, pada Juni 2017, Mahkamah Agung (MA) lewat putusan No. 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016 memutus PPP yang resmi adalah kubu Romy.

Pascaputusan MA, konflik belum juga mereda. Kubu Muktamar Jakarta kemudian menggelar mukernas pada November 2018. Hasilnya, Humphrey Djemat terpilih sebagai pelaksana tugas ketua umum menggantikan Djan Faridz.

Perselisihan ini berdampak pada dukungan PPP di Pilpres 2019. Kubu Humphrey mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sedangkan kubu Rommy mendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf).

Berita Lainnya
×
tekid