sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BPK didesak lakukan audit terhadap ACT

DPR meminta BPK dan Kemensos turun tangan dalam kasus ACT.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 05 Jul 2022 13:17 WIB
BPK didesak lakukan audit terhadap ACT

Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto, meminta aparat penegak hukum memproses dugaan penyelewengan dana umat yang dihimpun filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Yandri juga meminta Kementerian Sosial (Kemensos) untuk memetakan sanksi terhadap lembaga sosial yang melakukan penyelewengan dana bantuan.

"Penyelewengan ACT ditindak hukum, memastikan penyelewenangan itu harus disanksi tegas," ujar Yandri kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/7).

Menurut politikus PAN ini, apabila penyelewengan dana oleh ACT tidak ditindaklanjuti, dikhawatirkan akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat ke lembaga sosial atau lembaga amal lainnya.

"Nah, ini jangan sampai tafsir masyarakat seperti itu," katanya.

Yandri mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga perlu melakukan audit terhadap dana yang dihimpun ACT selama ini. Menurut dia, pihak BPK dalam tujuan tertentu dapat dilibatkan dalam mengaudit keuangan ACT.

"Oleh karena itu, perlu audit BPK dengan tujuan tertentu bisa dilakukan, karena telah lama berdiri dan menghimpun dana yang luar biasa," kata dia.

Di sisi lain, Yandri juga menekankan agar Kemensos perlu mengatur secara tegas lembaga filantropi atau yayasan-yayasan yang menghimpun dana masyarakat untuk kegiatan sosial. Dia menambahkan, Kemensos harus membuat aturan yang rinci menyangkut masalah sanksi, apakah itu sanksi terhadap yayasan atau lembaganya, ataukah sanksi individu-individu yang terlibat, dalam hal ini pidana. 

"Dengan begitu, keterlibatan atau kepedulian maayarakat bisa terjaga dengan baik, jangan gara-gara oknum beberapa yayasan atau oknum beberapa individu membuat jiwa gotong royong atau jiwa sosial publik menjadi terganggu atau bisa juga hilang," ucap Yandri.

Sponsored

Sementara, anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, mengaku prihatin dengan kabar dugaan penyelewengan donasi umat yang dilakukan ACT. Guspardi berharap polisi mengusut tuntas dugaan penyelewengan dana tersebut karena jelas-jelas menyakiti masyarakat dan mencoreng nama dari lembaga-lembaga yang menghimpun dana masyarakat. 

"Merujuk laporan investigasi Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022, lembaga ACT di kabarkan limbung karena ditenggarai adanya dugaan penyelewengan dana umat. Donasi umat yang bertujuan untuk membantu kegiatan kemanusiaan, keagamaan, korban bencana alam, kelompok marginal dan anak yatim diduga dipakai untuk menumpuk kekayaan dan keperluan pribadi serta gaya hedonisme pendiri dan pengelola ACT," ujar Guspardi dalam keterangannya, Selasa (5/7).

Disebutkan, salah satu pengeluaran tertinggi ACT justru digunakan untuk menggaji pendiri dan mantan presiden ACT yang jumlahnya mencapai Rp250 juta per bulan. Kemudian, pejabat senior vice president Rp200 juta per bulan, vice president Rp80 juta, serta direktur eksekutif mendapat gaji Rp50 juta. 

Selain itu, para petinggi yayasan ini juga mendapat fasilitas mewah berupa kendaraan dinas, seperti Toyota Alphard, Honda CR-V hingga Mitsubishi Pajero Sport. 

"Tak hanya gaji yang tinggi dan fasilitas yang mewah, mantan Presiden ACT bahkan juga menggunakan dana ACT untuk membayar uang muka rumah hingga pembelian furnitur," kata Guspardi.

Dia menambahkan, selain diduga adanya penyelewengan dana, juga terdapat kampanye berlebihan yang dilakukan ACT. Salah satunya adalah kasus donasi untuk pembangunan Musala di Australia. ACT dalam kampanyenya, menggunakan narasi, 'Surau Pertama di Sydney'. Padahal, kata Guspardi, sudah ada ratusan tempat ibadah umat Islam di sana. 

"Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia pun menyatakan dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi. Padahal jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen," ujar Guspardi.

Karena itu, Guspardi meminta aparat penegak hukum memanggil para pengelola dan mengusut secara tuntas dugaan penyelewengan dana yang terjadi di lembaga ACT ini. Menurut dia, perlu adanya langkah-langkah hukum pihak kepolisian untuk membuka tabir dugaan penyelewengan dana bantuan bencana yang dikumpulkan dari masyarakat oleh ACT. 

"Proses hukum ini penting agar menjadi pelajaran dan memberikan efek jera bagi lembaga-lembaga filantropi lainnya sehingga tidak melakukan tindakan kejahatan serupa dan kasus ACT ini akan membuka fenomena gunung es adanya lembaga-lembaga yang mengatasnamakan kemanusiaan bahkan keagamaan untuk menguras donasi umat," ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid