Penampilan seorang kandidat pemimpin politik, penting dalam usaha memenangkan pemilihan. Orang biasanya dapat menebak siapa yang bakal memenangkan pemilihan, hanya dengan melihat foto-foto kandidat. Selain itu, politisi yang kompeten, dapat dipercaya, atau dominan punya keunggulan dibandingkan lawan-lawannya.
Seorang profesor di Concordia University sekaligus penulis The Evolutionary Bases of Consumption dan The Consuming Instinct, Gad Saad dalam Psychology Today mengatakan, dalam memilih, orang didorong oleh isyarat-isyarat sampingan yang sebagian besar tidak relevan dengan masalah kebijakan tertentu.
Tinggi badan kandidat, kata dia, merupakan isyarat yang paling berpengaruh. Dia mengambil contoh pemilihan Presiden Amerika Serikat, terutama pada masa Pemilu 2012, saat Barack Obama bersaing dengan Mitt Romney.
“Dalam sebagian besar pemilihan presiden (Amerika Serikat) selama 100 tahun terakhir atau lebih, kandidat yang lebih tinggi selalu menang,” tulis Saad.
Lalu, kualitas suara kandidat dan karisma pribadi. Kemudian, fitur wajah calon pemimpin, terutama laki-laki.
Menariknya, fitur wajah politisi ini diteliti oleh dua ilmuwan perilaku asal Jerman, yakni Jan R. Landwehr dan Michaela Wanke. Dalam penelitian mereka pada 2023, Landwehr dan Wanke menemukan, mata besar, mulut lebar, dan alis yang tipis meningkatkan kemungkinan kandidat politik meraup suara.
Dalam situs web The Society for Personality and Social Psychology (SPSP), Landwehr yang seorang profesor psikologi pasar dan konsumen di Goethe University Frankfurt menulis, dirinya dan Wanke melakukan tiga kali eksperimen.
Pertama, mereka meminta 27 orang dewasa Eropa menilai kemungkinan terpilihnya 20 gambar wajah perempuan dan 20 gambar wajah laki-laki yang tidak dikenal. Dari 17 karakteristik wajah, menurut dia, penilaian subjektif kemungkinan terpilih hanya terkait dengan mata besar, mulut besar, dan alis kecil.
Kedua, mereka melakukan percobaan yang melibatkan 396 orang dewasa di Amerika Serikat. Mereka memvariasikan ukuran mata, lebar mulut, dan ketebalan alis pada empat wajah perempuan dan empat wajah laki-lai. Peserta lalu memilih kandidat favorit mereka dalam pemilihan hipotesis di antara delapan wajah tersebut. Hasilnya, suara peserta dipengaruhi oleh ukuran mata, lebar mulut, dan ketebalan alis.
Ketiga, Landwehr dan Wanke menganalisis suara masing-masing kandidat di setiap distrik pemilihan anggota parlemen Jerman pada 2009. Mereka menganalisis foto wajah dari 1.458 kandidat. Hasilnya, kandidat dengan mata besar dan mulut lebar menerima lebih banyak suara. Namun, ketebalan alis tidak memprediksi perolehan suara dalam pemilihan yang sebenarnya.
“Perbedaannya hanya beberapa poin persentase, jadi ukuran mata dan mulut tidak akan mengubah hasil pemilihan dengan pemenang yang sudah jelas. Namun, karakteristik wajah ini dapat mengubah hasil dalam pemilihan umum yang ketat,” ujar Landwehr.
Atas hasil ini, Landwehr mengungkapkan, orang cenderung menganggap seseorang dengan mata besar dan mulut lebar lebih dapat dipercaya. Hal itu menjadi sebuah karakter yang sangat dihargai pada politisi. Sedangkan mulut lebar tampak seperti senyuman, yang menandakan orang lain kooperatif dan dapat dipercaya.
“Mengapa mata besar dan mulut lebar dianggap dapat dipercaya? Catatan evolusi tentang persepsi wajah menunjukkan, mata besar adalah karakteristik kekanak-kanakan, seperti bayi, yang menandakan dapat dipercaya,” tulis Landwehr.
Meski demikian, menurut profesor psikologi di Beloit College di Wisconsin, Lawrence T. White dalam Psychology Today, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, Landwehr dan Wanke hanya menggunakan wajah Kaukasia dalam dua penelitian pertama karena mereka ingin membandingkan temuan eksperimen dengan hasil pemilu yang sebenarnya—dalam penelitian ketiga hampir semua kandidat yang ikut pemilihan parlemen Jerman tahun 2009 adalah Kaukasia. Oleh karena itu, temuan mereka mungkin tidak dapat digeneralisasikan kepada kandidat yang tidak punya wajah Kaukasia.
Kedua, Landwehr dan Wanke mengakui, fitur wajah bukan prediktor kuat keberhasilan kandidat politik. “Prediktor terkuat keberhasilan adalah afiliasi partai politik kandidat dan apakah kandidat tersebut merupakan petahana,” tulis White.