Demokrasi tontonan dan risiko politik citra
Di media sosial, citra kerap melampaui kenyataan. Kita bisa melihatnya ketika Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dikenal dengan sapaan Kang Dedi atau diinisialkan dengan singkatan KDM usai menjadi inspektur upacara di Polda Jabar, menolak langsung turun dari podium dan kemudian memberikan sejumlah uang kepada anggota polisi senior yang tertunda kenaikan pangkatnya.
Adegan itu seketika viral dan memicu diskusi di ruang publik, padahal dari sisi protokoler tindakan tersebut agak melanggar kebiasaan. Namun yang lebih penting bukan apakah langkah itu sesuai aturan, melainkan bagaimana publik merespons sebuah tontonan yang dibingkai apik di media sosial.
Fenomena ini mengingatkan kita pada masa kampanye Pilpres 2024. Sepanjang kontestasi, figur yang bisa memadukan karakter militer dengan gesture populis (disebut dengan gaya “gemoy”) menjadi magnet paling efektif. Alih-alih bicara tegas dengan baret khas militer, Prabowo Subianto yang dua Pilpres sebelumnya tampil tegas, justru tampil joget bersama Gen Z. Tampilan yang menghibur menjadi lebih bernilai daripada retorika militeristik. Figur yang semula dipandang keras berubah menjadi ramah, karena yang penting adalah kesukaan pemilih, tidak soal ciri pribadi.
Situasi ini sebenarnya sudah lama dijelaskan para pemikir klasik. Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967) sudah mengingatkan dalam masyarakat modern, citra visual lebih sering diagungkan daripada realitas. Debord menyebutnya sebagai masyarakat tontonan, di mana yang tampak sering dianggap lebih penting daripada yang sebenarnya ada. Inilah kondisi yang kini menguasai panggung politik digital kita.
Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menggambarkan interaksi sosial layaknya pertunjukan teater. Di media sosial, seorang pejabat publik tampil di panggung depan dengan citra penuh kesan, sementara di panggung belakang belum tentu ia memiliki kesiapan kerja nyata. Penjelasan Goffman ini menjelaskan mengapa begitu banyak politisi yang lebih fokus mengatur penampilan daring ketimbang substansi kebijakan.
Paolo Gerbaudo dalam The Digital Party (2018) lebih jauh menegaskan bahwa populisme digital lahir karena kekuatan kesan daring seringkali mengalahkan prosedur politik formal. Politisi yang cerdik membangun persona di media sosial bisa lebih cepat meraih simpati dibandingkan mereka yang bekerja secara konvensional. Tetapi risiko yang muncul adalah hilangnya kedalaman politik karena semua serba diarahkan pada kecepatan respons dan pencitraan instan.
Zizi Papacharissi dalam Affective Publics (2015) menunjukkan media sosial membentuk ruang publik yang digerakkan oleh emosi. Publik cenderung merespons dengan cepat berdasarkan simpati atau amarah, bukan hasil telaah kebijakan yang mendalam. Hal ini memperlihatkan pejabat publik maupun politisi tidak hanya dituntut tampil menarik, tetapi juga harus memahami bagaimana emosi kolektif masyarakat bisa menentukan arah dukungan.
Jebakan citra
Sementara itu, konteks Indonesia memberikan contoh nyata jebakan politik citra. Banyak pejabat publik memoles akun pribadinya dengan konten estetik, mulai dari gaya hidup sederhana hingga jargon kerakyatan. Akan tetapi, publik yang kritis cepat menangkap jika semua itu tidak sejalan dengan realitas kebijakan yang dirasakan. Alhasil, pencitraan yang berlebihan justru bisa berbalik menjadi bumerang dan menurunkan legitimasi politik.
Mengelola citra tentu tidak salah, sebab komunikasi politik memang membutuhkan medium agar pesan sampai ke publik. Namun, komunikasi tanpa konsistensi kebijakan akan melahirkan sinisme. Di titik ini, pejabat publik perlu memahami peringatan klasik bahwa reputasi yang baik tidak dapat dibangun hanya dengan gambar atau narasi indah, melainkan melalui kinerja yang nyata.
Masyarakat digital kita kini berada pada persimpangan antara politik substansi dan politik citra. Media sosial adalah sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat luas, tetapi ia juga bisa menjerumuskan jika digunakan sekadar untuk memoles permukaan. Demokrasi akan kehilangan arah jika pejabat publik hanya menjadikan media sosial sebagai panggung citra, tanpa menghadirkan kebijakan yang membumi.
Resensi literatur yang telah dipaparkan, mulai dari Debord hingga Papacharissi, memberi kita perspektif bahwa persoalan citra ini tidak hanya milik Indonesia, tetapi fenomena global yang merambah semua negara. Bedanya, masyarakat dengan literasi digital lebih matang mampu memilah mana pencitraan dan mana kinerja.
Karena itu, tantangan bagi politisi Indonesia adalah membuktikan bahwa citra yang ditampilkan selaras dengan kerja nyata. Sebab dalam jangka panjang, publik tidak akan menilai dari unggahan media sosial, melainkan dari perubahan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari hari.


