sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilkada asimetris: Ikhtiar bangun kontestasi elektoral rasa 'lokal'

Diembuskan Mendagri Tito Karnavian, wacana pilkada asimetris jadi bola liar di Senayan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 16 Jan 2020 17:00 WIB
Pilkada asimetris: Ikhtiar bangun kontestasi elektoral rasa 'lokal'

Usul itu pertama kali meluncur dari mulut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam rapat kerja bersama anggota Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, November 2019. Menurut Tito, pelaksanaan pilkada yang telah berjalan selama 15 tahun perlu dievaluasi. 

Tito mengungkapkan sejumlah opsi sebagai solusi membenahi pilkada. Salah satunya ialah pelaksanaan pilkada secara asimetris. "Dengan asimetris berarti kita harus membuat indeks democratic maturity, yaitu menghitung kedewasaan demokrasi tiap daerah," kata Tito. 

Pilkada asimetris kembali menjadi salah satu agenda pembahasan saat Tito mengumpulkan 9 sekretaris jenderal (sekjen) partai politik di Kemendagri, Jakarta Pusat, pekan lalu. Hal itu setidaknya dibenarkan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. 

Menurut Arsul, ada tiga hal yang dibahas Tito dan para sekjen. Pertama, peluang pilkada tak langsung di tingkat gubernur. Kedua, pilkada langsung dilakukan secara asimetris. Terakhir, keharusan bagi calon kepala daerah untuk lulus sekolah politik di parpol. 

"Itu (perubahan mekanisme pilkada) dipaparkan, kemudian kami respons. Ukuran asimetris itu mengacu pada kajian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)," kata Arsul kepada wartawan usai pertemuan dengan Tito. 

Kajian yang dimaksud Arsul bertajuk "Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintah Daerah Demokratis, Akuntabel dan Berkelanjutan". Kajian itu diterbitkan LIPI pada 2015. Dalam kajian itu, LIPI merekomendasikan pilkada dilaksanakan secara asimetris yang memungkinkan perbedaan dalam mekanisme. 

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan LIPI di antaranya kemampuan sumber daya manusia daerah (SDM) yang tecermin dari indeks pembangunan manusia (IPM), kondisi keuangan daerah, dan aspek budaya.

"Sebenarnya konteks penelitian waktu itu adalah adanya kegelisahan menyangkut penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah yang penuh dinamika," kata peneliti LIPI Sri Nuryanti saat dikonfirmasi Alinea.id, Rabu (15/1) lalu. 

Sponsored

Dari riset terhadap pilkada-pilkada sebelumnya, LIPI menemukan setiap daerah memiliki kekhasan baik dari segi sosial-budaya, sumber daya manusia (SDM), maupun kemampuan keuangan daerah. Faktor-faktor tersebut perlu dipertimbangkan masak-masak dalam menyusun desain pilkada yang paling tepat.

"Dari adanya kasus kesiapan penganggaran pilkada yang harus berasal dari APBD, pilkada yang meninggalkan konflik, misalnya dalam kajian kami waktu itu di Mesuji, di Kotawaringin Barat, dan di beberapa daerah lain. Adanya tarik ulur anggaran pilkada antara pemda (pemerintah daerah) dan penyelenggara (pemilu) dan lain-lain," kata Sri. 

Dalam kajiannya, LIPI juga membagi provinsi-provinsi ke dalam berbagai kategori berbasis IPM dan kemampuan keuangan. DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat misalnya, dikategorikan memiliki IPM tinggi dan keuangan kuat. Provinsi-provinsi semacam itu dinyatakan siap menyelenggarakan pilkada tanpa asistensi. 

Lain halnya dengan kelompok provinsi seperti Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Keempat provinsi itu dikategorikan memiliki IPM rendah dan keuangan yang lemah. LIPI menyarankan asistensi dari pemerintah pusat dalam penyelenggaran pilkada di provinsi-provinsi tersebut. 

"Maka, ada daerah yang mampu menyediakan APBD dan ada daerah yang belum mampu. Untuk daerah yang mampu, pilkada bisa dianggarkan dari APBN. Kalau daerah yang tidak mampu, pilkadanya perlu diberi asistensi. Kalau pilkada dari biaya APBN, tidak ada tarik ulur penganggaran dengan pemda," ujar Sri. 

Suasana Rapat Paripurna Ke-7 Pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/1). /Antara Foto

Bola liar 

Meskipun belum resmi menjadi sikap pemerintah, wacana pilkada asimetris berkembang menjadi bola liar di Gedung DPR. Sejumlah faksi terang-terangan menolak wacana tersebut, semisal fraksi PPP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera bahkan menengarai wacana pilkada asimetris tersebut digulirkan sebagai upaya mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Padahal, LIPI tak menyarankan rekomendasi semacam itu dalam kajiannya.

"Jadi pilkada melalui perwakilan itu mundur, mundur dan mundur. Jadi legitimasinya tidak ada," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11).

Dugaan itu muncul karena pada saat bersamaan Mendagri juga mewacanakan Pilgub dikembalikan ke DPRD atau dipilih secara tidak langsung. Tito beralasan gubernur tidak perlu dipilih secara langsung karena fungsinya hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. 

Menurut Mardani, pilkada tidak langsung bakal menggerus legitimasi kepala daerah. "Problemnya satu, kalau tidak langsung, (soal) legitimasi. Rezimnya gini nanti, siapa yang mengangkat, dia yang memberhentikan. Dia (kepala daerah) yang diangkat DPRD, peluang besar jadi budak DPRD. Enggak urusin rakyat karena bisa cabut setiap saat," tuturnya. 

Lebih jauh, Mardani menilai, pelaksaan pilkada langsung saat ini sudah tepat. Apalagi, banyak lahir kepala daerah hebat dari pilkada. Ia mencontohkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. "Kalau mereka tidak dipilih melalui pilkada langsung, ya, yang menang yang bohir-bohir," imbuhnya. 

Sikab berbeda ditunjukkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut juru bicara DPP PKB, Syaiful Huda, partainya mengusulkan pilkada asimetris karena hitung-hitungannya lebih rasional dibanding pilkada langsung.

"Pilkada asimetris ini menarik karena pelaksanaan pilkada sesuai dengan kondisi objektif masyarakat, baik dari sisi tingkat pendidikan, tingkat kerawanan keamanan, maupun tingkat kedewasaan politik pemilih," kata Syaiful di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Partai Golkar mengambil sikap berhati-hati. Politikus Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, partainya masih mengkaji semua opsi untuk memperbaiki penyelenggaraan pilkada. 

"Pertama, tetap pilkada langsung dengan koreksi terhadap ekses negatif yang terjadi selama ini. Kedua bisa kembali ke DPRD. Ketiga, asimetris. Asimetris juga macam-macam. Misalnya simetris provinsi dan kabupaten, desa dan perkotaan, perbatasan dan perkotaan," ujar Doli.

Meski demikian, Doli mengatakan partainya tetap berkeinginan untuk mempertahankan pemilu langsung. "Salah satu simbol reformasi kan kembalinya kedaulatan kepada rakyat. Selama ini kan rakyat yang berdaulat menentukan pemimpin. Bahwa kemudian ada eksesnya, itu yang kemudian kita cari solusinya," ujar Ketua Komisi II DPR itu. 

Partai Aceh menggelar kampanye akbar jelang pemungutan suara pada Pileg 2019. /Antara Foto

Sulit diterapkan  

Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, pilkada asimetris sulit diterapkan jika tata kelola pemerintahan di daerah tersebut tidak turut diubah. Pasalnya, pilkada selama ini dijalankan seragam berbasis model pemerintahan di masing-masing daerah.

"Poinnya begini, asimetris di pemilihan itu indikasi dari asimetris di sistem pemerintahan daerahnya. Enggak bisa kita langsung di asimetris di sistem pemilihan. Sebab, sistem pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi itu enggak asimetris," kata Robert saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (15/1).

Menurut Robert, Papua, Papua Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta bisa menggelar pemilihan kepala daerah secara asimetris karena sudah diberikan kekhususan atau keistimewaan. 

"Ada yang langsung, ada yang ditunjuk, dan ada yang dipilih. Jadi memang itu dulu yang dirumuskan, bukan seperti kesan sekarang bahwa asimetris itu daerah-daerah tingkat kerawanan sosial dan konflik yang tinggi. Kalau itu, semua daerah ada. Hanya beda intensitasnya saja. Ada yang tinggi dan ada yang sedang," jelasnya. 

Menurut Robert, alasan lainnya pilkada asimetris sulit diterapkan ialah terkait ketidakjelasan paramater. "Sulit memastikan daerah mana yang (harus pilkada) langsung dan tidak. Kedua, itu membuat orang tersinggung. Coba bayangkan di NTT sana, dianggap kapasitas rendah, dianggap belum cerdas, ya, orang tersinggung dong," kata dia. 

Lebih jauh, Robert menegaskan, KPPOD menolak jika wacana pilkada asimetris melebar menjadi upaya mengembalikan pilkada ke DPRD. Berkaca pada pemilu periode 2001-2004, Robert mengatakan pemilihan tidak langsung menyebabkan hubungan antar kepala daerah dan DPRD terus diwarnai konflik.

"Kalau kepala daerah enggak tunduk kepada DPRD itu melahirkan konflik. Ujungnya terkadang kepala daerah di-impeach atau dijatuhkan oleh DPRD. Kedua, kepala daerah yang mau main aman. Kelihatan tenang tapi ternyata barteran, tukar-menukar kepentingan dan sebagainya," kata Robert.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Pakar filsafat politik Norbertus Jegalus meminta pemerintah berhati-hati dalam mewacanakan pilkada asimetris. Menurut dia, tidak semua kekhasan daerah bisa dijadikan alasan untuk mengubah mekanisme pilkada yang sudah berjalan saat ini. 

"Misalnya dalam budaya Manggarai, Flores, NTT, ada ungkapan masyarakat yang mengiyakan apa yang disampaikan pemimpinnya karena atas rasa hormat. Tapi, sebenarnya dia tidak setuju. Jika itu digunakan, maka tidak ada demokrasi," kata Norbertus saat dihubungi Alinea.id, Selasa (13/1).

Ia mengatakan, sejumlah daerah memang diperlakukan khusus karena alasan-alasan tertentu. Secara antropologis misalnya, Papua masih menggunakan sistem noken karena sistem demokrasi modern cenderung tak sesuai dengan budaya mereka. 

Lebih jauh, Nobertus mengatakan, argumentasi jatuhnya korban karena pilkada langsung bukan menjadi alasan untuk menghapus sistem pilkada yang sudah ada. Berkaca dari pengalaman negara-negara di Eropa, menurut Nobertus, membangun demokrasi yang matang memang butuh waktu dan pengorbanan besar.

"Revolusi Perancis itu 200 tahun sampai mereka memetik hasilnya seperti sekarang. Kita mau potong kompas?" kata pria lulusan Universitas Munchen, Jerman itu. 

Ia pun menduga ada elite-elite yang turut bermain menggaungkan wacana pilkada asimetris tersebut. "Dengan kata lain, ini ada kepentingan politik dari mereka yang berbicara, dari mereka yang berkuasa memegang kendali itu untuk kepentingan tertentu. Kan lebih mudah (mencapai kepentingan itu) melalui DPRD itu," ujar dia. 

 

Berita Lainnya
×
tekid