sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik RUU DKJ: Tentukan masa depan demokrasi di Jakarta

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kepala daerah yang lahir dari penunjukan semata.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Jumat, 08 Des 2023 17:28 WIB
Polemik RUU DKJ: Tentukan masa depan demokrasi di Jakarta

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). RUU ini merupakan inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada Selasa (5/12).

RUU itu disiapkan untuk situasi ketika Jakarta tidak lagi menyandang status ibukota. Salah satu isu yang menjadi sorotan terkait RUU DKJ itu adalah proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ. Jika sebelumnya pemimpin Jakarta diangkat melalui Pilkada, namun RUU DKJ merancang proses suksesi kepemimpinan di DKJ melalui penunjukan langsung oleh presiden. Hal ini tertera dalam Pasal 10 bagian ketiga soal Gubernur dan Wakil Gubernur.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan, alasan skema itu diusulkan karena pertimbangan biaya Pilkada DKI. Hematnya, anggaran yang mahal itu lebih baik untuk rakyat.

Alhasill, pihaknya mendiskusikan kekhususan yang akan diberikan kepada Jakarta. Karena itu, kata politikus PPP itu, DKI Jakarta berbeda dari daerah lain, khususnya dalam sistem pemerintahannya.

Berangkat dari Pasal 18A soal nomenklatur daerah otonom yang membuat kepala daerah itu harus dilakukan pemilihan, maka DPR mengatur agar penunjukan langsung tersebut tetap melibatkan DPRD.

Wakil rakyat akan bersidang untuk menentukan siapa nama-nama calon gubernur dan wakil gubernur terpilih dari yang diusulkan.  Menurut Awiek, keterlibatan DPRD merupakan upaya menjembatani keinginan politik antara kekhususan ditunjuk secara langsung dan supaya menjaga tetap demokratis.

“Lebih baik anggaran yang besar itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat untuk pembangunan," kata Awiek di Senayan, Selasa (5/12).

Sementara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kepala daerah yang lahir dari penunjukan semata. Skema itu disebut sebagai sebuah kebijakan yang berpotensi menjadi ajang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Sponsored

Juru Bicara PKS, Muhammad Iqbal mengatakan, ide ini menjadi sebuah kemunduran bagi demokrasi. Jakarta dengan 12 juta jiwa dan APBD yang hampir mencapai Rp80 triliun dianggap sangat layak menunjuk pemimpinnya sendiri.

“Bisa saja suatu saat Presiden atau Partai pemenang menunjuk keluarga, kerabat atau orang yang tidak memiliki kompetensi memimpin dan ini adalah sebuah celah terjadinya KKN yang melawan amanat reformasi,” kata Iqbal dalam keterangan, Rabu (6/12).

Menurutnya, RUU ini dirumuskan secara terburu-buru tanpa kajian yang mendalam. Bahkan, berpotensi merugikan warga Jakarta dan menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.

“PKS sejak awal menolak Undang-Undang IKN, sejak awal konsisten agar Ibu kota tetap di Jakarta dan Gubernur serta Wakilnya harus dipilih oleh rakyat. Bukan ditunjuk Presiden,” ucapnya.

Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan, bahwa gubernur dan wakil gubernur DKJ tetap harus dipilih melalui pilkada. Alasannya, sistem ini sudah berlangsung lama dan pemerintah menghormati prinsip demokrasi.

“Jadi itu yang saya mau tegaskan nanti kalau kita diundang dibahas di DPR, posisi pemerintah adalah gubernur, wakil gubernur dipilih melalui pilkada. Titik. Bukan lewat penunjukan," kata Tito di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (7/12).

Meski begitu, Tito mengaku belum menerima sepenuhnya draf RUU itu. Ia berencana akan mempelajari terlebih dahulu.

“Kita ingin melihat alasannya apa,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid