sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Risiko-risiko terburuk kementerian gemuk Prabowo-Gibran

Prabowo berencana mendongkrak jumlah kementerian. Aroma politik dagang sapi tercium.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 09 Mei 2024 12:16 WIB
Risiko-risiko terburuk kementerian gemuk Prabowo-Gibran

Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menambah jumlah kementerian yang beroperasi di Indonesia, dari 34 menjadi 41 kementerian. Rencana itu sudah mendapat dukungan dari parpol-parpol pengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, semisal Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. 

Ketua Umum Partai Bulang Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyebut penambahan kementerian dimungkinkan lewat revisi Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Alternatif lainnya ialah Prabowo menenerbitkan peraturan presiden pengganti undang-undang atau perppu setelah dilantik pada Oktober mendatang. 

Wacana penambahan pos menteri itu ditengarai bagian dari politik dagang sapi. Prabowo butuh tambahan pos pejabat untuk mengakomodasi gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintah. Apalagi, NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diisukan akan segera merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM). 

"Itu (mengakomodasi kepentingan politik) artinya bukan lagi kabinet kerja itu namanya, tapi kabinet yang lebih politis," ujar eks Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (7/5).

Tak hanya itu, Prabowo juga harus "membalas jasa" tokoh-tokoh nonparpol yang turut mengantarkannya duduk di kursi RI-1. Pada Pilpres 2024, setidaknya ada 270 politikus dan tokoh yang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, termasuk di antaranya dua eks politikus PDI-Perjuangan Maruara Sirait dan Budiman Sudjatmiko. 

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama berpendapat Prabowo tak akan kesulitan merealisasikan wacana penambahan jumlah kementerian. Ditambah NasDem dan PKB, koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran bakal menguasai parlemen. 

"Karena UU 48/2009 usulan pemerintah, tinggal pemerintah usulkan perubahan. DPR tinggal mengesahkan. Kalau ada fraksi yang tidak setuju, tinggal voting. Jumlah koalisi lebih besar dari oposisi," ucap Suwardi kepada Alinea.id, Rabu (8/5).

Meski begitu, Suwardi mengingatkan risiko terkurasnya anggaran negara jika jumlah kementerian ditambah. Negara otomatis harus menyiapkan fasilitas, anggaran, gedung, dan sumber daya manusia (SDM) untuk kementerian-kementerian baru. 

Sponsored

Dari sisi politik, penambahan pos kementerian juga bisa melumpuhkan oposisi. Parpol yang tidak kuat beroposisi bisa kapan saja meminta jatah menteri dan penguasa tinggal merotasi posisi menteri kabinet. Oposisi di parlemen bakal kian melemah. 

"Pemerintahan seharusnya ada oposisi untuk menyuarakan atas perbuatan dari pemerintah jika terjadi tindakan secara sewenang-wenang. Sejatinya, lembaga DPR menyuarakan suara konstituen atas perbuatan pemerintah meskipun partainya berkoalisi dengan pemerintah karena atas nama DPR bukan partai politik," ucap Suwardi. 

Analis politik dari Universitas Trunojoyo Iskandar Dzulkarnain sepakat penambahan pos kementerian berisiko menguras anggaran dan membuat pemerintahan tidak harmonis. Terlebih, pos kementerian yang tidak efisien bisa membuat tugas dan wewenang menteri saling timpang tindih. Cekcok antarmenteri pun potensial marak.

"Irisan kekuasaan antarmenteri akan semakin kuat dan ini bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan kuasa di antara para menteri kabinet Prabowo yang sangat gemuk. Selain itu, pastinya dana APBN akan banyak terkuras untuk belanja gaji menteri dan wakil menteri," ucap Iskandar kepada Alinea.id, Rabu (8/5).

Risiko terburuk dari pos kementerian yang terlampau gemuk, menurut Iskandar, ialah gagalnya Prabowo-Gibran memenuhi janji-janji mereka selama masa kampanye Pilpres 2024. Apalagi, janji populis Prabowo-Gibran, semisal program makan siang gratis dan mendongkrak gaji guru butuh angaran besar.  

"Artinya, dampak terbesar dari pemborosan anggaran dengan penambahan menteri akan berdampak terhadap sulitnya semua janji kampanye Prabowo akan terpenuhi, termasuk menaikkan gaji para guru," ucap 
Iskandar. 

Kepada Alinea.id, analis politik dari Universitas Lampung Darmawan Purba menilai penambahan pos kementerian untuk bagi-bagi kue kekuasaan sangat tidak elok. Ia meyakini kementerian baru tak akan bisa bekerja secara efisien. 

"Seharusnya yang dipikirkan bagaimana membentuk struktur kementerian yang efektif dan efisien. Konsekuensi dari proses politik yang mengakomodisai elemen politik ini tidak serta merta kemudian berimplikasi pada beban anggaran pemerintahan baru," ucap Darmawan.

 

Berita Lainnya
×
tekid