close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Tidak ada sistem pemilu yang ideal, baik proporsional tertutup atau terbuka. Foto: Alinea
icon caption
Tidak ada sistem pemilu yang ideal, baik proporsional tertutup atau terbuka. Foto: Alinea
Politik
Jumat, 06 Januari 2023 16:25

Tidak ada sistem pemilu yang ideal, baik proporsional tertutup atau terbuka

Dalil PDIP dibenarkan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, yang menilai sistem pemilu dengan model proporsional terbuka sarat masalah.
swipe

Perdebatan mengenai sistem pemilihan anggota legislatif (pileg) 2024 menjadi polemik luas mengenai sistem yang cocok, apakah proporsional terbuka atau tertutup.

Setidaknya delapan fraksi partai politik (parpol) di Senayan sepakat agar pileg 2024 tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka yang masih berlaku saat ini. Sementara, PDI Perjuangan (PDIP), menjadi satu-satunya parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup.

Dalil PDIP dibenarkan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, yang menilai sistem pemilu dengan model proporsional terbuka sarat masalah.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, tidak sistem yang ideal dalam suatu pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg). Apakah sistem proporsional terbuka atau tertutup, kata dia, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.

Hal ini disampaikan Burhanuddin merespons polemik sistem proporsional tertutup kembali diterapkan di Pileg 2024.

"Dalam studi saya, secara umum tidak ada yang ideal antara proposional terbuka atau tertutup. Masing-masing punya plus minus," kata Burhanuddin dalam sebuah diskusi beberapa hari lalu, seperti dikutip Alinea.id, Jumat (6/1).

Kendati demikian, dalam temuan survei Indikator Politik Indonesia pada 1-3 Februari 2021, mayoritas publik mengiginkan agar sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan. Sebanyak 78,2% ingin agar sistem pemilu proporsional daftar calon terbuka yang sekarang dianut dipertahankan. Hanya 11,7% yang setuju dengan model tertutup, sisanya 10% yang tidak menjawab.

Keinginan publik ini sejalan dengan keyakinan merasa terwakili oleh anggota DPR yang dipilih langsung ketimbang oleh partai politik. Sebanyak 46% responden menyatakan terwakili oleh anggota DPR, 28,1% merasa terwakili oleh parpol asal anggota DPR dan sisanya 25,9% tidak menjawab.

Menurut Burhanuddin, meski mayoritas publik menginginkan proporsional terbuka tetap dipertahankan, hal tak bisa dipungkiri ialah, model ini justru menyuburkan praktik politik uang. Dari sekian riset yang ada, menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR RI mencapai angka Rp4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp20 miliar.

Diketahui, dalil ini juga dijadikan alasan oleh PDIP untuk mengubah sistem pileg, dari terbuka kembali ke model tertutup yang dipakai era Orde Baru. Bahkan, PDIP menilai sistem proporsional terbuka menyebabkan biaya pemilu tinggi dan menjadi beban berat bagi penyelenggara pemilu.

"Tetapi salah satu perhatian yang muncul terkait proposional terbuka adalah sistem ini membuka ruang buat poltik uang. Ini bukan hanya studi saya. Banyak studi mengatakan hal yang sama, menunjukkan bahwa proporsional terbuka itu membuat strategi kampanye menjadi pertarungan caleg dalam satu partai. Karena caleg tidak punya intensif untuk menjual partai," ungkap Burhanuddin.

Burhanuddin menegaskan, cara mengurangi politik uang tidak hanya dengan mengubah sistem proposional terbuka menjadi tertutup. Sebab, kata dia, dalam sistem proposional tertutup pun sarat masalah. Misalnya tidak terjaganya akuntabilitas antara caleg dengan pemilih. Model ini juga tetap sarat dengan politik transaksional.

"Meskipun lagi-lagi, politik transaksional terjadi lagi, apalagi kita (Indonesia) tertinggi ketiga politik uang," katanya.

Lalu model apa yang tepat? Burhanuddin mengatakan masih ada cara lain yakni memperkecil alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil). Menurutnya, cara ini sudah terkonfirmasi dalam berbagai studi politik untuk mengurangi efek negatif proposional terbuka.

"Itu (mengurangi alokasi kursi per dapil) efektif untuk mengurangi politik uang dan tetap menjamin akuntabilitas pemilih, dalam hal ini hubungan caleg dengan pemilih terjaga. Kalau pakai proposional tertutup itu kan ibarat memilih kucing dalam karung. Jadi, kita tidak tahu siapa caleg yang diusulkan partai," beber Burhanuddin.

Cara lainnya ialah memilih caleg dengan model mixed antara proporsional terbuka dan tertutup. Praktik ini menurut Burhanuddin sudah diterapkan Korea Selatan dan Jerman.

"Tetapi persentasenya dialokasikan, misalnya 40 persen tertutup, 60 persen terbuka. Atau 30 persen tertutup dan 70 persen terbuka. Tergantung kesepakatan," kata dia.

"Jadi sekali lagi, tidak ada resep mujarab yang bisa menyelesaikan ini. Masing-masing (sistem) ada plus minusnya, kita cari yang paling ideal salah satunya dengan melakulan mixed," tandas Burhanuddin.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan