sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tokoh militer mengintip peluang RI-2

Bagaimana peluang sejumlah tokoh militer seperti AHY dan Gatot Nurmantyo di perhelatan pilpres mendatang?

Purnama Ayu Rizky Robi Ardianto
Purnama Ayu Rizky | Robi Ardianto Senin, 09 Apr 2018 17:05 WIB
Tokoh militer mengintip peluang RI-2

Sejumlah nama dari kalangan militer diprediksi akan meramaikan bursa calon wakil presiden (cawapres) di hajatan demokrasi 2019 mendatang. Bahkan beberapa lembaga survei hampir selalu memasukkan tokoh militer sebagai kandidat potensial yang dilirik kubu Jokowi maupun Prabowo Subianto.

Riset lembaga survei Indobarometer akhir Januari silam memotret konstelasi calon ditinjau dari aspek psikologis, ideologis, dan kompetensi khusus yang dimiliki masing-masing kandidat. Survei yang mengangkat tajuk utama “Tiga Skenario Presiden” itu menyelipkan beberapa tokoh militer yang memang sudah malang melintang di kancah nasional. Yang menarik, survei itu justru menunjukkan, jika pemimpin inkumben Jokowi berpasangan dengan tokoh militer tertentu, akan mampu mendongkrak elektabilitasnya.

Dalam skenario A yang disusun Indobarometer, Jokowi diletakkan berhadap-hadapan dengan mantan rivalnya di pilpres 2014, Prabowo Subianto. Skenario itu menginventarisir 11 variasi simulasi dua pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden (wapres), dengan langgam cawapres yang beragam.

Menariknya, Jokowi akan mendulang suara sebanyak 38,6% jika berduet dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sementara jika mantan Gubernur DKI Jakarta itu berpasangan dengan Gatot Nurmantyo, maka elektabilitasnya akan meroket hingga 38,4%. Berikutnya, di variasi ketiga, Jokowi dinyatakan kuat jika berpasangan dengan Tito Karnavian (37%). Saat berpasangan dengan Budi Gunawan (BG), elektabilitas Jokowi masih relatif tinggi, sebesar 34,6%. Lalu terakhir pasangan Jokowi-Moeldoko memperoleh suara 35,1%.

Tingginya elektabilitas calon dari kalangan militer mungkin tercipta, jika melihat perkembangan isu dewasa ini. Menurut peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adji Alfaraby, di samping isu ekonomi dan merebaknya buruh asing, isu keamanan dan primordialisme masih akan mewarnai perhelatan demokrasi mendatang.

Isu itu menurut Adjie menguntungkan tokoh militer seperti AHY, Moeldoko, dan Gatot Nurmantyo. Ia menyebut AHY diuntungkan berkat kiprah sang ayah dan pernah bertarung di Pilgub DKI lalu. Sedangkan Gatot Nurmantyo naik daun karena ia dikenal kuat dan dekat dengan isu-isu Islam. Lalu Moeldoko, ia beruntung karena kini duduk dalam kabinet.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menuturkan, menguatnya wacana militer masuk kontestasi politik, karena beberapa faktor. Ia mengaitkannya dengan munculnya isu berbau agama dan nasionalisme, lewat turunannya baik radikalisme, ekstrimisme, komunisme, dan ultranasionalisme yang mengemuka. Sosok berlatar militer, dianggap membaca hal tersebut sebagai peluang.

“Karena mereka diyakini mampu menjaga negara dari serbuan isu tersebut,” urainya pada Alinea.

Sponsored

Muradi memperluas empat motif yang mendorong orang militer maju di gelaran pilpres. “Ada harapan yang dimunculkan dari elit sipil, karier militer yang relatif kurang memadai, kejenuhan di bidang ini sehingga militer butuh ruang ekspresi baru, dan terakhir ambisi militer,” jelas pengamat militer tersebut.

Kejenuhan berkarier di bidang militer, melansir Teori Huntington, juga tak bisa dinafikan. Mengingat dulunya mereka terbiasa dengan perang. Lalu perang lenyap dan mereka butuh wahana peperangan baru yang mewujud dalam bidang politik.

“Ini didorong dengan ambisi militer yang kemudian menjadi sangat agresif, dan berbahaya,” imbuhnya.

Itikad mereka untuk menjadikan politik praktis sebagai gelanggang perang baru tak main-main. Selain rutin tampil di acara-acara publik, tokoh militer juga berstrategi di media sosial dan kanal lainnya. Tak jarang curi panggung saat momen tertentu, misalnya saat demonstrasi akbar 212 lalu, Gatot sempat menyediakan nasi gratis untuk massa.

Strategi bawah tanah maupun terang-terangan turut didukung dengan pemberitaan di sejumlah media massa. Tim riset Alinea mencatat, dari Januari hingga April 2018, pemberitaan mengenai tokoh militer terbilang masif.

Dari lima tokoh, Tito Karnavian, BG, Gatot, Moeldoko, dan AHY, terbaca tren pemberitaan yang cenderung meningkat saban bulan. Tito menempati posisi terbanyak diberitakan pada Januari (4473), Februari (2.972), hingga Maret 2018 (3.910), trennya menurun di medio April ini, sebanyak 705 berita. Popularitas Tito disusun Moeldoko dan AHY, sementara BG berada di posisi buncit.

Pemberitaan soal Tito tertinggi dimuat di Detik, Okezone, dan Kompas. Sementara Moeldoko banyak diberitakan Kumparan, Liputan6, dan Republika. AHY sendiri menjadi media darling Merdeka, Detik, dan Republika. Gatot banyak dipublikasikan di Detik, Kriminalitas, dan Merdeka. Lalu BG diberitakan di Republika, CNN, serta Detik.

Untuk isu yang diberitakan pada masing-masing tokoh relatif bervariasi. Tito paling banyak diberitakan untuk isu bintang kehormatan, pilkada serentak, dan masyarakat perbatasan. Sementara Moeldoko banyak berkicau soal motor emas, cawapres Jokowi, dan aplikator ojek. AHY dikaitkan dengan isu Tuan Guru Bajang TGB, Ketua Umum Gerindra, dan survei capres dan cawapres Indobarometer. Lalu Gatot mendominasi pemberitaan soal kemungkinannya maju di pilpres, isu PKS, dan Anies Baswedan. Terakhir BG diberitakan tentang kemungkinan maju di pilpres, isu BEM, dan dalam kapasitasnya sebagai mantan elit pemerintahan.

Kendati menjadi objek pemberitaan di sejumlah media, namun sentimen pemberitaan tak selamanya terbaca positif. Hanya dua tokoh militer yang tren sentimennya dari Januari hingga Maret menunjukkan pola yang konsisten, bahkan cenderung naik, yakni AHY dan Gatot. Namun jika direkapitulasi, sentimen positif terbanyak justru pada sosok Moeldoko (53%), Tito Karnavian (47%), dan AHY (46%).

Tak hanya di media massa, informasi ihwal tokoh militer kerap disebarluaskan di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Dari kelima tokoh militer, Gatot menjadi primadona Facebook karena dibagikan informasinya terbanyak dibanding yang lainnya (2,3 juta unggahan). Disusul Tito Karnavian (1,9 juta), dan AHY (1 juta). Sementara tokoh lain diunggah tak lebih dari 400 ribu unggahan.

Melihat figur, bukan latarnya

Merespons kemungkinan maraknya tokoh militer di bursa cawapres, Khairul Fahmi menekankan, secara konkret capres atau cawapres dari latar militer tidak jauh berbeda dengan pemimpin yang berasal dari sipil. Yang terpenting adalah melihat kompetensi seorang calon pemimpin. Dia justru menyayangkan masih merebaknya isu-isu sipil dan militer dewasa ini, padahal seharusnya masyarakat lebih mengutamakan profil dan kualitas, bukan dari mana ia berasal.

Gatot Nurmantyo misalnya, yang belakangan masif disebut di media. Ia harus menonjolkan kabilitas dan kompetensinya. Bukan sekadar memanfaatkan popularitasnya sebagai tokoh militer.

“Kelayakan itu tidak bisa dibicarakan mengenai persoalan yang terlalu abstrak, tapi bagaimana gagasan-gagasan beliau mengenai perkembangan bangsa dan bernegara, seperti ekonomi, politik bahkan sosial budaya, bagaimana mereka mengemukakan gagasan ini,” katanya.

Tidak hanya Gatot, nama-nama lainnya seperti AHY dan Budi Waseso, jika muncul, mestinya mempertimbangkan gagasan mereka dalam membangun bangsa. “Jangan hanya mengawang-awang saja, menjual status pangkatnya di militer atau ketegasan di militer,” tandasnya. Ia mengimbau publik untuk tak terjebak pada gimmick semacam itu, karena bisa memicu kekecewaan nantinya.

Anak Sulung SBY misalnya, masih memiliki jam terbang yang relatif minim. Budi Waseso, imbuhnya, telah menunjukkan kiprahnya di bidang pemberantasan narkoba. Namun persoalan bangsa tak sesederhana itu. Demikian halnya dengan Gatot yang ia nilai masih nir gagasan baru. Untuk Moeldoko, pengamat ISESS itu menilai, ia punya pengalaman di bidang militer maupun pemerintahan.

 “Itu jika diolah dengan baik, bisa menjadi nilai plus bagi Moeldoko,” katanya.

Jika calon-calon lain, tambahnya, hanya berbicara di Menara gading, sekadar menjual isu persatuan, nasionalisme dan lainnya, namun belum membuktikan. Maka itu harus jadi pertimbangan bagi konstituen untuk menjatuhkan pilihan.

Selanjutnya jika kalangan militer yang terjun ke dunia politik wajib juga membangun narasi yang baik. “Jangan hanya menonjolkan seolah-olah rezim sipil tidak baik dan meyakini kepemimpinan militer dibutuhkan untuk memperkokoh bangsa kita,” ujarnya.

Jika tokoh militer masih bermain di ranah itu, maka akan membuka ruang lahirnya fasisme dan otoritarianisme. Maka dari itu, imbaunya, mereka perlu berkontribusi lebih postif dalam gagasan bernegara. Jangan hanya berkutat pada isu-isu artifisial seperti ancaman komunisme.

Berita Lainnya
×
tekid