sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang salah dari revisi UU Kementerian Negara

Penambahan jumlah kementerian lebih kental nuansa politis.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Kamis, 23 Mei 2024 20:46 WIB
Yang salah dari revisi UU Kementerian Negara

Hasrat Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian sepertinya tak akan menemui kendala berarti. Selain mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), semua fraksi di DPR RI juga seolah memberikan karpet merah untuk merealisasikan rencana tersebut.  

Dalam rapat pleno di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (16/5) lalu, anggota Badan Legislasi DPR satu suara menyatakan revisi Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian) jadi RUU inisiatif DPR. Salah satu poin revisi ialah Pasal 15 UU Kementerian yang menetapkan jumlah kementerian hanya 34. 

Dalam revisi terbaru, jumlah kementerian "ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan." Artinya, Prabowo bakal bebas menentukan jumlah kementerian di pemerintahannya nanti. 

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin berharap DPR bisa mengebut proses revisi UU Kementerian. Ia berdalih tak ada yang salah dengan penambahan jumlah kementerian jelang era pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Selain tantangan pemerintahan Prabowo-Gibran yang kian beragam, menurut Ngabalin, penambahan kementerian diperlukan untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Ia mengklaim Jokowi juga sudah setuju jumlah kementerian ditambah. 

"Tidak ada alasan untuk tidak segera dibahas. Itu (revisi UU Kementerian) harus segera karena tentu ke depan tantangannya lebih luas, lebih komprehensif," kata Ngabalin di kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (18/5). 

Revisi UU Kementerian disebut-sebut sebagai upaya Prabowo untuk mengakomodasi parpol-parpol pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Apalagi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai NasDem diisukan akan segera merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran. 

Saat ini, KIM beranggotakan empat parpol penghuni parlemen, yakni Partai Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Selain itu, ada sejumlah parpol nonparlemen yang juga ikut mengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, semisal Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Indonesia, dan Partai Gelora. 

Sponsored

Analis politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin menganggap wajar jika Prabowo menambah jumlah kementerian demi mengakomodasi parpol-parpol pendukung pemerintahannya di masa depan. Sebagai presiden, Prabowo juga punya hak untuk menentukan komposisi menteri. 

“Sebenarnya, kalau sudah menang itu, bagi-bagi kekuasaan ini umum dilakukan pemenang. Jadi, sah-sah aja. Walaupun terkadang malu-malu mengakui,” ujar Ujang kepada Alinea.id, Rabu (22/5).

Penambahan kementerian bakal menimbulkan segudang persoalan baru. Negara harus menyiapkan anggaran SDM untuk kementerian-kementerian baru. Selain itu, kementerian baru juga diperkirakan baru akan efektif bekerja setelah dua tahun didirikan. 

“Tentu yang harus diperhatikan pemerintah adalah efisiensi anggaran dan efisiensi birokrasi seandainya jumlah kementerian ini dinaikkan,” jelas Ujang.

Pakar hukum tata negara dari UPN Veteran, Wicipto Setiadi menilai penambahan jumlah kementerian lebih kental nuansa politis ketimbang karena didorong kebutuhan. Apalagi, mayoritas posisi menteri ialah jabatan politis yang lazimnya dijadikan "hadiah" atas kerja keras parpol di gelaran pilpres. 

Lebih jauh, Cipto mengatakan jumlah kementerian semestinya bisa dipertahankan hanya 34 kementerian. Untuk mengakomodasi parpol pengusung, Prabowo bisa membagi-bagi posisi wakil menteri kepada kader-kader parpol. 
 
“Atau dapat juga kementerian koordinator (kemenko) ditiadakan untuk mengakomodasikan kementerian yang membidangi urusan (portofolio),” katanya kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Secara aturan, Cipto mengakui tak ada yang dilanggar dalam penambahan jumlah kementerian. Apalagi, jumlah kementerian merupakan open legal policy (kebijakan terbuka) pembentuk UU. 

Yang tak boleh, lanjut Cipto, ialah menghapuskan keberadaan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Eksistensi tiga kementerian itu disebutkan secara eksplistit dalam UUD 1945. 

"Perubahan atas jumlah kementerian adalah sah-sah saja sepanjang dilakukan melalui prosedur yang benar, konstitusional, dan demokratis," kata Cipto. 
 

 

Berita Lainnya
×
tekid