Kementerian Hukum diminta memperketat pengawasan. Diperkirakan, masih ada oknum di lapas yang jadi bagian dari sindikat peredaran.
Kasus penyelundupan obat terlarang melalui drone ke dalam penjara di Bandung, Jawa Barat yang terungkap beberapa waktu lalu, menarik perhatian publik. Peristiwa itu menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok penyelundup obat terlarang terus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia, Edi Saputra Hasibuan mengatakan peristiwa itu sebagai ilustrasi kegagalan dalam sistem pengawasan di penjara. Penggunaan drone, kata dia, hanya satu dari sekian banyak metode baru yang digunakan sindikat penyelundup narkoba untuk menghindari pengawasan.
Sumber persoalan, lanjut Edi, tetap terletak pada lemahnya kontrol terhadap narapidana, khususnya dalam hal aksesibilitas terhadap alat komunikasi seperti telepon seluler. Para narapidana seharusnya terputus dari penggunaan ponsel.
"Apabila komunikasi tetap dibiarkan, maka penyelundupan dan transaksi obat terlarang akan terus berlangsung. Hari ini bisa dibersihkan, tetapi besok akan muncul lagi. Ini menandakan ada orang dalam yang terlibat,” jelas Edi Hasibuan kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Edi mengaku prihatin masih adanya jaringan narkoba yang diatur dari dalam penjara. Ia berpendapat bahwa hal ini tidak akan terjadi jika sistem pengawasan dilaksanakan dengan tertib dan tegas. Ia mendesak Kementerian Hukum dan HAM, terutama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, untuk melakukan penertiban secara menyeluruh.