Curhat produsen beras: Tercekik harga gabah, tercoreng isu oplosan
Industri beras nasional sedang "sakit-sakitan". Seiring kegaduhan yang timbul karena polemik beras oplosan, sejumlah produsen beras memutuskan untuk menyetop menggiling gabah dan memproduksi andalan mereka. Tingginya harga gabah jadi alasan produsen menunda produksi.
Teranyar, langkah itu diambil kilang padi Sinar Harapan yang berbasis di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam sebuah pengumuman kepada para mitra pedagang, Sinar Harapan mengungkap akan menghentikan sementara produksi dan distribusi beras bermerek Si Jempol.
"Keputusan ini diambil karena kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku yang menyebabkan biaya produksi melebihi harga eceran tertinggi. Demi mematuhi regulasi dan menjaga kerberlangsungan usaha, kami memilih untuk sementara melanjutkan produksi," tulis Sinar Harapan.
Langkah serupa sebelumnya diambil pengusaha beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur. PB Tunggal Perkasa yang berbasis di Jember, misalnya, sudah menghentikan produksi beras bermerek Pin-Pin, Violet, dan Wippie terhitung sejak 8 Juli 2025.
Dari Pasuruan, pengumuman serupa juga disebar CV Barokah Gemilang kepada para mitra pedagang. Sejak 2 Juli 2025, mereka menyetop produksi dan distribusi beras bermerek Mega Hijau, Mega Orange, dan Carica.
"Keputusan yang berat ini harus kami ambil demi menjaga kondisi perusahaan ke depan serta menjaga komitmen kami untuk mematuhi regulasi dan aturan yang berlaku dari pemerintah," jelas CV Barokah Gemilang dalam surat edaran mereka.
Situasi itu dibenarkan pengusaha beras dari PT Belitang Panen Raya, Johan Winata. Menurut Johan, saat ini banyak penggilingan yang sedang berjibaku untuk menutupi ongkos produksi atau harga pokok penjualan (HPP) yang melampaui HET.
"HPP gabah naik dari Rp6.000 jadi Rp6500 tanpa rafaksi sehingga menurunkan rendeman dan kualitas beras. Situasi diperparah karena naiknya HPP gabah itu, tapi HET berasnya tidak naik. Poin inilah yang sebetulnya menurunkan kualitas beras," kata Johan saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Harga gabah kering panen (GKP) memang terus naik sejak tiga tahun terakhir. Pada 2022, harga GKP di tingkat petani sebesar Rp4.200 per kilogram. Pada 2023 dan 2024, harga GKP kembali naik berturut-turut menjadi Rp5.000 dan Rp6.000 per kilogram. Tahun ini, GKP bercokol di harga Rp6.500 per kilogram.
Seperti produsen lainnya, PT Belitang Panen Raya juga turut terdampak kenaikan harga GKP. Perusahaan yang berbasis di Palembang, Sumatera Selatan itu sudah menyetop produksi beras medium Raja Biru, Mangga, dan Naruto Kuning sejak 7 Juli 2025.
Selain harga jual yang "tak masuk akal", menurut Johan, penggilingan juga sedang ketar-ketir karena stok gabah untuk produksi menipis. Pasalnya, mayoritas hasil panen masa tanam pertama 2025 diserap oleh Bulog.
Demi mewujudkan swasembada, menurut Johan, semua penggilingan wajib menyetor sebagian beras mereka ke Bulog. Per 29 Mei 2025, stok beras Bulog telah menyentuh 4 juta ton, tertinggi sejak badan itu didirikan pada 1967. Lonjakan cadangan beras pemerintah (CBP) terutama terjadi pada periode Januari-Mei 2025, mencapai 1,8 juta ton.
"Ya, kosong di semua penggilingan, mau besar maupun kecil. Harga mulai naik. Nah, kalau harga naik, apakah pengusaha beras disalahkan lagi? Dikatakan mengoplos dan tidak sesuai standar dan merugikan konsumen? Konsumen mana yang dirugikan?" tanya Johan.
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengumumkan hasil investigasi lapangan Satgas Pangan mengenai dugaan maraknya beras oplosan yang beredar di pasar. Dari 268 merek beras yang diuji di 13 laboratorium di 10 provinsi, menurut Amran, sebanyak 212 merek ditemukan bermasalah.
Data Satgas Pangan menunjukkan sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas HET, dan 21% memiliki berat kurang dari yang tertera di kemasan. Amran menyebut rakyat dirugikan kisaran Rp99,35 triliun per tahun akibat praktik beras oplosan itu.
"Penggilingan disalahkan seolah-olah menipu konsumen dan dikatakan mengoplos. Sampai detik ini, industri besar investasi mesin itu ratusan miliar. Niatnya pasti mau menghasilkan beras yang baik dan berkualitas sehingga dilirik oleh konsumen dan bisa mendapatkan izin edar," imbuh Johan menanggapi temuan itu.
Jika tidak ada perubahan kebijakan, Johan memprediksi beras kualitas medium tak akan lagi beredar di pasaran dalam beberapa bulan ke depan. Produsen tak mungkin berani memproduksi beras jika HET tidak naik dan harga gabah tak turun.
"Nanti di pasar yang ada cuma beras SPHP (stabilisasi pasokan dan harga pangan) Bulog. Silakan dinilai, sesuai standar atau tidak? Dan siapa yang berani mengontrol kualitas beras SPHP?" tanya dia.
Johan mengaku heran pengusaha beras terus-menerus ditekan pemerintah. Citra yang kadung terbangun, kata dia, seolah pengusaha beras dan penggilingan adalah mafia pangan. "Padahal, penggilingan adalah garda terdepan pascapanen gabah yang mestinya dirangkul oleh Pak Menteri Pertanian," imbuh dia.
Cerita serupa juga diungkap Fegi Sudariyanto, pengusaha beras dari CV. Barokah Gemilang yang berbasis di Pasuruan. Menurut dia, cadangan gabah untuk produksi yang mereka miliki hanya bisa bertahan untuk seminggu ke depan.
"Saat ini, kita banyak kehilangan pelanggan karena tidak bisa banyak untuk suplai ke toko-toko yang mengakibatkan turunnya omset. Produsen yang berhenti produksi beras medium juga sudah cukup banyak," kata Fegi kepada Alinea.id, Kamis (17/7).
Menurut Fegi, bahan baku beras langka karena panen raya sudah usai. Di lain sisi, stok beras di penggilingan juga tipis lantaran mayoritas diserap oleh Bulog. Banyak produsen juga memutuskan mengirit produksi lantaran ongkos produksi sudah melebihi HET.
"Bahkan ada juga yang setop produksi karena harga bahan baku gabah hari ini tidak dikonversikan (untuk memproduksi) beras medium. (Biaya produksi) sudah melewati HET sehingga produsen harus menjaga harga jual sesuai HET, sesuai aturan," kata Fegi.
CV Barokah Gemilang, kata Fegi, hingga kini tetap beroperasi karena pertimbangan "kemanusiaan". Ia tak ingin pegawainya menganggur dan sebisa mungkin menyerap gabah dari petani lokal.
"Meskipun hasilnya sedikit-sedikit karena kalau ditahan juga hasil panennya bisa rusak. Jadi, sementara kita produksi beras premium saja meskipun merugi sambil menunggu situasi kembali normal," tuturnya.

Tak selalu negatif
Guru besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menyebut ada kesan kasus beras oplosan dirancang sedemikian rupa dan dibesar-besar untuk merusak kepercayaan publik pada pelaku usaha beras. Menurut dia, mengoplos beras punya makna yang luas, tidak selalu berkonotasi negatif, dan merugikan publik.
"Sebab, bisa jadi mengoplos itu dilakukan oleh pedagang di pasar di karena ingin memenuhi selera konsumen. Sebagai contoh, masyarakat ingin beras yang wangi, tapi murah. Ya, beras kelas medium dicampur pandan wangi, tapi harga terjangkau. Jadi, itu bukan di penggilingan dan di pengusaha beras itu dioplos," kata Andreas kepada Alinea.id.
Andreas juga membenarkan bisnis beras saat ini sedang babak belur lantaran harga gabah yang naik tak diimbangi dengan kenaikan HET. Di sejumlah daerah, menurut Andreas, harga gabah di tingkat petani bahkan sudah menyentuh Rp7.500 per kilogram.
"Nah, misalnya HET beras premium. Saat ini, HET beras premium adalah Rp 14.900 per kilogram atau sebesar Rp74.500 per 5 kilogram, sementara ongkos produksinya 1 kilogram beras premium 15.500. Dari sini saja, sudah tercekik mereka. Belum lagi ongkos distribusi. Sudah tercekik mereka dan sekarang dibikin seolah mafia," kata Andreas.
Andreas menduga ada "permainan". Pasalnya, stok beras Bulog yang melimpah saat ini masih belum juga didistribusikan ke pasar. Di sisi lain, banyak produsen beras swasta yang sudah mengirit produksi lantaran terus-menerus merugi.
"Nanti ujungnya kelangkaan dan bisa chaos atau panic buying karena cadangan beras dikuasai oleh satu pihak. Ini bisa jadi terjadi pada bulan September sampai Februari (2026) kalau permainan ini tidak dihentikan," ujar Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu.


