close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gabah. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi gabah. Foto Pixabay.
Peristiwa
Kamis, 14 Agustus 2025 15:15

Mesin giling padi "mati suri": Petani untung, pengusaha buntung?

Para pengusaha penggilingan padi menghentikan operasi karena terus merugi dan khawatir jadi target operasi petugas lapangan.
swipe

Isu beras oplosan dan tingginya harga gabah bikin pengusaha penggilingan padi merana. Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso menyebut setidaknya ada 40% pabrik penggilingan padi yang tutup karena khawatir jadi target operasi aparat penegak hukum dan terus-menerus merugi. 

Angka itu diprediksi Sutarto merujuk pada temuan Ombudsman RI di Tempuran, Karawang, Jawa Barat. Di wilayah itu, 10 dari 23 penggilingan sudah berhenti beroperasi. Laporan serupa juga didapat Sutarto dari Yogyakarta dan Jawa Timur 

"Empat puluh persen kan kira-kira. Apakah itu bisa menggambarkan seluruh Indonesia? Ya, saya enggak bisa mengatakan kalau tidak ada survei. Tetapi, kalau penampakan di Karawang bisa saja terjadi di banyak tempat," kata Sutarto kepada wartawan di Karawang, Senin (11/8).

Temuan serupa juga dilaporkan Persatuan Pengusaha Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) di Jawa Tengah. Ketua Perpadi Jateng, Tulus Budiono mengatakan setidaknya 20% dari total 29 ribu pengusaha penggilingan anggota Perpadi menghentikan operasionalnya. 

"Sekitar 20% hingga 30% dari total 29 ribu anggota Perpadi Jatenglah yang tutup. Jumlah pastinya, penggilingan kecil yang sementara tidak beroperasional. Ya, lumayan banyak itu," kata Tulus dikutip dari Media Indonesia, Selasa (12/8) lalu. 

Menurut dia, para pengusaha penggilingan kecil terbebani dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan harga pokok produksi (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kg untuk semua jenis gabah. Di sisi lain, pemerintah tidak menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras.

"Pengusaha penggilingan besar berani ambil gabah sampai Rp8000. Tentu ini membuat penggilingan kecil menyerah. Jika nekat, itu jelas spekukasi tinggi sebab ketika dilepas di pasar (di atas HET), bisa-bisa terkena pengawasan petugas," imbuh Tulus. 

Guru besar dari Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dwi Andreas Santosa menilai operasi pangan pemerintah dalam tata negara beras dengan diksi "beras oplosan" telah membuat pelaku usaha beras, termasuk penggilingan, ketakutan. Para pengusaha penggilingan beras memilih tidak beroperasi ketimbang merugi dan kena sanksi. 

"Jelas mereka rugi. Tetapi, ketika penggilingan menyesuaikan mutu dengan mencampur beras broken 25 untuk menutup ongkos produksi, mereka bisa dituduh mengoplos. Pemerintah tidak konsisten ketika harga gabah kering Rp.6.500 harusnya HET dinaikan, biar tidak merugi" kata Andreas kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Andreas, HET beras medium sebesar Rp.12.500 per kilogram, sedangkan harga produksi bisa mencapai Rp13.880. Adapun HET beras premium sebesar Rp14.900 per kilogram, namun biaya produksinya bisa mencapai Rp15.552 per kilogram. 

Di sisi lain, kata Andreas, harga gabah sudah ada yang mencapai Rp.8000 per kilogram di beberapa daerah. "Akan tetapi, HET tetap di harga Rp12.500 untuk beras medium, dan Rp14.900 untuk beras premium. Padahal, (harga gabah) sudah sangat mencekik," jelas Andreas. 

Menurut Andreas, HET sebaiknya hanya ditetapkan pemerintah untuk beras dengan kualitas medium. Adapun beras premium dibiarkan harganya sesuai mekanisme pasar agar kompetitif. 

"Jadi skenario moderat seperti itu. Beras medium tetapkan HET, sementara beras premium lepas saja ke pasaran. Lagi pula hanya sedikit orang yang mengonsumsi beras premium," kata Andreas. 

Paranoia pengusaha

Selain itu, Andreas menilai pemerintah harus mengubah cara pendekatan penertiban tata kelola niaga beras. Menurut dia, petugas Bareskrim Polri dan Satgas Pangan Polri semestinya ditarik dari lapangan dan berhenti menakut-nakuti penggilingan beras.

"Kalau terus ditakuti-takuti, ini nanti akan terjadinya chaos (kekacauan)," kata Andreas.  

Pakar kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah tak boleh berlebihan dalam mengintervensi tata niaga beras. Pelaku usaha beras juga harus dilindungi agar merasa aman dan tidak terus-menerus merugi saat memproduksi beras. 

"Jadi, memang beras ini juga tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke pasar. Negara harus punya kendali karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Trubus kepada Alinea.id. 

Namun demikian, Trubus setuju jika aparat keamanan dan petugas Satgas Pangan harus ditarik dari lapangan. Inspeksi-inspeksi dadakan yang mereka gelar bikin pelaku usaha beras ketakutan, termasuk pemilik penggilingan. 

"Dengan menerjunkan aparat, pelaku usaha beras dan penggilingan beras berasa dalam situasi penuh ketidakpastian. Mereka juga harus diberi pelindungan, jangan semata ditakut- takuti," kata Trubus.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan