Presiden Prabowo Subianto kembali menyingggung perkara peredaran beras oplosan. Dalam sambutannya di peringatan utang tahun ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Rabu (23/07) lalu, Prabowo menegaskan sudah menginstruksikan agar Polri dan Kejaksaan Agung menyelidiki kasus-kasus beras oplosan.
"Beras yang disubsidi ini... Yang ditempel, katanya, beras premium. Harganya tambah Rp5.000-Rp6.000. Ini, menurut saudara, benar atau tidak? Ini adalah pidana. Ini enggak benar,” ujar Prabowo di depan kader PKB, para ulama, dan para ketua umum parpol yang hadir di acara tersebut.
Sektor pangan seperti beras, jagung, dan minyak goreng, menurut Prabowo, tidak boleh dikuasai oleh mekanisme pasar semata. Prabowo mengusulkan istilah “serakahnomics” untuk menggambarkan fenomena penyimpangan yang terjadi akibat keserakahan sejumlah oknum.
“Kalau produksi beras, ini hajat hidup orang banyak atau tidak? Kalau produksi jagung, hajat hidup orang banyak atau tidak? Kalau produksi minyak goreng, hajat hidup orang banyak enggak? Bagaimana bisa Indonesia produsen minyak goreng, produsen kelapa sawit terbesar di dunia, kok bisa minyak goreng hilang, langka?” tanya Presiden.
Menurut Prabowo, praktik manipulasi harga dan beras oplosan menyebabkan kerugian negara hingga Rp100 triliun per tahun. Duit sebesar itu, kata Prabowo, bisa dipakai untuk membangun ribuan sekolah dan menyediakan makan bergizi gratis bagi jutaan anak.
“Jadi tidak bisa, saya tidak bisa membiarkan hal ini. Saya sudah beri tugas kepada Kapolri dan Jaksa Agung usut, tindak. Usut, tindak, sita. Karena Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara,” kata dia.
Isu beras oplosan kali pertama diembuskan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Menurut Amran, hasil investigasi lapangan Satgas Pangan menunjukkan maraknya beras oplosan yang beredar di pasar. Dari 268 merek beras yang diuji di 13 laboratorium di 10 provinsi, sebanyak 212 merek ditemukan bermasalah.
Data Satgas Pangan menunjukkan sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21% memiliki berat kurang dari yang tertera di kemasan. Amran menyebut rakyat dirugikan kisaran Rp99,35 triliun per tahun akibat praktik beras oplosan itu.
Seorang pekerja mengangkut karung beras saat melakukan bongkar muat di Gudang Bulog Baru Cisaranten Kidul Sub Divre Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/7/2018). Foto Antara/dokumentasi
Bagaimana situasi industri beras saat ini?
Per 29 Mei 2025, stok beras di Bulog telah menyentuh angka 4 juta ton, tertinggi sejak badan itu didirikan pada 1967. Lonjakan cadangan beras pemerintah (CBP) terutama terjadi pada periode Januari-Mei 2025, mencapai 1,8 juta ton.
Berdasarkan laporan Food Outlook Biannual Report on Global Food Markets yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada Juni 2025, Indonesia tercatat sebagai negara produsen beras terbesar ke-4 di dunia. Di Asean, Indonesia berada di atas Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina.
Laporan yang sama memproyeksikan produksi beras Indonesia pada periode 2025–2026 akan mencapai 35,6 juta ton. Capaian itu menunjukkan peningkatan signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan produksi mencapai kisaran 4,5%.
Meskipun punya cadangan beras yang besar, Bulog tak punya kemampuan untuk mengontrol harga beras di pasaran. Pasalnya, Bulog hanya menguasai kisaran 10%-15% pangsa pasar beras di Indonesia. Mayoritas pangsa pasar dikuasai pedagang swasta. Bulog juga hanya berfungsi sebagai stabilisator harga beras.
Mungkinkah penguasaan industri beras oleh negara?
Dalam sebuah opini yang tayang di CNBC, pekan lalu, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Riyono menjabarkan sejumlah langkah supaya negara bisa menguasai beras. Pertama, pemaksimalan peran Bulog dalam pengadaan. Kemampuan serap Bulog juga ditingkatkan hingga kabupaten dan kota.
"Perlunya gudang beras dimiliki oleh pemerintah daerah. Apakah bisa? Bisa. Melalui BUMN dan BUMD bisa dilakukan dengan keberanian memulainya. Targetnya serapan beras bisa di angka 20%-50% dari kebutuhan di daerah. APBD harus menyiapkan sebagaimana dana pendidikan dan kesehatan. Politik anggaran harus jalan," ujar Riyono.
Kedua, penetapan HET harus tetap dilakukan secara berkala. Setiap tiga bulan sekali, HET harus dievaluasi untuk mengetahui perkembangan pasar global dan nasional. "HET berkala untuk antisipasi kenaikan dan penurunan harga akibat faktor internal atau eksternal," ujarnya.
Ketiga, pengawasan oleh pemerintah pusat sampai daerah. Untuk memastikan harga terkontrol maka pengusaha beras harus terdaftar di pemda sampai pusat. Setiap pekan, perusahaan diminta laporan perkembangan produksi dan penjualan serta harga di pasar. "Ini memang agak ribet tetapi akan menjadi instrumen efektif bagi pengawasan," kata dia.