Apa mungkin negara mengurusi beras tanpa swasta?
Presiden Prabowo Subianto kembali menyingung persoalan beras subsidi yang dioplos dan dijual sebagai beras premium. Dalam pidatonya pada acara hari ulang tahun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke-27 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (24/7), Prabowo menyebut tindakan itu sebagai perbuatan pidana dan kurang ajar.
Prabowo melihat ada ironi dari rantai subsidi beras yang diberikan negara, namun kemudian dimanfaatkan segelintir pihak untuk mencari keuntungan pribadi. Negara, kata dia, sudah menggelontorkan banyak subsidi supaya beras bisa diproduksi dengan harga murah.
"Kita subsidi benih. Kita subsidi pupuk. Pabrik pupuk milik rakyat milik negara. Pestisida disubsidi. Waduk-waduk dibangun oleh uang rakyat. Ya, irigasi-irigasi dibangun oleh uang rakyat. Beras alat-alatnya pakai bahan bakar disubsidi oleh rakyat. Begitu sudah digiling jadi beras, ya, itu paket diganti (jadi premium)," kata Prabowo.
Prabowo juga menyinggung bunyi Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Pasal itu, kata dia, menekankan bahwa sektor produksi strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. "Sekarang saya tanya, kalau produksi beras, ini hajat hidup orang banyak atau tidak?" tanya Prabowo.
Menurut Prabowo, praktik manipulasi harga dan beras oplosan menyebabkan kerugian negara hingga Rp100 triliun per tahun. Duit sebesar itu, kata Prabowo, bisa dipakai untuk membangun ribuan sekolah dan menyediakan makan bergizi gratis bagi jutaan anak.
“Jadi, tidak bisa saya tidak bisa membiarkan hal ini. Saya sudah beri tugas kepada Kapolri dan Jaksa Agung usut, tindak. Usut, tindak, sita karena (bunyi) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara,” kata dia.
Isu beras oplosan kali pertama diembuskan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Menurut Amran, hasil investigasi lapangan Satgas Pangan menunjukkan maraknya beras oplosan yang beredar di pasar. Dari 268 merek beras yang diuji di 13 laboratorium di 10 provinsi, sebanyak 212 merek ditemukan bermasalah.
Data Satgas Pangan menunjukkan sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21% memiliki berat kurang dari yang tertera di kemasan. Amran menyebut rakyat dirugikan kisaran Rp99,35 triliun per tahun akibat praktik beras oplosan itu.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Rani Septyarini, menilai penafsiran Pasal 33 UUD 1945 tak relevan digunakan pemerintah sebagai dalih untuk menguasai industri dan pasar beras. Industri beras tidak seperti tambang yang saat ini banyak dikelola oleh sektor privat dan langsung menyengsarakan warga di sekitar pertambangan.
Menurut Rani, Pasal 33 UUD 1945 bisa digunakan untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya dan cabang- cabang produksi penting, termasuk pangan seperti beras. Namun, pasal itu tak bisa jadi dasar untuk menghukum pelaku usaha. Pasal 33 semestinya jadi dasar untuk mengatur peran negara dalam regulasi dan pengawasan.
"Dalam kasus beras premium dengan HET (harga eceran tertinggi) sekitar Rp14.600, tapi biaya produksi mencapai Rp15.500 itu justru menunjukkan kegagalan kebijakan harga, bukan semata kesalahan produsen," kata Rani kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Rani, negara tidak boleh terlalu dalam ikut campur dalam industri beras, baik itu mengatur harga atau rantai distribusi. Apalagi jika instrumen-instrumen negara seperti kepolisian dan kejaksaan dipakai untuk mengontrol para produsen beras yang kini dilabeli mafia beras.
"Jika semua pelanggaran administratif atau kekeliruan teknis dikaitkan ke Pasal 33, y,a semua pelaku usaha bisa 'di-Tom Lembong-kan'. Ini over regulasi yang bikin takut pelaku usaha, mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum, dan memperburuk iklim usaha," kata Rani.
Tom Lembong yang dimaksud Rani ialah Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (18/7) lalu, Tom divonis hukuman penjara 4,5 tahun.
Meskipun tak terbukti punya niat jahat atau menguntungkan diri sendiri, Tom disebut telah menyebabkan kerugian negara karena kebijakan impor gula kristlal mentah (GKM) yang dilakukan Tom saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan era Jokowi.
Rani berpendapat pebisnis beras swasta tak boleh diberangus lewat kebijakan-kebijakan pemerintah. Ia mencontohkan kasus-kasus produsen yang dipaksa menjual di bawah biaya produksi. Jika terus merugi, ia khawatir akan ada banyak pengusaha yang gulung tikar dan beralih ke bisnis lain.
"Jika iklim usaha terganggu karena ada ketakutan tadi, sisi swasta akan terkena dampaknya. Tanpa peran sektor swasta yang sehat, pemerintah akan menanggung semua pembelian, penyimpanan, dan distribusi beras. Akibatnya, beban subsidi bisa membengkak," kata Rani.
Jika ingin serius mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 secara konsekuen, menurut Rani, pemerintah seharusnya membenahi tata kelola tambang supaya keuntungan yang didapat benar-benar untuk kemakmuran rakyat.
"Karena tambang itu termasuk cabang penting, ya. Tetapi, kembali lagi bahwa meskipun dikuasai negara, digunakan untuk kemakmuran rakyat, saya enggak tahu bagimana pemerintah menghitung 'makmur-nya' itu. Siapa yang makmur? Masyarakat mana yang makmur ketika masyarakat sekitar banyak yang kena dampak eksternalitasnya?" tanya Rani.


