Perbedaan data kemiskinan antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencuat ke ruang publik setelah laporan Bank Dunia menyebutkan 60,3% masyarakat Indonesia masih tergolong miskin dari total 285,1 juta jiwa penduduk. Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Andi Yuliani Paris, mengatakan perbedaan angka tersebut bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat masing-masing lembaga menggunakan metodologi dan variabel berbeda.
“Data itu sangat tergantung pada variabel yang digunakan. BPS punya metodologi sendiri, begitu juga Bank Dunia. Jadi wajar jika hasilnya berbeda,” ujar Andi dalam keterangan, dikutip Minggu (4/5).
Diketahui, terdapat perbedaan data jumlah kemiskinan masyarakat Indonesia versi Bank Dunia dan BPS. Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook mencatat 171,8 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Dengan angka itu, berarti lebih dari 60,3% penduduk RI hidup miskin.
Di sisi lain, BPS melaporkan tingkat kemiskinan Indonesia hanya 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024. Artinya, ada selisih angka kemiskinan sampai 147,74 juta antara versi Bank Dunia dengan hasil perhitungan BPS.
Andi menyampaikan penting bagi publik untuk memahami konteks di balik angka-angka tersebut. Dia bilang, perbedaan data bukan berarti kebingungan, melainkan cerminan dari keragaman pendekatan dalam mengukur fenomena sosial ekonomi. Andi juga menekankan setiap data perlu dianalisis secara kritis dan tidak dijadikan alat tunggal dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Andi mengingatkan meskipun data internasional kerap menjadi referensi, Indonesia tetap harus mengedepankan data resmi nasional, terutama dari BPS, dalam menyusun arah kebijakan publik.
“Kita tidak anti terhadap data dari luar, termasuk Bank Dunia. Tapi tetap, kita harus utamakan data dari BPS sebagai rujukan utama untuk pengambilan keputusan,” tegas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Andi juga mengajak media dan lembaga pendidikan untuk lebih aktif meningkatkan literasi statistik masyarakat agar publik memahami cara kerja data dan tidak mudah termakan narasi yang bisa menyesatkan.