sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Daya beli masyarakat lemah, pemerintah harus percepat realisasi belanja

Realisasi belanja negara minus 1,4% dibanding setahun silam.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 06 Jul 2020 16:38 WIB
Daya beli masyarakat lemah, pemerintah harus percepat realisasi belanja

PT Bahana TCW Investment Management menyebut pemerintah perlu mempercepat realisasi belanja pada semester II-2020. Hal ini bertujuan untuk mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi Covid-19, sekaligus meningkatkan kredibilitas kebijakan stimulus pemerintah, terutama bagi investor asing.

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, data Kementerian Keuangan menunjukkan defisit anggaran hingga akhir Mei sebesar Rp179,6 triliun, setara dengan 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, target defisit pemerintah direncanakan mencapai 6,3% dari PDB.

Di sisi lain, realisasi belanja negara baru mencapai Rp843,9 triliun dari total target Anggaran Belanja Negara (APBN) sesuai Perpres 72/2020 sebesar Rp2.739 triliun. Realisasi itu minus 1,4% dibanding setahun silam.

Secara rinci, total anggaran perlindungan sosial yang sudah didistribusikan pemerintah mencapai 34,1% dari total anggaran. Sementara, realisasi anggaran kesehatan hanya sekitar 4,68% dari total pagu anggaran Rp87,55 triliun. Rendahnya realisasi anggaran kesehatan ini disebabkan adanya kendala teknis seperti keterlambatan pengajuan klaim, verifikasi tenaga kesehatan dan kendala administrasi lainnya.

"Belum optimalnya realisasi anggaran belanja ini mengakibatkan pertumbuhan uang beredar (M1 growth), sebagai acuan daya beli secara moneter, lebih rendah dibandingkan negara lainnya," kata Budi dalam keterangan resminya, Senin (6/7).

Pertumbuhan M1 Indonesia pada Mei 2020 tercatat tumbuh 9,65% dibanding tahun lalu. Angka ini memang lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata sebesar 5%. Namun, pertumbuhan ini tidak menonjol dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang mencapai 33%, Uni Eropa 12%, Brazil 32%, India 17% dan Turki 83%. Bahkan, negara tetangga seperti Filipina melaju dengan 26%.

Menurut Budi,pertumbuhan daya beli melalui insentif fiskal ini sangat penting untuk mengompensasi pelemahan daya beli yang selama ini berasal dari peningkatan harga komoditas primer. Pasalnya, selama tahun berjalan, harga komoditas crude palm oil (CPO), batu bara, dan karet anjlok sekitar 23%.

Budi melanjutkan, perlambatan pertumbuhan M1 berisiko menahan pertumbuhan kredit yang sangat penting agar pertumbuhan ekonomi lebih gesit. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei, kata Budi, menunjukkan pertumbuhan kredit hanya tumbuh 3,04% secara tahunan (yoy) atau merupakan angka terendah sejak 1998.

Sponsored

“Saat masyarakat kesulitan finansial dan keberanian perbankan memacu kredit lemah, sangat dibutuhkan kebijakan kontra siklus pemerintah melalui beragam stimulus fiskal dan moneter. Kami menghitung dampak moneter stimulus antisipatif pemerintah tahun ini sekitar Rp1.160 triliun. Jadi kami berharap pemerintah bisa segera mengoptimalkan realisasi belanja negara di semester II,” tutur Budi.

Budi juga menilai realisasi stimulus yang lebih cepat dan efektif merupakan katalis penting bagi pasar modal hingga akhir tahun.

Berita Lainnya
×
tekid