sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Derita pedagang kecil: Inflasi tinggi, pembeli sepi

Kenaikan harga bahan pangan, elpiji, dan harga BBM membuat modal pedagang melonjak sementara pembeli kian sepi.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 24 Okt 2022 06:50 WIB
Derita pedagang kecil: Inflasi tinggi, pembeli sepi

Abdurrahman Hanif mengamuk lantaran ibunya enggan membelikan permen kapas di depan pintu masuk Ramayana Robinson Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Minggu pagi (16/10) itu. Lia, sang ibu mengatakan harga arum manis atau permen kapas Rp12.000 per buah, sedang uang cash sisa kembalian di dompetnya hanya Rp10.000. 

“Bapak penjualnya juga enggak mau kasih diskon. Sudah ditawar juga enggak mau,” gerutu perempuan 33 tahun itu, saat berbincang dengan Alinea.id.

Si penjual permen kapas Supriyanto pun beralasan sebelum bulan Puasa, dia memang menjual gula-gula kapasnya dengan harga Rp10.000 per buah. Namun, karena harga bahan pokok dan lain-lain naik, dia terpaksa mengerek harga dagangannya.

Jika tidak, pedagang 55 tahun ini tidak bisa mencukupi kebutuhan hariannya. Padahal, selain dirinya, Supriyanto juga harus memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua cucu yang tinggal bersamanya. Belum lagi, belakangan dagangannya semakin sepi pembeli.

“Kalau tetep Rp10.000, yang beli sedikit, untungnya cuma dikit. Kalau gitu, saya makan apa nanti?” keluhnya, kepada Alinea.id.

Pedagang yang sudah menjajakan permen kapas lebih dari 20 tahun ini mengaku, harga gula pasir yang merupakan bahan dasar dagangannya tersebut memang tidak terlalu banyak mengalami kenaikan. Bahkan, di Pasar Kramat Jati, tempatnya biasa berbelanja, harga komoditas ini masih berada di kisaran Rp13.000-Rp14.000 per kilogram.

Namun, selain bahan pangan, tarif angkutan kota (angkot) yang biasa dinaikinya dari belakang pasar Kramat Jati ke Pasar Minggu pun turut mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp5.000 menjadi Rp6.000 sekali jalan.

Mungkin, bagi beberapa orang kenaikan tarif angkot yang sebesar Rp1.000 tersebut bukan masalah besar, tapi tidak demikian dengan Pri. Pun semakin banyak harga kebutuhan pokok yang melonjak, ia berpikir semakin keras. Bagaimana caranya mendapat pundi-pundi lebih banyak, agar keluarganya tetap dapat makan tiga kali sehari. 

Sponsored

“Sekarang kalau sore hujan, jadi ya tambah sepi yang beli. Kalau ditawar, ya saya enggak untung jadinya, malah bisa rugi,” tegas pedagang yang tiap hari paling banyak menjual 10- 15 buah permen kapas itu.

Strategi bertahan

Kondisi melonjaknya harga kebutuhan pangan diperparah dengan kenaikan harga BBM bersubsidi. Begitu juga dengan harga energi yakni gas elpiji. Supriyanto pun tak sendiri, ada banyak pedagang yang harus bersiasat agar tetap untung.

“Udah harga gas (elpiji) sekarang mahal, beras mahal, telur mahal, cabai mahal, semua-muanya naik semua,” kata pemilik warung makan Bu Slamet, Nur Hamidah, saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (17/10).

Ilustrasi Pixabay.com.

Pedagang warung di Jalan Aup, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini mengaku naiknya harga bahan pokok, sayuran, hingga lauk-pauk jelas membuatnya kelimpungan. Pasalnya, dia tetap harus menggunakan bahan-bahan yang mengalami kenaikan harga tersebut sebagai bahan dasar atau bumbu masakannya.

Sebagai contoh, meski harga beras naik, Bu Slamet harus tetap menyediakan nasi, karena warung makan yang dijalankannya menjual nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. “Atau pas cabai naik, ya saya tetap harus beli. Wong masakan saya rata-rata pedes, terus juga masih harus membuat sambal,” jelas dia.

Selepas Ramadan dan Lebaran kemarin, harga-harga pangan dan kebutuhan pokok memang banyak mengalami kenaikan. Hal ini kemudian diperparah dengan adanya kenaikan harga BBM, yang diumumkan pemerintah pada Sabtu (3/9) siang. Sejak saat itu, harga beberapa kebutuhan yang sudah naik, semakin bergerak tinggi.

Pada akhirnya, agar tetap untung, dia pun lebih memilih untuk mengurangi porsi makanannya. “Mau naikin harga, nanti mereka (pelanggan) malah tambah protes. Saya takut juga, kalau naikin harga malahan enggak ada yang beli,” katanya khawatir.

Hal serupa juga dirasakan oleh Rince Maylin yang memiliki usaha Pempek. Pemilik kedai Pempek Kylen di kawasan Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan ini bilang, selain mengecilkan ukuran pempek yang dijualnya, dia juga mengganti cabai keriting segar yang digunakannya sebagai bahan membuat cuko dengan cabai kering.

Dari sisi rasa, penggunaan bahan substitusi ini memang membuat cuko pempek lebih tidak pedas, jika dibandingkan dengan menggunakan cabai segar. Namun, hal ini harus dilakukannya untuk tetap mendapatkan untung.

“Kalau enggak diganti, untungnya tipis banget. Karena kan bahan yang lain kayak tenggiri, tepung tapioka, atau telur enggak bisa diganti sama bahan lain,” kata dia, kepada Alinea.id, Selasa (18/10).

Karenanya, Rince berharap agar pemerintah dapat turun tangan dalam menormalkan harga-harga barang yang sudah terlalu mahal. Dia khawatir, jika harga barang khususnya pangan tak kunjung terkendali, akan banyak usaha yang terancam.

“Sekarang aja yang beli sudah sedikit, tambah lama, tambah sepi. Takutnya ini bertahan lama,” kata perempuan 37 tahun itu. 

Merangkak naik

Fenomena melambungnya harga-harga kebutuhan pokok ini pun tercermin dari tingkat inflasi nasional yang melonjak pada April 2022. Inflasi terus bergerak naik, meski pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Bank Indonesia (BI) melalui tim pengendali inflasi pusat (TPIP) dan tim pengendali inflasi daerah (TPID) telah melakukan beragam upaya untuk meredam laju inflasi yang sudah terlalu cepat.

Pada Maret 2022, tingkat inflasi umum masih berada di bawah sasaran inflasi BI yang sebesar 3 plus minus 1, tepatnya di level 2,64% secara tahunan (year on year/yoy) atau 0,66 secara bulanan (month to month/mtm). Secara komponen, inflasi pada bulan ini disumbang oleh inflasi inti yang sebesar 2,37% yoy atau 0,30% mtm, inflasi komponen bergejolak 1,99% mtm atau 3,25% yoy, dan inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) 3,06% yoy atau 0,73% mtm.

Pada April, inflasi melaju kencang di level 3,47% yoy, lebih tinggi dari target Bank Sentral dan melonjak 0,95% dari inflasi bulan sebelumnya. “Perkembangan ini dipengaruhi oleh peningkatan inflasi semua kelompok, yaitu volatile food, administered prices dan inti,” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, dalam keterangannya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Secara rinci, inflasi inti pada bulan tersebut berada di level 0,36% mtm atau 2,60%, yang mana disumbang oleh komoditas kue kering berminyak dan mobil, seiring dengan peningkatan harga minyak goreng dan lonjakan mobilitas masyarakat. Berikutnya, inflasi kelompok harga bergejolak tercatat sebesar 5,48% atau naik 2,30% dari bulan sebelumnya. Inflasi kelompok ini terutama disumbang oleh inflasi minyak goreng, daging, telur ayam ras, serta ikan segar. 

Foto Pixabay.com.

Penyebabnya, tak lain ialah karena adanya penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) pada minyak goreng kemasan, peningkatan biaya pakan ternak dan kendala kondisi cuaca. Di saat yang sama, lonjakan inflasi pada periode ini juga dikarenakan adanya peningkatan permintaan, seiring dengan naiknya mobilitas masyarakat dan Hari Raya Idul Fitri.

Sementara itu, dari kelompok harga diatur pemerintah, inflasi juga tercatat naik 1,83% dari bulan sebelumnya, menjadi 4,83%. Perkembangan tersebut terutama dipengaruhi oleh inflasi bensin, tarif angkutan udara dan bahan bakar rumah tangga.

Pada bulan-bulan selanjutnya, inflasi terus melanjutkan lajunya, dengan tingkat inflasi tertinggi terjadi pada September 2022. Di mana pada bulan lalu, inflasi berada pada level 5,95% yoy, jauh lebih tinggi dari tingkat inflasi September 2021 yang hanya sebesar 1,60%. Sementara secara bulanan, inflasi pada periode ini ialah sebesar 1,17% mtm.

“Inflasi secara bulanan ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, dalam konferensi pers, Senin (3/10).

Berdasarkan komponen, kelompok harga diatur pemerintah menjadi penyumbang paling dominan dari kenaikan tingkat inflasi September kemarin. Di mana inflasi kelompok ini tercatat di level 13,28% yoy dengan andil 2,35% terhadap inflasi umum. Menyusul keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak.

Selanjutnya, tingkat inflasi nasional disumbang oleh inflasi dari kelompok inti, dengan kontribusi 2,11% atau tercatat sebesar 3,21% yoy. Kemudian, inflasi didorong pula oleh komponen volatile food, yang memiliki andil 1,49% atau tercatat 9,02% yoy. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga sejumlah bahan pangan, seperti cabai merah, telur ayam ras, minyak goreng, dan cabai rawit. 

“Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga pada September 2022, antara lain beras, telur ayam ras, rokok kretek filter, rokok kretek, air kemasan, bahan bakar rumah tangga, bensin, tarif angkutan dalam kota, solar, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan roda 2 online,” rinci Margo.

Kemudian ada pula tarif kendaraan roda 4 online yang juga mengalami lonjakan, uang kuliah akademi/perguruan tinggi (PT), dan bakso siap santap. Sedang komoditas yang mengalami penurunan harga, antara lain, bawang merah, cabai merah, minyak goreng, tomat, cabai rawit, ikan segar, tarif angkutan udara, dan emas perhiasan.

Imbas kenaikan harga BBM

Pasca kenaikan harga BBM, harga barang memang banyak melonjak naik. Beras kualitas medium I yang sebelum kenaikan harga BBM dihargai Rp11.950 per kilogram, kini menjadi Rp12.200 per kg. Beras kualitas medium II yang sebelumnya Rp11.800 menjadi Rp12.000 per kilogram. Begitu juga dengan Beras kualitas super I dan II yang masing-masing sebelum kenaikan bahan bakar minyak dipatok sebesar Rp13.250 dan Rp12.850, menjadi masing-masing Rp13.500 dan Rp13.150 per kilogram.

Sementara itu, beberapa komoditas seperti telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, cabai merah besar, dan cabai merah keriting menunjukkan penurunan harga. Di sisi lain, cabai rawit merah nampak masih tinggi, meski pada ini sudah turun di level Rp53.550 per kilogram, dari yang sebelumnya Rp62.500 dan sempat menyentuh harga tertinggi, yakni Rp69.050 pada Senin (19/9).

Foto Pixabay.com.

Harga minyak goreng juga perlahan mengalami penurunan setelah pemerintah melakukan berbagai upaya pengendalian. Di sisi lain, gula pasir kualitas premium tercatat naik tipis dari Rp15.800 menjadi Rp15.900 per kilogram. Sebaliknya gula pasir lokal turun tipis dari Rp14.500 menjadi Rp14.400 pada hari ini.

“Inflasi volatile food terkendali sebesar 9,02% (yoy) sejalan dengan sinergi dan koordinasi kebijakan yang erat melalui TPIP-TPID dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) dalam mendorong ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, kestabilan harga, dan komunikasi efektif,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober, Kamis (20/10).

Namun demikian, pihaknya masih tetap harus mewaspadai laju inflasi nasional. Pasalnya, meski sudah terkendali dan tidak setinggi banyak negara lainnya, tingkat inflasi nasional masih jauh di atas sasaran 3,0 plus minus 1%. Tidak hanya itu, Bos BI ini juga mengakui jika banyak harga kebutuhan pokok di pasaran masih terlampau tinggi.

“Dari sisi pemerintah telah banyak menempuh kebijakan fiskal dan menambah subsidi BBM dan menambah anggaran untuk subsidi ekonomi. Dari sisi Bank Indonesia, kami terus berusaha untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah untuk memitigasi imported inflation,” beber Perry.

Perlu diketahui, imported inflation merupakan inflasi yang berasal dari luar negeri, yang timbul akibat kenaikan harga barang-barang impor. Karenanya, untuk memitigasi inflasi impor, menyusul pelemahan rupiah ini, BI pun memutuskan untuk melakukan kebijakan moneter dengan mengerek suku bunga acuan (BI 7 Day Repo Rate/BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan ini. Sehingga, suku bunga acuan BI Oktober menjadi 4,75%.

“Sekali lagi, ini adalah untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi. Kami lihat, di consensus forecast inflasi ekspektasinya di 6,6%-6,7%. Padahal ekspektasi perkiraan, perkiraan Bank Indonesia setelah bulan lalu 5,95%,” katanya.

Dengan berbagai upaya ini dan juga berdasarkan survei pemantauan harga, pada bulan ini inflasi IHK akan ada di kisaran 5,88% dan untuk keseluruhan tahun ini tingkat inflasi akan berada di level 6,3%. Lebih rendah dari ekspektasi inflasi forecast yang sebesar 6,6% - 6,7%.

Masih landai

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, dibandingkan Amerika Serikat, Eropa, atau beberapa negara emerging market lainnya, tingkat inflasi umum Indonesia memang belum terlalu tinggi. Namun, penting bagi pemerintah untuk menjadikan inflasi bulan lalu sebagai lampu kuning inflasi bulan selanjutnya hingga akhir tahun nanti.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sebab, Indonesia masih dibayangi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk dari kondisi ekonomi global. “Warga di Eropa dan Amerika sudah teriak, meminta kepada bank sentral mereka untuk mengatasi inflasi tinggi dan berkepanjangan ini. Kalau sudah begini, maka The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya, begitu juga dengan bank sentral Eropa. Ini akan berdampak juga ke kita,” kata dia, kepada Alinea.id, Kamis (20/10).

Saat bank-bank sentral dunia menaikkan suku bunga acuan, Tauhid khawatir di akhir tahun hingga awal tahun 2023, mata uang rupiah akan semakin tertekan. Jika begitu, inflasi yang disebabkan oleh barang-barang impor pun dapat terjadi dan semakin mendongkrak laju inflasi nasional.

“Tapi ini akan terlihatnya sekitar 3-4 bulan lagi. BI memang sudah melakukan intervensi dengan menaikkan suku bunga. Tapi dampaknya juga belum bisa langsung terlihat ke inflasi kita, butuh waktu,” imbuhnya.

Sementara itu, pada kesempatan lain, Ekonom Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, inflasi bulan Oktober diperkirakan akan lebih tinggi dari September.

“Karena tarif angkutan naik, pengusaha jadi membebankan biaya transportasi ke konsumen akhir. Ini lah yang membuat harga barang di level pengecer naik,” jelasnnya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (19/10).

Sepanjang tahun lalu harga minyak mentah dunia memang melesat tinggi, setelah sempat berada di area minus pada 2020. Minyak jenis Brent misalnya, yang pada sepanjang 2021 terkerek hingga 50,12%, atau jenis West Texas Intermediate/WTI) yang meroket hingga 55%. Kenaikan ini pun masih berlanjut hingga tahun ini.

Pada perdagangan Jumat (21/10) misalnya, harga minyak WTI kontrak Desember 2022 di New York Mercantile Exchange menguat 0,64% ke US$85,05 per barel. Dalam sepekan, harga minyak acuan AS ini menguat 0,47%. Sedangkan harga minyak Brent kontrak Desember 2022 di ICE Futures menguat 1,21% ke US$93,5 per barel. Dalam sepekan, harga minyak acuan internasional ini menguat 2,07%.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Berita Lainnya
×
tekid