Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun menegaskan stabilitas harga komoditas masih menjadi tantangan utama dalam penerimaan pajak nasional. Di tengah kondisi tersebut, ia mendorong percepatan implementasi sistem perpajakan ekonomi digital yang dinilai memiliki potensi besar untuk meningkatkan penerimaan negara.
Misbakhun menyampaikan penerapan pajak digital seharusnya menjadi prioritas, mengingat potensi besar yang dimiliki dari berbagai aktivitas ekonomi digital.
“Potensi pajak digital itu bisa diperoleh dari Netflix, Google, YouTube, dan aktivitas lainnya,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/5).
Namun, Politisi Partai Golkar itu menyayangkan pembahasan mengenai sistem perpajakan digital masih tertunda dan belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Misbakhun menyebut Indonesia telah berkomitmen mengikuti protokol Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam Pilar terkait pajak digital, meskipun beberapa negara besar seperti Amerika Serikat telah mengambil langkah berbeda.
“Indonesia mengikuti protokol OECD mengenai Pilar bagaimana digital system taxation. Sementara, Amerika itu keluar dari Pilar itu sendiri. Kita berusaha jadi anak baik, tapi kemudian orang tuanya (AS) tidak mendidik kita menjadi anak baik-baik,” ujarnya.
Diketahui, Indonesia sudah menerapkan pajak untuk produk digital melalui pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas perdagangan sistem elektronik (PMSE). Pemerintah mulai menunjuk pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN sejak Juli 2020.
Adapun untuk pemungutan PPN PMSE dilaksanakan sejak 1 Agustus 2020. Total pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk oleh DJP sebagai pemungut PPN PMSE mencapai 211 pelaku usaha.
Sementara mengenai pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas perusahaan sektor ekonomi digital, penerapannya masih perlu menunggu kesepakatan global untuk Pilar 1 dalam Two-Pillar Solution.
Lebih lanjut, Misbakhun turut menyoroti rendahnya rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang masih stagnan di angka 8%. Ia menilai angka tersebut sebagai tantangan serius bagi keberlanjutan fiskal nasional.
“Tax ratio Indonesia menjadi masalah serius yang perlu dibereskan. Rasio 8% itu bahkan terendah di negara ASEAN, G20 (forum kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa dengan perekonomian besar di dunia), maupun OECD,” tambahnya.
Ia menekankan pentingnya reformasi pajak yang komprehensif, agar penerimaan negara dapat lebih optimal dan tidak hanya bergantung pada sektor komoditas yang fluktuatif.