sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Soal kontroversi ekspor bijih nikel, Energy Watch: Hanya China yang memegang uang

China disebut sebagai negara yang memiliki kecukupan modal untuk berinvestasi di Indonesia dengan membangun smelter.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 14 Sep 2020 15:32 WIB
Soal kontroversi ekspor bijih nikel, Energy Watch: Hanya China yang memegang uang

Pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel mulai Januari 2020. Kebijakan itu diatur dalam Permen ESDM No. 11/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan larangan ekspor bijih nikel tersebut harus didukung karena mendorong industri dalam negeri untuk menjalankan proses hilirisasi yang menghasilkan produk dengan nilai tambah.

"Kalau bicara raw material sudah tidak saatnya kita menjual bumi kita gelondongan begitu. Alangkah baiknya sebenarnya dalam bentuk produk yang memiliki nilai tambah," katanya kepada Alinea.id, Jumat (11/9).

Perihal kontroversi yang mengatakan bahwa dengan larangan ekspor membuat harga bijih nikel atau ore Indonesia jatuh dan diperebutkan oleh para investor asal China, dia mengatakan hal itu menjadi suatu yang wajar.

Pasalnya, dengan produksi yang berlimpah ditambah adanya larangan ekspor bijih nikel, artinya permintaan pasar hanya akan mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sementara permintaan di dalam negeri terbatas karena tidak semua perusahaan memiliki smelter.

Menurut Mamit, di saat kondisi perekonomian global tertekan oleh berbagai isu seperti perang dagang dan pandemi Covid-19, hanya China yang memiliki kecukupan modal untuk berinvestasi di Indonesia dengan membangun smelter.

"Kalau bicara investasi saat ini kan cuma memang China yang bisa melakukan investasi di tengah situasi yang cukup sulit. China sejauh ini yang bisa dikatakan megang duit, dan sejauh ini saya kira ada dampaknya pada wilayah yang dibangun smelter tersebut," ujarnya.

Dengan masuknya investasi dari negeri tirai bambu tersebut, lanjutnya, harapannya tak hanya membuka lapangan pekerjaan baru, namun juga terciptanya transfer teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia di masa depan, untuk membuat produk bernilai tambah secara mandiri.

Sponsored

Oleh karena itu, dia tidak terlalu mempersoalkan isu yang mengatakan banyaknya pekerja asing yang bekerja di perusahaan pengolahan bijih nikel asal China tersebut. Lagipula, proses hilirisasi tersebut jelas akan mendongkrak penerimaan negara 

"Terlepas apakah sekarang masih menjadi kontroversi karena banyaknya tenaga asing yang bekerja di sana, tapi setidaknya perlahan-lahan ada alih teknologi dan harapannya ke depan justru orang-orang Indonesia yang bisa bekerja di sana," ucapnya.

Namun, dia tak menampik bahwa kebijakan yang diatur pemerintah tersebut lebih menguntungkan China sebagai investor. Pasalnya, sebagian hasil produksi bijih nikel tersebut juga akan dijual dan dipakai di dalam negeri untuk sejumlah proyek yang membutuhkan produk olahan nikel.

"Saya kira komitmen China cukup baiklah meskipun ini memang menguntungkan mereka, karena kan produk ini akan dijual juga ke dalam negeri. Tapi kondisi sekarang yang sanggup berinvestasi dan memiliki uang ya negara China inilah," tuturnya.

Akan tetapi, dia menekankan perlunya ketegasan pemerintah untuk menjaga agar perusahaan asing maupun dalam negeri yang telah memperoleh izin pemanfaatan bijih nikel untuk menjalankan proses hilirisasi dengan membangun smelter.

Jangan sampai, sambungnya, perusahaan tersebut malah kembali menjual bijih nikel dalam bentuk bahan mentah yang tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara.

"Jangan sampai akhirnya banyak perusahaan-perusahaan yang mengabaikan hilirisasi dan akhirnya menjual raw material ke luar negeri. Pemerintah harus berani tegas dan berani mencabut izin ketika komitmen perusahaan yang membangun smelter tahapan-tahapannya dan progresnya tidak sesuai yang dijanjikan," tegasnya.

Berita Lainnya
×
tekid