sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indef sebut korupsi hambat laju pertumbuhan ekonomi

Ekonom senior Indef Faisal Basri menyatakan peran lembaga pemberantasan korupsi harus diperkuat untuk menjamin keamanan investasi.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 30 Sep 2019 19:26 WIB
Indef sebut korupsi hambat laju pertumbuhan ekonomi

 

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa praktik korupsi akan menghambat investasi pembangunan sehingga menahan pertumbuhan ekonomi nasional lebih tinggi.

"Praktik korupsi tidak akan membuat pembangunan menjadi sehat, berkualitas, dan berkelanjutan," ujar ekonom senior Indef Faisal Basri di Jakarta, Senin (30/9).

Menurut dia, hal itu dikarenakan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang seharusnya terukur tidak lagi menjadi kepedulian para koruptor.

"Yang mereka inginkan adalah meraup segala sumber daya secepat-cepatnya dan sebanyak mungkin untuk memperbesar kekuatan logistik. Merekalah yang akhirnya nanti akan terus berjaya di panggung politik," ucapnya.

Akibatnya, lanjut dia, fondasi pembangunan menjadi rapuh, dan investasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pun tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.

Faisal mengatakan pemerintah telah mengeluarkan investasi cukup banyak, tetapi hasilnyapertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%. 

"Kondisi seperti itulah yang terjadi sekarang. Padahal, semua yang telah dibangun membutuhkan dana cukup besar, sekitar 50% lebih banyak ketimbang di negara-negara tetangga," katanya.

Sponsored

Praktik korupsi, lanjut dia, juga akan membuat kemampuan negara dalam membiayai pembangunan menjadi terkendala. Akhirnya, utang menjadi pilihan dalam membiayai pembangunan.

"Porsi utang atau dana luar negeri semakin besar. Sementara itu, kemampuan negara menghasilkan devisa tidak meningkat, sehingga kita kian rentan menghadapi gejolak eksternal," katanya.

Di sisi lain, lanjut Faisal Basri, penerimaan pajak juga relatif masih jalan di tempat. Bukan karena potensi pajak yang rendah, melainkan karena penggelapan pajak masih merajalela.

"Para koruptor masih banyak yang mengamankan uangnya di luar negeri, membuat kita semakin kekurangan 'darah segar' untuk menggerakkan pembangunan," katanya.

Bahaya lainnya, Faisal Basri mengatakan, korupsi juga akan membuat alokasi sumber daya menjauh dari kepentingan publik sehingga tidak bisa menyejahterakan rakyat, bahkan sebaliknya memarginalkan kekuatan rakyat.

Penguatan peran KPK

Faisal berharap presiden dapat mengeluarkan keputusan atau kebijakan yang benar-benar dapat memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Salah satu faktor yang juga menahan pertumbuhan ekonomi adalah regulasi dan institusi yang lemah, karena akan mendorong terjadinya korupsi," ucapnya.

 

Dia pun menjelaskan, menguatnya pertumbuhan ekonomi bukan didorong oleh investasi saja, tetapi justru oleh regulasi dan peran institusi.

"Kajian pemerintah yang dibiayai negara dan dilakukan oleh Harvard menunjukan ekonomi tumbuh tinggi itu bukan karena investasi tapi regulasi dan institusi. Tapi kan tidak dipercaya (hasil kajian tersebut)," ujarnya.

Lebih lagi ujar Faisal, keberadaan KPK selama ini mampu mendorong meningkatnya indeks persepsi korupsi dari tahun ke tahun.

 "Di tahun 2009 hanya mendapat 28 point. Sementara di tahun 2018 mendapat point sebesar 38," ucapnya.

Perolehan peningkatan point itu sejalan dengan penguatan ranking tindak pidana korupsi Indonesia. Di mana pada 2009, ranking Indonesia berada di 111, kemudian jika dilihat di tahun 2018 naik ke ranking 89. 

"Improve gara-gara KPK suka menangkap. Investor asing confidence, 'hukum jalan ini di Indonesia', enggak pandang bulu, siapa saja dihukum, bupati walikota, gubernur, menteri," tutur Faisal. 

Lebih jauh Faisal pun menerangkan peran KPK dan kepastian hukum menunjukan kemudahan berusaha atau ease of doing business di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Di Tahun 2015, jelas Faisal, ranking kemudahan berusaha di Indonesia berada di posisi 114 dari 190 negara, mengalami peningkatan di tahun 2019 menjadi ranking 73. 

"Walaupun dari 2018 ke 2019 sempat turun 1 peringkat dari 72. Tapi kan kecil lah (turunnya). Hampir semua membaik. Jadi apa yang dilakukan oleh pemerintah itu menghasilkan sesuatu yang positif," ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid