sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia darurat timbulan sampah makanan, waktunya diet!

Untuk mencegah timbulan sampah makanan yang kian tinggi, diet sampah dan diet makanan harus diterapkan dari rumah tangga.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Jumat, 11 Mar 2022 18:07 WIB
Indonesia darurat timbulan sampah makanan, waktunya diet!

Puteri Indonesia 2006, Agni Pratistha Kuswardono (34) dan sang suami Ryan Anthony Monoarfa rutin mengurangi penggunaan plastik. Setelah bertahun-tahun memulai gaya hidup ramah lingkungan (eco-lifestyle), baru tiga tahun belakangan keluarganya dapat menerapkan diet sampah

Selain pengelolaan sampah, beberapa tahun terakhir perempuan yang kini aktif sebagai pegiat lingkungan itu juga menerapkan sustainable diet atau pola makan berkelanjutan. 

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO), sustainable diet merupakan pola makan yang memiliki dampak rendah terhadap lingkungan. Dengan menerapkan pola makan ini, diharapkan dapat berkontribusi pada ketahanan pangan dan gizi, serta kehidupan yang sehat untuk generasi sekarang dan mendatang. 

Sebab, pola makan berkelanjutan bersifat melindungi dan menghormati keanekaragaman hayati dan ekosistem. “Sebenarnya sustainable diet ini bukan cuma untuk lingkungan saja, tapi untuk kita juga. Agar nutrisi yang masuk ke tubuh kita cukup, tidak berlebihan,” lanjut dia. 

Di saat yang sama, menerapkan sustainable diet juga berarti meminimalkan produksi makanan sisa. Hal ini seiring dengan prinsip dari pola makan berkesinambungan ini sendiri, yaitu dengan memperhatikan keseimbangan konsumsi dan menggunakan bahan makanan secukupnya. 

Agni menjelaskan, setelah menerapkan sustainable diet, kini keluarganya mulai mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan makanan pokok lainnya, seperti umbi-umbian atau membuat variasi makanan lain dari tepung ubi. Miss Universe Indonesia 2017 ini sadar, konsumsi beras Indonesia sekarang ini semakin meningkat, sedangkan pasokan beras tidak pernah mencukupi.

Sehingga, untuk menutupi kekurangan produksi, pemerintah pun melakukan impor atau membuka hutan demi memperluas lahan padi. Artinya, emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari produksi dan distribusi beras akan menjadi semakin besar.

Ihwal pengurangan emisi, selama pandemi pelakon film Mengejar Matahari ini juga mulai mengajarkan anak-anaknya untuk berkebun. Hal ini juga sekaligus dapat mengurangi makanan sisa di rumahnya. 

Sponsored

“Dengan menanam sendiri, dia jadi tahu sulitnya bertani itu seperti apa,” kisahnya.

Ilustrasi Unsplash.com.

Berbeda dengan Agni, Dian Kusuma Wardhani memulai perjalanan zero waste dengan mendaftar sebagai anggota bank sampah. Ia juga membuat biopori di halaman rumah dan membuat kompos dari sisa-sisa makan atau bahan makanan sisa.

Saat mengajar di Studio Perencanaan Permukiman di Fakultas Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya, perempuan 42 tahun ini semakin yakin bahwa aksi meminimalkan produksi sampah semakin perlu dilakukan. Sebab, semakin hari ketersediaan lahan untuk pembuatan tempat pembuangan akhir (TPA) kian jarang. 

Bagaimana tidak, kebanyakan penata kota hanya fokus menyelesaikan masalah persampahan di bagian hilir saja, TPA. Baik dengan memperluas maupun mencari lokasi baru TPA, demi bisa menampung sampah masyarakat dari berbagai daerah. Sebaliknya, jarang penata kota yang menyelesaikan masalah menahun Indonesia dari bagian hulu, yakni rumah tangga atau individu.

"Padahal akan lebih mudah jika persoalan sampah didekati dari sumbernya (rumah tangga atau individu-red," ungkap Dini, kepada Alinea.id, Senin (7/3).

Sumber sampah nasional 2021 (Sumber: Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Sumber Sampah

Jumlah (Ton)

Porsi (%)

Rumah Tangga

1.618,16

41,41

Perkantoran

263,82

6,75

Perniagaan

756,34

19,35

Pasar

614,51

15,73

Fasilitas Publik

263,38

6,74

Kawasan

253,61

6,49

Lainnya

138,12

3,53

Dominasi sampah makanan

Penulis buku #belajarzerowaste Menuju Rumah Minim Sampah ini menilai, setiap hari penduduk Indonesia menghasilkan 0,3 sampai 0,5 kilogram sampah per orang. Di mana komposisi sampah organik memiliki porsi sebesar 50-60%. 

Sementara itu, merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, sumber timbulan sampah terbesar berasal dari rumah tangga yakni mencapai 41,41% atau volume sampah sebanyak 1.618,16 ton. Jika dilihat lebih rinci, dari total sampah tersebut mayoritas disumbang oleh timbulan sampah makanan, yakni 46,61 ton atau 28,69%. Volume sampah sisa makanan tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 40,41 ton. 

Sementara itu, berdasarkan Laporan Kajian Food Loss and Waste (FLW) Kementerian PPN/Bappenas, ada sekitar 115-184 kilogram per kapita per tahun makanan yang terbuang sia-sia selama 20 tahun terakhir, yakni dari tahun 2000-2019. Artinya, ada sekitar 23-48 juta ton makanan yang terbuang setiap tahunnya. 

“Padahal, seharusnya jumlah segini sudah bisa untuk memberi makan untuk 61-125 juta orang per tahun,” ungkap Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam, kepada Alinea.id, Rabu (9/3). 

Selain mubazir, sisa makanan yang menumpuk di TPA, atau bahkan sering kali ditemukan pula di sungai-sungai, nyatanya juga memberikan kerugian secara ekonomi bagi Indonesia. Kalau dihitung-hitung, dari timbulan sisa makanan selama 20 tahun tersebut telah memberikan kerugian ekonomi sekitar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun, atau setara dengan 4-5% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Di saat yang sama, FLW juga berperan dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Masih dari Kajian Bappenas, potensi emisi yang dihasilkan selama 2000-2019 diperkirakan sebesar 2.324,24 kg CO2 ekuivalen per ton food waste. Sedangkan untuk emisi yang dihasilkan oleh food lost adalah sekitar 943,29 kg CO2 ekuivalen per ton food lost.

“Dan ini biasanya akan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, dengan rata-rata peningkatan tiap tahun mencapai 3,19%. Kalau dibiarkan terus, ini jelas akan semakin merugikan kita,” ujar Medrilzam.   

Dengan kondisi ini, tak heran jika kemudian Indonesia dijuluki sebagai negara penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Selain juga sebagai kontributor penyumbang sampah plastik kedua pula di dunia. 

Karenanya, Dian Kusuma Wardhani alias DK Wardhani selaku praktisi lingkungan menilai, dewasa ini pengolahan sampah sisa makanan menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Namun, pengelolaan tidak seharusnya dilakukan pada sampah sisa makanan saja.

Sebab, saat sisa makanan sudah menjadi sampah, hanya bisa dilakukan pengolahan baik secara komposting untuk dijadikan pupuk kompos atau untuk budidaya maggot atau larva lalat BSF saja, yang saat ini banyak digandrungi lantaran dapat mengurangi sampah dan memiliki nilai jual tinggi.

Ilustrasi Unsplash.com.

Pengelolaan, khususnya di rumah tangga, kata ibu dua anak ini, sebaiknya dilakukan mulai dari berbelanja. Ibu yang biasanya menjadi kunci utama di dalam rumah, dapat menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Mulai dari berbelanja tanpa plastik dengan membawa kantong belanjaan sendiri, berbelanja bahan makanan secukupnya untuk menghindari sisa, hingga menanam bahan-bahan makanan sendiri, seperti sayuran atau bumbu dapur. 

“Rumah tangga adalah hulu, dan ibu adalah kunci. Ibu banyak mempengaruhi keputusan dalam sebuah rumah. Belanja apa, makan apa, beli apa. Sehingga jika ibu punya kesadaran lebih, ini akan menular kepada anak dan ayah,” kata perempuan yang tinggal di Malang, Jawa Timur itu.

Meski begitu, rumah tangga nyatanya bukan satu-satunya sumber sampah sisa makanan. Ada pula rumah makan atau restoran, hotel dan kafe (Horeka) atau perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor makanan dan minuman (mamin) lainnya yang juga menjadi penyumbang sampah sisa makanan terbesar di Indonesia. Selain itu, ada juga pasar yang menjadi pusat distribusi bahan makanan dari produsen ke konsumen. 

Laporan Kajian FLW Kementerian PPN/Bappenas mencatat timbulan FLW dari 146 komoditas pangan di Indonesia yang terjadi pada tahap produksi hingga tahap konsumsi pada tahun 2000-2019 berada di rentang 23-48 juta ton atau setara dengan 115 -184 kg per kapita per tahun. Sedang timbulan di tahap produksi yaitu sebanyak 7-12,3 juta ton per tahun.

Kemudian, di tahap pascapanen dan penyimpanan yaitu 6,1-9,9 juta ton per tahun, di tahap pemrosesan dan pengemasan yaitu 1,1-1,8 juta ton per tahun, di tahap distribusi dan pemasaran yaitu 3,2-7,6 juta ton per tahun, dan paling banyak yaitu di tahap konsumsi sebesar 5-19 juta ton per tahun. Dari tahap konsumsi ini, diestimasi sebesar 80% berasal dari rumah tangga dan sisanya sebesar 20% berasal dari sektor non-rumah tangga. 

“Sebesar 44% dari food waste yang ada merupakan sisa makanan yang layak makan atau leftover,” ungkap Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (11/3). 

Komposisi sampah Indonesia (Sumber: Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Jenis Sampah

Jumlah (Ton)

Porsi (%)

Sisa Makanan

46,61

28,69

Kayu-Ranting

20,39

12,55

Kertas-Karton

19,98

12,3

Plastik

25,94

15,97

Logam

10,80

6,65

Kain

10,38

6,4

Karet-Kulit

5,57

3,43

Kaca

10,20

6,28

Lainnya

12,55

7,73

Untuk makanan sisa yang masih layak makan ini, baik rumah tangga maupun para pengusaha yang bergerak di sektor makanan dan minuman dapat membagikannya kepada orang lain. Seperti misalnya kepada orang-orang miskin, petugas kebersihan, hingga untuk anak-anak di panti asuhan atau yatim piatu maupun penghuni panti jompo.
 
Langkah ini, kata Titik, dapat mengatasi dua permasalahan sekaligus. Mencegah mubazir pangan dan mendorong pemerataan pangan di Indonesia. 

“Rumah makan atau rumah tangga kalau kesulitan untuk membagikan sendiri, sekarang sudah bisa kerja sama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan atau pengelolaan makanan. Jadi nanti mereka yang akan mengambil makanan sisa layak makan, kemudian mereka bagikan,” jelasnya.
 
Sementara itu, untuk menangani sampah sisa makanan secara keseluruhan Yayasan Gita Pertiwi mengadopsi konsep ekonomi sirkular. Di mana untuk mengolah sampah sisa makanan, Titik melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Sebut saja restoran, hotel, hingga kantin sekolah sebagai penyedia makanan sisa. 

Untuk pengelolaan, sisa makanan yang sudah jadi sampah kemudian disalurkan kepada pengusaha atau lembaga komposting dan pembudidaya maggot. Sedangkan untuk makanan sisa layak makan, akan dibagikan kepada masyarakat. 

Tidak hanya itu, lembaga pengelolaan sampah sisa makanan yang berbasis di Solo, Jawa Tengah ini juga membantu penyaluran pupuk kompos yang sudah jadi kepada para petani atau perkebunan dan pembudidaya maggot dengan pembudidaya lele atau hewan ternak lain. 

“Nanti dari petani atau perkebunan dan pembudidaya lele dan hewan ternak ini bisa kerja sama dengan restoran atau hotel. Jadi ini terus berputar. Sampah sisa makananya bisa diolah, ekonominya juga terus jalan,” urainya.

Ilustrasi Unsplash.com.

Namun demikian, ia mengakui untuk bebas dari sampah sisa makanan memang tidak mudah dilakukan dan membutuhkan usaha ekstra. Apalagi, untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari sampah sisa makanan membutuhkan kerja sama dari seluruh pihak, mulai dari rumah tangga hingga pemerintah daerah dan pusat. 

“Makanya itu, kami juga terus mendorong Pemda Solo untuk segera mengevaluasi regulasi pengelolaan sampah,” kata dia.

Pertama, lanjutnya, rumah tangga bisa memilah sampah dari rumah dan mengolah sampah sisa makanan mereka sendiri. Kedua, memasukkan pengelolaan sampah ke kurikulum Pendidikan

Dus, anak-anak diharapkan dapat tumbuh dengan memiliki sikap bijaksana terhadap pengelolaan sampah. 

“Karena kan kalau anak-anak diajarin di sekolah, mereka akan bawa kebiasaan itu ke rumah. Pada akhirnya, orang tua juga akan ikut belajar,” ucap Titik.

Pengelolaan sampah buruk

Sementara itu, Kasubdit Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik mengakui, saat ini pengelolaan sampah di Indonesia masih belum bagus. Untuk itu, pihaknya terus berusaha memperbaiki pengelolaan sampah nasional. 

Namun, untuk menangani permasalahan yang sudah menahun ini, tidak bisa dilakukan dengan langkah biasa atau business as usual (BAU). Melainkan harus dengan langkah khusus alias extraordinary

“Karena permasalahan ini sudah di stadium 3 atau bahkan stadium 4,” ungkap pria yang karib disapa Uso ini, kepada Alinea.id, Kamis (10/3).

Salah satu langkah yang dilakukan untuk mengurangi sampah sisa makanan di sektor usaha misalnya, pihaknya kini tengah menyiapkan pedoman bagi para pengusaha mamin, agar mereka dapat mengurangi food loss maupun food waste sejak dari penyediaan bahan baku, proses produksi, sampai dengan penyediaan makanan di atas meja konsumen. 

Foto Pixabay.com.

Di saat yang sama, pemerintah juga terusa mendorong agar para pengusaha dapat melakukan edukasi kepada para konsumen untuk senantiasa menghabiskan makanan mereka. Sehingga, ketika ada sisa makanan yang muncul, para pengusaha harus bertanggung jawab terhadap bisnis mereka sendiri. 

Bentuknya antara lain, bisa dengan bekerja sama dengan pihak lain, seperti social entrepreneurship yang bergerak di usaha budidaya maggot. 

“Kami akan dorong, kami akan jodohkan juga kedua bisnis bersinambungan ini, agar bisa jadi solusi. Kemudian mereka juga bisa bekerja sama dengan perusahaan pengolahan sampah makanan,” katanya.

Kemudian, ketika masih menyisakan makanan yang masih layak konsumsi, pemerintah juga mendorong pengusaha untuk bekerja sama dengan yayasan atau lembaga untuk mendonasikan makanan sisa ini. 

“Sudah ada di Indonesia, namanya Food Bank Indonesia atau lainnya. Atau bisa juga ke rumah yatim piatu atau rumah jompo,” imbuh Uso. 

Sedangkan untuk tingkatan rumah tangga, KLHK tengah menggalakkan gerakan pilah sampah dan mengkompos dari rumah. Dengan gerakan ini, dia memperkirakan 50-60% urusan persampahan akan selesai hanya di tingkat rumah tangga saja, tidak perlu sampai ke TPA. Apalagi, jika setiap rumah, atau paling tidak setiap RT (Rukun Tetangga) memiliki fasilitas komposting masing-masing.
 
“Kemudian kami juga mendorong untuk pengembangan maggot BSF, bahkan ini kalau dari sisi ekonomi bisa dibilang lebih cuan ketimbang komposting,” tukas Uso. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid