sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Insentif kendaraan listrik: Niat mulia energi hijau dengan jejak karbon

Produksi baterai dan penggunaan listrik di tanah air sebagian besar masih menggunakan batu bara yang tinggi emisi.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Rabu, 04 Jan 2023 18:49 WIB
Insentif kendaraan listrik: Niat mulia energi hijau dengan jejak karbon

Jelang akhir tahun, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menyuguhkan wacana besar untuk mendorong transformasi kendaraan berbahan bakar energi fosil ke kendaraan listrik. Tak tanggung-tanggung, anggaran subsidi yang akan digelontorkan pemerintah mencapai Rp5 triliun pada tahun 2023 ini.
 
Angka ini akan digunakan untuk insentif berupa potongan harga pembelian mobil listrik Rp80 juta, mobil listrik berbasis hybrid Rp40 juta, motor listrik baru Rp8 juta, dan motor konversi sebesar Rp5 juta. "Dengan mendorong penggunaan mobil atau motor listrik yang semakin banyak, secara fiskal kita akan terbantu. Karena subsidi untuk kendaraan berbasis bensin akan semakin berkurang," demikian alasan yang diungkapkan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, dikutip Kamis (15/12/2022).

Rencana mempercepat penggunaan kendaraan listrik ini juga demi memuluskan langkah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dunia. Di sisi lain, Indonesia memiliki keunggulan yakni sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. “Ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku utama baterai," tambah dia.

Gelontoran subsidi ini, tambahnya, juga diharapkan dapat 'memaksa' produsen mobil atau motor listrik di dunia semakin cepat merealisasikan investasinya di Indonesia. Terlebih sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia bisa membuktikan komitmen mengurangi karbon.

Menurutnya, langkah insentif serupa juga pernah dilakukan negara lain. Seperti halnya di kawasan Eropa, China, dan Thailand. Meski demikian, Agus mengaku formula subsidi ini masih digodok dengan target pemberlakuan mulai Juni 2023. Hal ini masih bergantung dengan pembahasan anggaran di DPR.

Meski demikian, Agus menegaskan ada sejumlah syarat untuk mendapatkan insentif tersebut, salah satunya adalah memiliki pabrik di Indonesia. Dus, kebijakan ini bisa menyokong industri berbasis listrik dalam negeri.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mendukung rencana pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik. Pasalnya, insentif dapat menjadi jawaban agar kendaraan listrik harganya lebih terjangkau. 

"Sudah seharusnya kendaraan listrik terjangkau oleh masyarakat dan tidak menjadi barang mahal dan eksklusif," katanya yang juga Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).

Dia menilai adanya insentif ini akan membuat harga kendaraan listrik lebih murah. Sebaliknya, jika insentif tidak dapat menekan harga kendaraan listrik maka masyarakat pun tidak tertarik untuk membeli.

Sponsored

Foto Pixabay.com.

Selain itu, Eddy juga menyoroti belum adanya bentuk insentif terhadap after sales service kendaraan listrik. Padahal, menurut dia komponen paling penting dan kemungkinan paling mahal dalam kendaraan listrik adalah baterainya.

Oleh karena itu, menurut dia rencana kebijakan insentif dari pemerintah juga harus mempertimbangkan soal bagaimana harga baterai itu bisa lebih terjangkau. Eddy pun mendorong pemerintah untuk memperluas cara pandang insentif yang tidak hanya sebatas fiskal, tetapi termasuk persiapan perawatan baterai yang murah dan tenaga kerja yang profesional untuk perawatan kendaraan listrik.

Terlalu besar

Meski demikian, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah yang dikutip dari dpr.go.id, Senin, (20/12/2022), menegaskan bahwa subsidi untuk mobil listrik dan sepeda motor listrik tidak dialokasikan pada anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN tahun 2023.

Bahkan menurutnya, rencana subsidi yang sedemikian besar untuk kendaraan listrik tersebut sangat tak sebanding dengan alokasi program perlindungan sosial yang diterima oleh setiap rumah tangga miskin. “Jika subsidi ini akan direalisasikan dalam bentuk uang tunai untuk pembelian mobil dan motor listrik, dan jika direalisasikan tahun depan, maka kami tegaskan tidak ada alokasi APBN 2023 untuk dukungan kebijakan tersebut,” beber politisi PDIP ini.

Karena itu, ia meminta pemerintah agar lebih dahulu mengkaji ulang kebijakan pemberian insentif tersebut. Apalagi tahun depan situasi ekonomi global masih tidak menentu dan terancam mengalami resesi ekonomi.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurutnya, besaran subsidi atau potongan harga Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik terlampau besar. Meskipun, harga mobil listrik yang ada di tanah air sendiri memang relatif lebih mahal dibanding mobil konvensional.

“Kalau bisa jangan sebesar Rp80 juta itu, karena nilai tambahnya bukan ke kita tapi keluar, ke produsen, karena pelakunya (produsen-red) dari luar,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (3/1).

Tauhid justru lebih setuju jika subsidi diberikan khusus untuk kendaraan roda dua saja yang memang menyasar masyarakat menengah ke bawah. Pasalnya, mobil listrik di tanah air sendiri rata-rata harganya lebih dari setengah miliar yang notabene bisa dibeli oleh masyarakat menengah ke atas.

“Angka (subsidi) Rp80 juta sebenarnya harga baterai kalau baterai rusak katakanlah mobil harus ganti setidaknya Rp80 juta tadi, yang sensitif ini kan baterai dan mahal dengan rata-rata masa pakai 8 tahun,” jelasnya.

Hal inilah yang disinyalir membuat orang enggan beralih ke mobil listrik. Namun demikian, Tauhid menilai wacana ini kemungkinan besar akan ‘diloloskan’ oleh DPR. Lebih lanjut, ia menilai bentuk subsidi kepada kendaraan listrik harus dilihat secara komprehensif dari empat sisi. Pertama, apakah subsidi ini mampu mendorong hilirisasi nikel di tanah air.

“Kalau subsidi terutama diberikan kepada industri-industri yang menggunakan baterai yang bersumber dari nikel kita, itu akan mendorong hilirisasi nikel di dalam negeri,” sebutnya.

Kedua, tambah dia,  subsidi harus didasari adanya dorongan percepatan penggunaan Battery Electric Vehicle (BEV) dan Electric Vehicle (EV). Menurutnya, jika baterai yang digunakan berasal dari impor maka subsidi menjadi tidak tepat. Karenanya, subsidi layak diberikan kepada industri yang sudah memenuhi 35% komponen dalam negeri.

Foto Pixabay.com.

“Jadi kalau misalnya TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) masih kurang dan baterai dari luar yang dapat manfaat akhirnya bukan kita, tapi mitra walau memang brand-brand-nya global,” ungkapnya. 

Hal ini juga tidak lepas dari tujuan agar para produsen segera membangun pabriknya di Indonesia dan mempercepat ekosistem kendaraan listrik berkembang pesat. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum mempunyai brand lokal untuk kendaraan roda empat. Saat ini, baru brand lokal untuk kendaraan listrik roda dua saja yang ada.

Ketiga, lanjutnya, adalah insentif yang bisa berupa pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kepada industri yang bisa memenuhi aspek TKDN 35%. “Mereka diberi keringanan untuk insentif perpajakan dari pajak atau retribusi daerah separuh atau bebas bayar pajak,” tambahnya.

Terakhir yang juga tak kalah penting komitmen pemerintah sendiri untuk menggunakan kendaraan dinas berupa electric vehicle. “Kendaraan dinas listrik baru sedikit, kementerian/lembaga masih kendaraan-kendaraan konvensional. Ini bisa menjadi bukti dukungan pemerintah bukan menyuruh pihak lain tapi dukungan dari diri sendiri,” cetusnya.

Menurutnya, dari keempat poin tersebut memang beberapa sudah dilakukan dan masih terus berproses. Misalnya produksi baterai dalam negeri yang diperkirakan baru bisa dinikmati 2026 mendatang. Lalu insentif yang sudah dilakukan tapi belum jelas siapa saja penikmat PPnBM. 

Di sisi lain, Tauhid melihat progres infrastruktur untuk ekosistem kendaraan listrik juga semakin meningkat. Hal ini terlihat dari jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan service center yang meningkat. Selain itu, penting juga untuk menyediakan baterai kendaraan listrik yang kompetitif.

“Karena baterai relatif mahal sekitar US$112 per kwh (kilowatt hour), sementara pabrikan China sudah berani US$101 per kwh. Kita masih lebih mahal,” sebutnya.

Untuk diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan hingga kini, sudah ada 439 stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU yang terpasang di seluruh Indonesia. 

"SPKLU itu telah tersebar di 328 titik lokasi. Terakhir kemarin ada informasi Surabaya ingin juga mengajukan permohonan izin terkait SPKLU," kata Sub-Koordinator Perhubungan Komersial Tenaga Listrik Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Edi Pratikno melalui diskusi publik secara virtual pada Jumat, (25/11/2022). 

Selain itu, terdapat pula 966 unit stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) yang sudah terpasang di lebih dari 100 titik lokasi. Namun, SPBKLU itu baru dibangun di beberapa provinsi, yaitu Jakarta, Banten, Jawa Barat, Batam, dan Sulawesi Selatan. 

Masih meninggalkan jejak karbon

Wacana pemerintah menggelontorkan subsidi kendaraan listrik pun dipertanyakan peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhammad Andri Perdana. Niat mulia untuk menekan emisi karbon ini, katanya, justru berbanding terbalik jika mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik.

“Karena kita masih banyak bergantung pada batu bara, emisi karbon juga belum sustainable,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (3/1).

Ketergantungan pada batu bara ini misalnya, kata dia, justru masih terjadi dalam proses produksi baterai maupun listrik yang menggunakan pembangkit dari batu bara. Hal ini jelas tidak selaras dengan niat untuk menciptakan ekosistem yang lebih ramah lingkungan.

Apalagi, mengutip NDC (National Determined Contribution) Indonesia, komitmen NDC adalah mengurangi emisi gas rumah kaca 31,82% atau setara 912 juta ton CO2 pada 2030 dengan upaya sendiri, atau 43,2% dengan bantuan internasional. “Komitmen ini sebenarnya masih belum sufficient karena kalau menurut perhitungan Climate Action Tracker, NDC tersebut belum bisa mencapai target 1.5 derajat celcius, namun masih 3+ bahkan 4+ derajat celcius,” ungkapnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Selain itu, dia mengatakan jejak karbon supply chain produksi baterai di tanah air juga sangat besar. Itulah mengapa ketelusuran produksi baterai di tanah air masih diragukan karena dinilai masih menyisakan jejak karbon yang besar sehingga tidak sejalan dengan prinsip pengurangan emisi. 

“Banyak sekali proyek strategis nasional nikel yang kadarnya bisa untuk digunakan kendaraan listrik bahkan pabrik-pabrik kita jauh dari sustainable dan sangat tertutup dan masih pake batu bara,” bebernya.

Karena itu, sampai saat ini produksi baterai untuk kendaraan listrik masih lebih banyak menggunakan produksi China, yang juga menanamkan investasinya di tanah air untuk komoditas nikel. Andri menyebutkan sejauh ini produksi nikel tanah air masih lebih banyak untuk industri stainless steel ketimbang baterai.

Urban planning tanpa kendaraan pribadi

Dia justru menyarankan agar pemerintah menyiapkan sarana transportasi publik yang memadai sehingga orang enggan membeli kendaraan pribadi. “Bukan ramai-ramai pakai kendaraan listrik yang listriknya masih pakai batu bara, bukan yang penting orang masih pakai jalanan dan mobil, bukan sekadar ganti dari BBM ke listrik karena yang diuntungkan produsen,” bebernya.

Di negara maju dan hampir maju, sebut Andri, justru telah mempunyai urban planning yang menjauhkan kepemilikan kendaraan pribadi. Karena penggunaan transportasi publik yang walaupun masih meninggalkan jejak emisi karbon, masih lebih efisien ketimbang penggunaan kendaraan pribadi.

“Di mana-mana urban planning yang maju menghindari kendaraan pribadi apapun bentuknya,” katanya. 

Urban planning, khususnya di kota besar sebaiknya memiliki sistem transportasi publik yang memadai. Selain mengurangi kemacetan, transportasi publik juga mengurangi polusi sehingga menciptakan udara yang baik bagi penduduknya. 

Karenanya, dia menilai kebijakan subsidi ini lebih menguntungkan produsen karena sebagaimana diketahui, potongan harga tentu akan mengerek permintaan masyarakat terhadap kendaraan listrik. “Kalau untuk ramah lingkungan tujuannya masih banyak cari lain,” tegasnya. 

Seperti halnya proyek memperlebar jalan raya, program subsidi kendaraan listrik akan semakin memanjakan masyarakat. Tidak ada dorongan menjadi pejalan kaki dengan trotoar yang lebih lebar atau menggunakan sepeda. Bisa juga menggunakan transportasi publik yang jauh lebih efisien dibanding kendaraan pribadi yang hanya membawa tiga, dua atau bahkan satu penumpang.

Menurutnya, Indonesia sendiri sebenarnya memiliki komitmen transmisi ke energi terbarukan seperti tenaga bayu, tenaga surya, air, dan lain-lain. “Kalau sudah lakukan ini akan mudah kita transisi ke kendaraan listrik, enggak cuma mobilnya doang dipindah ke listrik, sistem transportasi publik sudah tersedia,” sarannya.

Ilustrasi polusi. Pixabay.com.

Lebih lanjut, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menilai kebijakan insentif kendaraan listrik yang akan diluncurkan Kementerian Perindustrian cukup mengusik hati nurani para pengguna jasa transportasi umum, khususnya pengguna KRL (kereta listrik) Jabodetabek. 

“Di tengah upaya memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, kebijakan ini kontra produktif, jika diberikan pada sejumlah pembelian mobil listrik dan sepeda motor listrik, dampaknya akan menambah kemacetan dan angka kecelakaan lalu lintas,” ungkapnya melalui keterangan tertulis, Rabu (4/1).

Seharusnya, Kementerian Perindustrian turut mendukung upaya pembenahan transportasi umum yang sedang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan di kawasan perkotaan dengan menggunakan bus listrik dan kendaraan konversi atau sepeda motor listrik di daerah sulit mendapatkan BBM.

Angkutan feeder dari kawasan perumahan di Kawasan Bodetabek menuju stasiun KRL Jabodetabek juga dapat menggunakan kendaraan umum listrik. “Bisa kendaraan umum baru atau kendaraan umum yang ada dikonversi diprioritaskan untuk mendapat program insentif kendaraan listrik,” tambahnya.

Ilustrasi Alinea.id/Catharina.

Berita Lainnya
×
tekid