sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Intervensi pemda tolong petani di tengah anjloknya harga sayuran

Anjloknya harga sayur petani didorong oleh pelemahan daya beli masyarakat selama pandemi.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Selasa, 22 Sep 2020 06:48 WIB
Intervensi pemda tolong petani di tengah anjloknya harga sayuran

Masa panen seyogyanya menjadi momen yang membahagiakan bagi para petani. Peluh keringat mereka akan terbayar lunas setelah bergulat sekian lama di ladang dan sawah.

Sayangnya, hal itu tidak dirasakan sejumlah petani sayur di Pulau Jawa. Mereka justru buntung pada musim panen kali ini. Harga berbagai komoditas sayuran seperti cabai, ketimun, kol, tomat, bawang merah, dan lainnya anjlok beberapa bulan terakhir.

Kondisi ini memaksa para petani menjual hasil panennya dengan harga murah. Bahkan, sebagian petani memilih hasil panennya membusuk atau membagi-bagikan secara gratis lantaran tak mampu lagi menutup biaya produksi.

Misalnya saja, harga kol di Magelang, Jawa Tengah pada awal September anjlok dari yang normalnya Rp2.000/kg (kilogram) menjadi hanya Rp500/kg sebagaimana dilansir dari Antara. Harga tomat juga ambruk dari Rp4.000/kg menjadi Rp500/kg, sedangkan harga sawi turun dari Rp1.000/kg menjadi Rp250/kg.

Menurunnya harga sayuran ini juga beriringan dengan menurunnya nilai tukar petani (NTP) hortikultura yang juga mencakup petani sayuran sejak awal tahun. NTP sendiri mengukur perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar oleh petani. Bila NTP di atas 100, harga hasil produksi naik lebih besar dibandingkan harga konsumsi petani, begitu pun sebaliknya.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang Sugiharto mengatakan penurunan harga sayur di sejumlah daerah disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen akibat pandemi Covid-19.

“PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menyebabkan saluran distribusi ke pasar tradisional/pasar induk terhambat. Pasar tradisional/pasar induk hanya menerima pasokan 50% dari normal karena jumlah pembeli turun drastis. Masyarakat inginnya berbelanja aman, sehingga memilih belanja online atau menanam sendiri kebutuhan sayuran keluarganya,” tulisnya kepada Alinea.id melalui pesan singkat, Jumat (18/9).

Tak hanya itu, penurunan permintaan juga berasal dari hotel, restoran, dan kafe yang tidak beroperasi atau membatasi waktu operasionalnya semenjak terjadinya pagebluk.  

Sponsored

Di lain pihak, Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia (AHI) Anton Muslim Arbi menuding pelemahan daya beli masyarakat sebagai biang keladi anjloknya harga sayuran di sejumlah sentra produksi. Pelemahan daya beli ini lagi-lagi disebabkan oleh melemahnya aktivitas ekonomi selama pandemi.

“Ini sangat berpengaruh kepada faktor ekonomi, sehingga berimbas juga pada harga-harga sayuran seperti saat ini. Sekarang ini jangankan membeli sayur, orang membeli beras saja juga berat,” keluhnya kepada Alinea.id, Rabu (16/9).

Hasil petani diborong ASN

Menanggapi keluhan para petani sayur di wilayahnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memerintahkan jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawahnya untuk memborong sayuran dari para petani dengan harga yang layak.

Titah tersebut ditindaklanjuti oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Jawa Tengah melalui gerakan Korpri Peduli Petani. ASN melakukan pembelian dengan sistem paket yang terdiri dari dua paket. Paket 1 seharga Rp25.000 dan paket 2 seharga Rp45.000.

“Ada 18 item jenis sayuran yang dibeli dari petani Wonosobo, Purbalingga, Pemalang, Banjarnegara, Jepara, Magelang, Kabupaten Semarang, dan lainnya. Semuanya dibeli dengan harga pasar sebelumnya, jadi kalau sebelumnya per kilogram Rp2.500 dan sekarang jadi Rp500, ya kita beli per kilogram Rp2.500," terangnya melalui keterangan resmi, Jumat (4/9).

Ilustrasi petani. Pixabay.

Ganjar mengungkapkan langkah serupa sudah pernah dilakukan tatkala harga bawang merah di Brebes anjlok pada 2017, harga cabai turun pada 2019, dan turunnya harga pelbagai komoditas pangan lainnya.

"Harapan saya, kabupaten/kota juga melakukan (gerakan) ini. Maka saya sudah kirimkan pesan ke bupati/wali kota untuk ikut menggerakkan bareng-bareng, agar semua bisa jalan," ujarnya.

Ketua Korpri Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko menjelaskan pembelian dari petani sudah berjalan selama dua minggu terakhir. Hingga Jumat (18/9), sebanyak lebih dari 5.000 paket telah terjual di kalangan ASN dengan nilai mencapai Rp164,5 juta. Tak hanya aneka sayuran, paket tersebut juga termasuk telur ayam yang harganya sedang turun.

“Kita mengambil dari pusat-pusat produksi pertanian di daerah-daerah penghasil sayuran. Kami paham saat bapak gubernur dawuh itu, di tingkat petani sedih waktu itu. Ketimun yang biasa di tingkat petani bisa Rp5.000-6.000 (per kilogram), yang terendahnya pernah mencapai Rp3.000, sekarang Rp500. Harga lombok (cabai) jatuhnya juga luar biasa,” jelasnya melalui sambungan telepon, Jumat (18/9).

Sujarwanto mengklaim upaya Korpri telah membuahkan hasil. Dia mencontohkan, harga ketimun kini sudah di atas Rp3.000/kg di sejumlah daerah, begitu pula komoditas sayur lainnya. Menurutnya, intervensi diperlukan untuk menggerakkan para “penggerak pasar” agar mau meningkatkan harga.

Dia menambahkan program tersebut akan dilakukan hingga harga di pasaran kembali normal. Tidak hanya melalui Korpri, pihaknya juga mendorong para ASN untuk secara sadar membeli produk petani disekitarnya. 

“Kita di sisi lain, melalui Dinas Perdagangan dan Pertanian, termasuk Dinas Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), juga menggarap akses pasar mereka. Jadi, bagaimana pasar online kita garap, kemudian pasar-pasar yang dihubungkan ke industri, misalnya lombok dan berambang (bawang merah) dihubungkan ke industri makanan. Kita fasilitasi akses mereka karena memang petani paling rentan dalam situasi panen yang kesulitan mengakses pasar secara langsung,” tuturnya.

Selain Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah, beberapa pemerintah kabupaten turut menggerakan aparatur negara untuk membeli sayur dari para petani seperti Kabupaten Bandung Barat (Jawa Barat), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), Kabupaten Tegal (Jawa Tengah), dan lainnya.

Meringankan beban pusat

Langkah yang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah nampaknya menjadi angin segar bagi petani di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Sebagai tangan kanan pusat di bidang pertanian, Kementerian pertanian hanya memiliki anggaran sebesar Rp14,06 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.

Bambang Sugiharto dari Kementan mengaku pihaknya sudah melakukan pembelian produk petani melalui Pasar Mitra Tani yang telah berdiri sebanyak 50 unit di seluruh Indonesia. Pasar Mitra Tani merupakan jaringan toko di bawah Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan yang menjual berbagai produk hasil petani. Adapun anggaran yang digelontorkan melalui Pasar Mitra Tani mencapai Rp54 juta per unit. 

“Harga beli di petani biasanya tiga kali lipat harga jual di pasar, Misalnya tomat, harganya jatuh Rp1.000 per kilogram, kita beli Rp3.000 per kilogram,” ujarnya. 

Ilustrasi tanaman sayur. Pixabay.

Kemudian, pihaknya telah menyurati 33 Kementerian untuk memesan sayur dan buah melalui Pasar Mitra Tani. Selain itu, Kementan juga memberi bantuan distribusi produk dan sewa gudang bagi para petani serta mengkampanyekan pola tanam yang disesuaikan dengan permintaan pasar. 

“Kita juga sudah merevisi anggaran di pusat agar bisa melakukan pembelian produk langsung ke petani di daerah yang harga produk hortikulturanya jatuh,” katanya.

Langkah pemda diapresiasi

Kebijakan pembelian sayuran oleh ASN diapresiasi oleh sejumlah pihak, namun masih dianggap belum cukup untuk mendongkrak harga sayur di tingkat petani. Apalagi pertumbuhan subsektor hortikultura terus mengalami perlambatan sejak 2019.

Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid mengapresiasi langkah sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang mendorong para ASN untuk membeli produk para petani. Namun, ia melihat realisasinya masih minim di lapangan.

Dia menceritakan harga cabai keriting di tingkat petani Pulau Jawa rata-rata mencapai Rp6.000-7.000 per kilogram, jauh di bawah titik impas (BEP/Break Even Point) sebesar Rp12.000-13.000 per kilogram. Adapun harga cabai besar masih di atas.

“Kebijakan itu kalau konsisten saja, bagus sudah bagus. Menurut saya bisa membantu karena uang Rp10-15 ribu (beli cabai) untuk ASN mereka tetap dapat gaji dan mungkin kurang berarti, tapi bagi petani berarti banget,” tegasnya kepada Alinea.id, Rabu (16/9).

Hamid mencontohkan bila setengah dari 160 ribu ASN Pemprov DKI Jakarta membeli satu kilogram cabai per minggu, maka sebanyak 80 ton cabai petani akan terbeli. Menurutnya, pemerintah perlu mendorong gerakan moral kepada masyarakat untuk membeli produk dari petani.

Tak hanya pembelian oleh ASN, ia menyarankan agar cabai segar masuk ke dalam bantuan sosial (bansos) pemerintah alih-alih saus sambal yang diproduksi oleh korporasi industri makanan dan minuman. Hamid berharap harga cabai mulai merangkak naik pada bulan Oktober hingga Januari seiring dengan selesainya masa panen dan datangnya musim hujan.

“Mudah-mudahan (nanti harga naik lagi), tapi tergantung daya beli. Ada panen sedikit-sedikit, tapi kalau pasarnya belum kebuka, orang masih menahan diri semua ya begini. Kita tidak menyalahkan apa yang dilakuan pemerintah melakuan PSBB. Itu yang memang harus dilakukan,” katanya.

Sementara itu, Anton Muslim Arbi menyarankan pemerintah untuk memfasilitasi perdagangan antar daerah dan antar pulau, sehingga mampu menjamin stabilitas harga di tingkat petani maupun konsumen.

Ia mencontohkan langkah pemerintah yang menggunakan pesawat maskapai Garuda Indonesia untuk mengangkut cabai dari Jawa ke Luar Jawa dengan diskon sebesar 50% beberapa waktu lalu ketika harga cabai melonjak beberapa waktu yang lalu.

“Kami menginginkan pemerintah juga berpikir kalau harga tinggi bisa diturunkan maka mestinya pemerintah juga berpikir ketika harga rendah sekali bagaimana mengangkat itu? Sekarang ini, memang betul ketika panen stok melimpah. Kalau luar Jawa harga cabai tinggi, sedangkan di Jawa rendah, bisa antar pulau tadi itu dilakukan,” ungkapnya.

Untuk memfasilitasi perdagangan antar daerah tersebut, Anton mendorong pemda untuk memanfaatkan asosiasi pemerintah daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten yang kemudian dikoordinasikan oleh pemerintah pusat. Di sisi lain, pemantauan stok dan harga di seluruh wilayah diperlukan sebagai basis data yang dapat dimanfaatkan oleh pemda maupun pemerintah pusat.

“Situasi ini menyadarkan kita juga. Dengan adanya Covid, kita sebagai bangsa harus bangun kekuatan sebagai bangsa berdaulat, termasuk diantaranya nasib petani, buruh, dan nelayan yang selama ini hanya jargon kampanye doang,” tegasnya.  

Perlu solusi berkelanjutan

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai kebijakan pembelian hasil panen petani oleh ASN bukanlah solusi yang efektif dalam mendongkrak harga sayuran. Dia beralasan jumlah pembelian dari ASN masih jauh di bawah permintaan warung makan dan restoran yang tutup atau dibatasi operasinya gara-gara pagebluk.

“Kejadian ini sama kayak Bulan Februari ketika ada kelebihan ayam. Orang berekspektasi mau puasa, eh ada pandemi. Warung enggak pada buka. Orang pada enggak nyadran karena pandemi,” katanya melalui sambungan telepon, Jumat (18/9). 

Menurut Rusli, ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjamin harga yang layak di tingkat petani secara berkelanjutan. Pertama, industrialisasi hasil pertanian. Kedua, menghubungkan petani dengan konsumen melalui platform digital. Ketiga, memadukan bansos tunai dengan bahan pangan hasil produksi petani. 

“Kalau ada pengolahan komoditas misalkan cabai, ya sudah digiling jadi cabai bubuk. Jadi ada value added (nilai tambah) komoditas sayuran pangan,” jelasnya.

Dalam jangka panjang, kata Rusli, pemerintah juga dapat membangun kawasan komoditas hortikultura di luar sentra produksi yang ada. Hal ini untuk menjamin stabilitas harga dan mendekatkan petani dengan pasar yang selama ini jauh dari sentra produksi.

“Logistik juga harus kuat, baik jalan maupun sistem informasi antar daerah,” tutupnya. 


 

Berita Lainnya
×
tekid