close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Jumat, 15 Juli 2022 17:26

Kelas Maju Digital, bantu UMKM laris manis di tengah krisis

UMKM perlu memperluas sayap usaha dengan digitalisasi agar pasar lebih luas.
swipe

Harga bawang merah telah menembus Rp50.000 per kilogram di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, harga komoditas ini melampaui Rp70.000 per kilogram seperti di Kota Blitar, Jawa Timur. Tingginya kenaikan harga ini membuat Ratri Anggraini (37) terpaksa menaikkan harga produk bawang goreng yang ia jual.

“Sekarang akhirnya saya menaikkan harga produk bawang goreng sebesar Rp10.000/toples,” kata warga Tangerang Selatan ini saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (13/7).

Langkah menaikkan harga produk bawang goreng Brebes itu terpaksa ia tempuh setelah harga bawang merah perlahan namun pasti terus merangkak naik. Menurutnya, harga jual produk sebelumnya yang Rp45.000 dan Rp43.000 untuk reseller, sudah tidak bisa lagi menutupi biaya produksi.

“Kadang kami sebagai penjual suka serba salah. Kalau kami tidak menaikkan harga dagangan di tengah kenaikan bahan baku, menjadi berisiko bagi kami. Sementara, kalau harga produk naik, kami khawatir konsumen akan berkurang atau merasa enggak enak sama konsumennya,” keluhnya.

Untungnya, produk bawang goreng masih memiliki konsumen yang setia. Meski harga bawang merah mahal, namun bawang goreng masih menjadi taburan wajib pada menu masakan-masakan nusantara. “Kalau pas dekat Lebaran, omzet bisa Rp20 juta sebulan, kalau hari biasa minimal Rp11 juta sebulan,” sambungnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Hal berbeda dilakukan Nina (38). Penjual makanan olahan atau frozen food dan kue basah ini memilih channel penjualan marketplace demi memperluas pasar untuk produknya. Jenama Parisya Snack Food miliknya sudah memiliki pelanggan setia di marketplace Tanah Air.

Nina menjual jajanan seperti pastel, bakpao, samosa, donat maupun risol dalam bentuk beku. Tidak hanya itu, ia juga  menjajakan produk bakery dan pastry seperti brownies, roti sobek, bolen dan lainnya. Dari dapur rumahnya di kawasan Tangerang Selatan, Nina memproduksi aneka jajanan itu setiap hari. Namun, lapak online makanan jelas memiliki tantangan dalam hal pengiriman.

“Harus pintar-pintarnya kami dalam mengatur jenis pengiriman. Kalau samosa misalnya, itu harus pakai ojek online, enggak bisa pakai ekspedisi, nah itu saya tulis di deskripsi,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Nina mengaku tidak semua jenis makanan basah bisa dikirim ke luar kota. Karena itu, ia hanya bisa menjangkau penjualan di kawasan Jabodetabek saja. Meski pasarnya tak luas, Nina mengaku puas bisa berjualan secara online.

Berjualan online via marketplace selama enam tahun terakhir juga membuat Nina kian paham perilaku konsumennya. Menurutnya, ada tanggal-tanggal tertentu di mana transaksi penjualan cukup landai atau bahkan meningkat. “Biasanya waktu tanggal gajian sekitar 25 hingga 10, pesanan biasanya cukup banyak, lebih dari lima transaksi setiap harinya,” ujarnya.

Sebaliknya, setelah tanggal 10 hingga tanggal 25, penjualan relatif landai. Ritme penjualan makanan beku juga akan melonjak jelang bulan Ramadan karena konsumen bersiap menstok bahan makanan di kulkas. 

Sebagai pengusaha rumahan, Nina mengaku punya strategi demi penjualan yang laris manis. Misalnya, memanfaatkan fitur-fitur di marketplace. Di Tokopedia misalnya, Nina memasang iklan (TopAds) pada masa awal berdiri. “Jadi toko kami bisa keluar di laman-laman awal pencarian,” sebutnya.

Selain itu, Nina juga menggunakan fitur Bebas Ongkir bagi pembelian minimal Rp50.000. Bisa juga dengan memberikan diskon atau subsidi ongkos kirim bagi pengiriman melalui ojek online. “Jadi konsumen leluasa memilih,” singkatnya.

Dokumentasi Tokopedia.

Tulang punggung perekonomian

Pada tahun 2019,  Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 65,47 juta unit. Jumlah tersebut naik 1,98% jika dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 64,19 juta unit. 

Angka tersebut mencapai 99,99% dari total usaha yang ada di Indonesia. Secara rinci, sebanyak 64,6 juta unit merupakan usaha mikro atau 98,67% dari total UMKM di seluruh Indonesia. Lalu, sebanyak 798.679 unit merupakan usaha kecil atau memiliki proporsi sebesar 1,22% dari total UMKM di dalam negeri. Hanya 0,1% saja usaha besar di Tanah Air atau mencapai 5.637 unit.

Tak heran bila UMKM, telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia yang mampu bertahan di masa-masa krisis. Sayangnya, pada awal pandemi Covid Maret 2020 lalu tercatat 86% UMKM ‘tergulung’ dampak pembatasan sosial yang ditandai dengan penurunan penjualan. Hal ini jelas mempengaruhi kondisi finansial UMKM yang banyak menjalani bisnis rumahan.

Belum lagi persoalan lain seperti sulitnya mendapatkan bahan baku, memperoleh modal, pelanggan yang menurun, hingga distribusi dan produksi yang terhambat. Namun demikian, kondisi UMKM mulai membaik seiring dengan pelonggaran-pelonggaran di masa pagebluk. Bisnis UMKM pun kembali menggeliat pada tahun 2021.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada Agustus tahun lalu mengatakan 85% responden menyebut kondisi usaha mulai berjalan normal pada kuartal II-2021. "Tercatat terdapat 22% UMKM yang tadinya berhenti beroperasi menjadi operasi secara normal di kuartal II-2021," kata dia.

Sementara itu, berdasarkan survei Asian Development Bank terhadap 2.509 UMKM secara nasional menunjukkan pelaku UMKM yang harus tutup sementara akibat pandemi Covid-19 telah berkurang. Pada kuartal II-2021, hanya 1,8% responden usaha kecil menyatakan tutup sementara akibat pandemi. Persentase itu lebih kecil alias membaik dibanding periode Maret-April di 2020 yang mencapai 54,4%.

Sayangnya, meski ekonomi mulai pulih seiring dengan menurunnya kasus Covid-19, ancaman krisis ekonomi kembali datang. Pemulihan ekonomi yang baru mulai dihajar oleh dampak perang Rusia-Ukraina. Belum lagi, ancaman resesi di Amerika Serikat yang tentunya mempengaruhi emerging market, termasuk Indonesia.

Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Nailul Huda mengakui keberadaan UMKM sangat dibutuhkan di masa krisis. Pasalnya, usaha ini minim produk impor dalam mendapatkan bahan baku.

“UMKM mengandalkan produk domestik di mana jika terjadi pelemahan nilai tukar maka tidak terlalu berpengaruh ke produksinya,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (13/7). 

Bahkan, menurutnya, UMKM tidak terdampak pada pengaruh krisis global yang terjadi belakangan ini, misalnya dari kenaikan harga-harga barang baku impor. “Namun memang inflasi menjadikan daya beli masyarakat ikut melemah yang bisa menurunkan penjualan dari UMKM,” tambahnya.

Salah satu mitra Tokopedia, Dekayu. Dokumentasi Tokopedia.

Untuk itu, ke depannya Huda menilai UMKM perlu memperluas pasar dengan digitalisasi atau menciptakan channel penjualan yang baru. Sayangnya, hingga saat ini masih banyak pelaku UMKM yang belum terdigitalisasi karena faktor infrastruktur dan sumber daya manusia.

“Ini menjadi hambatan mereka untuk masuk ke ekosistem digital. Makanya bagi pelaku UMKM yang di daerah masih perlu effort besar untuk bisa masuk ke sistem digital,” sebutnya.

Untuk diketahui, laporan  SEA e-Conomy oleh Google, Temasek, dan Bain & Company yang berjudul "Roaring 20s: The SEA Digital Decade" mencatat pertumbuhan yang kuat di semua sektor ekonomi digital Indonesia. Didominasi oleh sektor e-commerce yang pertumbuhannya mencapai 52% dari tahun ke tahun.

Bahkan, ekonomi internet Indonesia secara keseluruhan memiliki Gross Merchandise Value (GMV) senilai US$70 miliar atau Rp997,6 triliun pada tahun 2021. Angka ini bahkan diperkirakan naik dua kali lipat menjadi US$146 miliar atau lebih dari Rp2.000 triliun hingga tahun 2025.

Survei terhadap 3.000 pedagang digital atau digital merchant di enam negara di Asia Tenggara ini menemukan 1 dari 3 pedagang percaya mereka dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 berkat platform digital. Khusus Indonesia, sebanyak 28% pedagang mengatakan mereka tidak akan bisa bertahan jika tidak berjualan di platform digital.  Pedagang digital rata-rata menggunakan dua platform digital untuk memenuhi permintaan konsumen secara online

Karena itu pula, Nailul Huda melihat sangat penting bagi UMKM untuk bisa bertahan melalui digitalisasi. Sayangnya, fasilitasi UMKM menuju digitalisasi masih sangat minim. Selain dikarenakan jumlah UMKM yang sangat banyak, para pelaku usaha juga berangkat dari pengetahuan digital yang sama.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Kadang juga pelaku UMKM sudah merasa cukup dengan sistem offline saja. Padahal banyak peluang yang timbul dari meluasnya pangsa pasar via online market,” tambah dia.

Fasilitasi UMKM

Untuk itulah, Tokopedia sebagai bagian dari GoTo Grup menyelenggarakan Kelas Maju Digital (KMD) bagi para pelaku usaha untuk terjun pada pemasaran digital. Program ini telah rutin berjalan sejak tahun 2021 bersamaan dengan  kolaborasi Bangkit Bersama antara Tokopedia bersama dengan Gojek dan GoTo Financial.

Jejaring GoTo juga berencana kembali menghelat KMD pada pertengahan tahun 2022 ini. Tujuannya tak lain sebagai komitmen nyata demi mendukung UMKM Indonesia. Adapun fokusnya adalah mengedukasi para pelaku UMKM hingga publik.

Sebelumnya, rangkaian webinar KMD pada tahun 2021 lalu sukses mengedukasi sebanyak lebih dari 1.000 pelaku UMKM Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Tangerang, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Tokopedia pun optimistis antusiasme publik terhadap webinar KMD di bulan Juli hingga September 2022 ini akan lebih meningkat.

Head of Regional Growth Expansion Tokopedia, Nafisah Wulandari mengatakan pada KMD kali ini, Tokopedia mengangkat topik tentang “Bongkar Rahasia di Balik Riset & Inovasi Produk Best Seller”. 

“Di sini para seller bisa belajar untuk semakin mengenal target pasarnya, yang juga akan berpengaruh pada inovasi produk yang diciptakan. Dengan riset yang tepat, diharapkan dapat membantu memaksimalkan penjualan,” ungkap dia.

Selain pembahasan tentang riset dan inovasi produk, para seller juga bisa belajar mengenai hal-hal teknis lainnya. Misalnya, cara efektif dalam operasional bisnis, serta mengoptimalkan sosial media hingga marketing demi meningkatkan penjualan. 

“Kami optimistis dengan menyediakan wadah edukasi yang berwawasan luas, berguna dan tentunya mudah diakses bagi para pelaku UMKM untuk berjaya di negeri sendiri,” tambah Nafisah.

Pada perhelatan KMD yang akan diselenggarakan pada tanggal 22 Juli, 31 Agustus dan 30 September 2022 mendatang ini akan melibatkan komunitas seller Keluarga Tokopedia (KTOP) dan Komunitas Retail Gojek (KONTAG) sebagai pembicara.

“Tokopedia memberikan panggung seluas-luasnya bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk beradaptasi lewat pemanfaatan teknologi. Kami berharap agar pendampingan dan pembekalan yang kami fasilitasi secara gratis di KMD ini, dapat membantu pengembangan usaha dan kompetensi kewirausahaan bagi UMKM lokal demi terciptanya perekonomian nasional yang lebih mandiri,” tutup Nafisah.

Salah satu peserta KMD 2021, Siti Juariyah menyambut baik gelaran KMD. Pemilik Toko Jual Nori Online di Tokopedia ini mengaku banyak ilmu yang ia dapatkan setelah mengikuti webinar dengan pembicara UKM inspiratif. 

“Pengalaman saya mengikuti KMD cukup mengubah pola pikir saya, yang semula sebagai penjual kini mendorong saya untuk meningkatkan kemampuan menjadi pengusaha,” kata dia yang bergabung dengan Tokopedia sejak Januari 2016. 

Menurutnya, para pelaku UKM sukses yang dihadirkan, juga membagikan kiat sukses dalam menjalankan bisnis. Pada momen sharing itulah, Siti turut bisa mendapatkan ilmu yang bisa diterapkan untuk mengembangkan toko online-nya.
Ilustrasi Alinea.id/M.T. Fadillah.

img
Kartika Runiasari
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan