sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib PDI-P tanpa Jokowi

Islah antara PDI-P dan Jokowi hampir mustahil. Mampukah PDI-P merawat elektabilitas tanpa kehadiran Jokowi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 26 Apr 2024 13:05 WIB
Nasib PDI-P tanpa Jokowi

Peluang rujuk antara Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian menipis. Meskipun tak dipecat secara resmi, Ketua DPP PDI-P Komarudin Watubun menyatakan Jokowi sudah bukan lagi bagian dari keluarga partai berlambang banteng moncong putih itu. 

"Ah, orang dia (Jokowi) sudah di sebelah sana (di kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka). Bagaimana mau dibilang bagian masih dari PDI-Perjuangan? Yang benar saja," kata Komarudin kepada wartawan di Kantor DPP PDI-P, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Senin (22/4) lalu. 

Jokowi dianggap membelot lantaran meng-endorse pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Padahal, PDI-P mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sokongan dari Jokowi disebut-sebut jadi salah satu faktor yang bikin pasangan Prabowo-Gibran mampu memenangi kontestasi elektoral dalam satu putaran. 

Meski begitu, PDI-P hingga kini tak mengeluarkan sanksi tegas terhadap Jokowi. Padahal, PDI-P memecat Gibran dan menantu Jokowi, Bobby Nasution. Oktober lalu, Gibran diminta menggembalikan kartu tanda anggota setelah menerima pinangan Prabowo, sedangkan Bobby dipecat usai mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo-Gibran. 

Komarudin berdalih PDI-P tak memecat Jokowi lantaran menghormati statusnya sebagai kepala negara. "Tetapi, kalau beliau sendiri bersikap keluar dari partai, ya sudah. Biar saja, itulah pilihan beliau dan kita harus hargai," kata Komarudin.

Jokowi tercatat bergabung menjadi kader PDI-P sejak 2004. Mulanya, Jokowi didapuk jadi salah satu pengurus DPC PDI-P Solo. Pada 2005, ia maju menjadi pendamping FX Hadi Rudyatmo di Pilwalkot Solo dan memenangi kontestasi dengan raupan suara hingga 36%. 

Pada 2012, Jokowi "naik kelas" setelah memenangi Pilgub DKI Jakarta. Namun, Jokowi tak lama jadi gubernur. Pada 2014, Jokowi diusung jadi capres oleh PDI-P dan sejumlah parpol. Bersama Jusuf Kalla, Jokowi memenangi pilpres dengan perolehan suara sebanyak 53,15%. Menggandeng Ma'ruf Amin, Jokowi kembali jadi pemenang di Pilpres 2019.

Dalam dua pemilu, Jokowi berkontribusi besar membantu mendongkrak elektabilitas PDI-P. Sebagai balas jasa, PDI-P "membolehkan" dan memudahkan putera dan kerabat Jokowi duduk di kursi kepala daerah. Saat ini, Gibran masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Bobby sempat mencicipi kursi Wali Kota Medan. 

Sponsored

Selepas tak lagi berbaju PDI-P, Jokowi dan keluarganya digadang-gadang bakal segera berlabuh di Golkar. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menyebut Jokowi dan Gibran sudah jadi bagian dari keluarga besar Golkar. 

"Jadi, tinggal formalitas saja," kata Airlangga kepada wartawan usai menghadiri penetapan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/4). 

Analis politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Budiman menilai PDI-P sudah tak mungkin lagi berdamai dengan Jokowi. Berkaca dari hasil Pileg 2024, PDI-P juga tak akan rugi besar jika melepas Jokowi dan keluarganya ke parpol lain. 

"Hasil ini menunjukan PDI-P mampu menjadi kekuatan berpengaruh meski tanpa Jokowi. PDI-P punya modal kuat menjadi oposisi seperti sepuluh tahun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Budiman kepada Alinea.id, Kamis (25/4).

Berbasis rekapitulasi resmi KPU, PDI-P merupakan parpol dengan raihan suara terbanyak pada Pileg 2024. PDI-P meraup 25.387.279 suara atau 16,72% dari total suara sah. Partai Golkar berada di posisi kedua dengan raihan 23.208.654 suara atau 15,28%, diekor Gerindra yang memperoleh 20.071.708 suara atau 13,22%. 

Sepeninggal Jokowi, Budiman berpendapat PDI-P perlu menyiapkan sosok-sosok baru sebagai magnet elektoral. Menurut dia, Ganjar saat ini tak bisa diharapkan menjadi pendongkrak elektabilitas parpol lantaran tak memegang jabatan di lembaga eksekutif.  

Di lain sisi, Megawati mesti rela memberi kesempatan kepada figur lain di luar trah Sukarno untuk bisa mengorbit pada panggung politik nasional. Mensos Tri Rismaharini atau kepala-kepala daerah dari PDI-P yang berprestasi bisa disiapkan untuk menggantikan figur Jokowi. 

"Jokowi betul-betul dipoles dari semula isu mobil Esemka, lalu membuat sejumlah kartu saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Semua tergantung bagaimana PDI-P bisa mem-branding eksekutif yang berhasil, pimpinan daerah yang berhasil atau anggota parlemen," kata Budiman. 

Regenerasi 

Analis politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi memandang PDI-P terlihat sudah mengebut kerja-kerja politik untuk melahirkan kader-kader unggulan yang mampu bersaing pada pertarungan Pilpres 2029. 

Mencermati kampanye PDI-P di banyak daerah pada Pemilu 2024, Muradi menilai PDI-P mulai menata posisi sebagai partai yang tidak ingin bergantung pada satu figur seperti Jokowi. Kader-kader anyar yang potensial diberikan kesempatan dan terbukti mampu yang lolos parlemen, baik di tingkat DPR RI atau DPRD. 

"Ada banyak kader-kader baru yang muncul melakukan kerja pemenangan dan sebelumnya tidak dikenal. Banyak wajah baru muncul. Secara alamiah, partai melakukan kaderisasi," kata Muradi kepada Alinea.id, Jumat (26/4).

Meski tanpa Jokowi, Muradi menilai PDI-P masih sangat kuat dari sisi elektoral. Sebagaimana terlihat pada hasil Pileg 2024, Muradi berpendapat ada atau tidaknya Jokowi di PDI-P tak mempengaruhi raihan suara partai. 

"Angka 16 persen lebih itu menunjukan suara real PDI-P. Artinya sebenarnya fenomena Jokowi di partai politik itu, baik yang mengusung Prabowo-Gibran itu tidak cukup bisa memberikan efek yang signifikan bagi partai mereka," ucap Muradi.

Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal berpendapat PDI-P bakal kesulitan meraih simpati publik saat resmi jadi oposisi di parlemen. Pasalnya, PDI-P dan Gerindra cenderung mengusung garis politik yang mirip.

"Yakni kerakyatan dengan kebijakan yang populis. Artinya, sulit bagi PDI-P untuk menampilkan wajah sebagai pembeda dari pemerintah. Agak sulit bagi PDI-P untuk mengambil simpati publik jika demikian situasinya," ucap Ikbal kepada Alinea.id. 

Pilkada Serentak 2024, menurut Ikbal, bakal jadi ajang pertaruhan bagi masa depan PDI-P sebagai parpol pemenang pemilu. PDI-P, kata dia, harus mampu memenangkan banyak pilkada demi menjaga elektabilitas. "Dengan begitu, PDI-P bisa memunculkan pemimpin daerah yang populer sehingga dapat mengangkat suara PDIP di 2029," ucap Ikbal.
 

Berita Lainnya
×
tekid