sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KIHI dinilai menunjukkan komitmen Indonesia kurangi emisi gas rumah kaca

Pembangunan kawasan industri hijau di Kaltara merupakan langkah maju dalam membangun kawasan industri yang green energy.

 Ratih Widihastuti Ayu Hanifah
Ratih Widihastuti Ayu Hanifah Jumat, 24 Des 2021 21:14 WIB
KIHI dinilai menunjukkan komitmen Indonesia kurangi emisi gas rumah kaca

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, menyambut baik rencana pemerintah mengedepankan pengurangan emisi efek rumah kaca, pada pengembangan ekonomi di masa mendatang, melalui pembangunan kawasan industri hijau. 

Seperti diketahui, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan groundbreaking pembangunan  Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) yang terletak di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Selasa (21/12). Kawasan industri hijau ini dibangun melalui kerja sama sejumlah investor dari dalam dan luar negeri seperti Cina dan juga Uni Emirat Arab.

Menurut Mamit, pembangunan kawasan industri hijau di Kaltara merupakan langkah maju dalam membangun kawasan industri yang green energy.

“Saya kira, ini menunjukkan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui pembangunan ini, saya kira akan bisa memberikan multiplier effect bagi masyarakat sekitar dan juga bagi Kaltara karena ke depan akan banyak investasi yang masuk," kata Setiawan saat dihubungi Alinea.id, Jumat (24/12)

Penggunaan PLTA juga dinilai sudah sangat tepat. Pasalnya, PLTA merupakan pembangkit EBT yang bisa menjadi peaker. Pasalnya, PLTA tidak membutuhkan energi fosil sebagai backup. PLTA juga bisa diatur sesuai dengan kapasitas yang diinginkan. 

“PLTA juga merupakan pembangkit yang benar-benar zero emission. Jadi saya kira sudah tepat sekali penggunaan PLTA. PLTA sudah sangat ramah lingkungan. Di sisi lain, tren pembiayaan ke arah green investment. Makanya, saya kira, akan banyak investasi yang masuk di kawasan industri hijau Kaltara ini," jelas Setiawan.

Namun, Setiawan menggarisbawahi satu permasalahan di Indonesia dalam  penerapan penggunaan energi terbarukan (EBT). Di antaranya harga yang mahal jika dibandingkan dengan harga dari energi fosil. Selain itu, kemampuan dari EBT dalam menciptakan lapangan pekerjaan masih belum optimal. 

“Dikarenakan masih belum banyak industri EBT berinvestasi di Indonesia. Kemudian, produk dan peralatan EBT masih didominasi oleh impor," kata dia.

Sponsored

Sementara itu, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Randhi menjelaskan, syarat untuk mencapai zero carbon pada 2060, seluruh pembangkit listrik harus menggunakan EBT. 

“Syarat ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada PLN. Namun, harus ada swata ikut membangun pembangkit dengab skema perusahaan pembangkitan independen atau IPP," jelas Fahmi Randhi, Jumat (24/12).

Pihaknya juga memberikan pendapatnya terkait pembangunan kawasan industri hijau yang berdekatan dengan Kaltara, tidak membahayakan masyarakat. 

“Saat pembangkit menggunakan EBT tidak lagi menggunkan batu bara. Atau batubara diolah dan dimurnikan sehingga menghasilkan listrik ramah lingkungan. Ini tidak membayakan meski pembangkit dibangun di mulut tambang," sambung dia.

“Pembangkit mulut tambang lebih ekonomis bagi pengusaha batu bara dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan terbukti tidak berbahaya. Tidak ada alasan utk mempermasalahkan,” ucap dia.

Berita Lainnya
×
tekid