sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Konsumsi rokok mengkhawatirkan, penguatan pengendalian komoditas zat adiktif mendesak

Konsumsi rokok mengkhawatirkan ditandai dengan semakin banyaknya perokok anak dan iklan rokok yang bertebaran.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 02 Nov 2023 08:09 WIB
Konsumsi rokok mengkhawatirkan, penguatan pengendalian komoditas zat adiktif mendesak

Distribusi dan konsumsi rokok di kalangan anak dan remaja semakin mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari prevalensi perokok anak yang mencapai 9,1% atau sebanyak 3,2 juta anak pada 2018 lalu. Jumlah ini bahkan berpotensi melonjak hingga 15% atau 15,9 juta anak apabila tidak dikendalikan.

Berangkat dari kekhawatiran ini, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi lantas mendesak pemerintah untuk melakukan penguatan aturan pengendalian rokok dan produk tembakau lainnya. Di mana saat ini, peraturan tersebut sedang digodok oleh Kementerian Kesehatan, yaitu berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Kesehatan. 

“YLKI memberikan beberapa catatan kritis terhadap substansi RPP Omnibus Law itu, khususnya untuk aspek pengendalian konsumsi zat adiktif seperti tembakau/rokok, garam, gula, dan lemak,” katanya, di Jakarta, Rabu (1/11). 

Beberapa catatan terkait pengendalian konsumsi rokok antara lain terkait iklan rokok di media digital yang sampai sekarang masih belum ada aturannya. Dengan kebiasaan anak jaman sekarang layaknya hidup berdampingan dengan peralatan elektronik dan gawai, pembatasan iklan rokok di media daring sangat perlu dilakukan. Hal ini tak lain untuk mengurangi keterpaparan iklan rokok kepada anak. 

Tidak hanya itu, Indonesia pun menjadi satu-satunya negara yang masih melegalkan iklan dan promosi rokok di media digital. Padahal, iklan rokok merupakan edukasi dini bagi konsumen untuk merokok. Lebih dari itu, iklan rokok juga efektif untuk melemahkan daya pikir kritis masyarakat terhadap bahaya rokok. 

“Lebih lanjut, YLKI meminta pelarangan penjualan rokok secara eceran/per batang. Penjualan secara eceran menjadi akses yang sangat mudah bagi anak dan remaja, dan juga rumah tangga miskin,” imbuhnya. 

Persentase gambar peringatan kesehatan atau pictorial health warning (PHW) menjadi catatan Tulus berikutnya. Menurutnya, persentase PHW di Indonesia yang hanya sebesar 40%, sangat kecil jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia. 

“Ini penting agar konsumen mendapatkan informasi bahaya rokok secara lebih jelas, terang dan gamblang. Maka peringatan kesehatan bergambar sebesar 90 persen sudah seharusnya dilakukan,” jelas dia. 

Sponsored

Terlepas dari itu, menurut Tulus, pengendalian konsumsi rokok adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Sebab, tanpa pengendalian ketat, selain prevalensi perokok anak akan meningkat, juga berpotensi menjegal cita-cita pemerintah untuk mewujudkan bonus demografi pada 2030 dan Indonesia Emas pada 2045. 

“Lebih lanjut, RPP Kesehatan harus mampu menjadi instrumen untuk menyelamatkan anak, remaja dan generasi muda dari eksploitasi marketing industri rokok,” tegas Tulus. 

Sementara itu, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menilai, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya perokok anak, pemerintah juga harus tegas dalam membuat aturan. Dia melihat, sampai saat ini intervensi industri rokok dalam proses penyusunan kebijakan masih tinggi. 

Dengan campur tangan ini, kebijakan yang dihasilkan pun akan cenderung berpihak pada industri, bukan kepentingan terbaik bagi anak. Imbasnya, kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia tidak pernah bisa berjalan optimal. 

“Hal yang menarik, selama September-Oktober 2023 atau dalam periode pembahasan RPP Kesehatan, Lentera Anak mencatat banyak pemberitaan daring yang menunjukkan kencangnya narasi penolakan atas proses penyusunan RPP Kesehatan,” kata dia, Selasa (31/10). 

Narasi yang digaungkan oleh pihak-pihak yang menolak pun serupa. Selain itu, ada pula pihak-pihak yang sebelumnya tidak pernah menyuarakan soal isu tembakau, tiba-tiba bersuara lantang untuk melindungi industri rokok. 

“Mereka khususnya mengkritisi pasal-pasal terkait pengamanan zat adiktif, yakni Pasal 435-460 di RPP Kesehatan, yang bersifat pelarangan dan sangat restriktif terhadap industri tembakau dari hulu ke hilir,” jelas Lisda. 

Dengan pola ini, Lisda menilai ada peran industri di balik narasi-narasi penolakan di media massa tersebut. Hal ini sesuai dengan riset The Tobacco Atlas di beberapa negara di dunia, yang mengungkapkan bahwa industri tembakau telah melakukan berbagai strategi untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau. 

“Cara-cara yang dimaksud antara lain, manipulasi media, melobi dan membajak proses legislatif dan membuat dukungan palsu,” beber Lisda.
 

Berita Lainnya
×
tekid