sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mendulang cuan dari gunungan sampah nasional

Pengelolaan sampah tak lagi hanya dengan pola kumpul-angkut-buang semata.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 15 Jun 2021 07:35 WIB
Mendulang cuan dari gunungan sampah nasional

Sampah masih menjadi salah satu momok utama pemerintah. Buktinya, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020 mencatat total produksi sampah Indonesia telah mencapai 67,8 juta ton. 

Ada sekitar 185.753 ton sampah yang dihasilkan oleh 270 juta penduduk setiap harinya. Artinya, setiap penduduk memproduksi 0,68 kilogram sampah per hari.

Dari total volume sampah 2020, paling banyak disumbang oleh sampah sisa makanan yang sebesar 39,74%. Kemudian disusul oleh sampah plastik sebanyak 16,97%, sampah kayu atau ranting 13,98%, sampah kertas atau karton sebesar 11,98%, dan sampah lainnya sebanyak 7%. Selanjutnya adalah sampah logam 3,31%, sampah kain 2,76%, sampah kaca 2,28% dan sampah karet atau kulit sebanyak 1,98%.

Keseluruhan sampah tersebut memiliki kontribusi besar pada semakin tingginya gunungan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir (TPA). Selain menimbulkan pencemaran lingkungan, timbunan sampah itu juga menambah produksi gas metana yang pada akhirnya dapat meningkatkan polusi udara. 

Di sisi lain, sampah plastik di laut, juga akan berdampak pada keberlanjutan ekosistem di laut. Sebab, sampah plastik yang masuk ke laut tidak akan terurai dalam waktu lama. Sampah plastik justru akan membentuk jenis baru, yaitu mikroplastik.

“Plastik berukuran kepingan sangat kecil itu, ada yang berada di sedimen dan ada yang dimakan ikan,”kata Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Muhammad Reza Cordova kepada Alinea.id, Selasa (8/6).

Jadi, jika manusia mengonsumsi ikan yang di dalam perutnya ada mikroplastik, maka secara tidak langsung dia telah mengonsumsi mikroplastik juga. Reza melanjutkan, selama 56 tahun yakni sejak 1964 hingga 2020, produksi plastik di bumi mengalami kenaikan dari 15 juta ton menjadi 380 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 9% saja sampah plastik yang bisa didaur ulang dan sebanyak 12% yang bisa dibakar. 

“Jadi, mikroplastik ini merupakan bom waktu bagi kesehatan umat manusia,” jelas dia.

Sponsored

Sampah botol plastik yang disusun rapi. Pixabay.com.

Berdasarkan data yang dimiliki National Plastic Action Partnership (NPAP), sampah plastik yang ada di Indonesia jumlahnya sudah mencapai 650 ribu ton. Adapun menurut Bank Dunia sudah mencapai sekitar 201 ribu hingga 552 ribu dalam setahun.

“Sementara menurut data dari LIPI, sampah plastik di Indonesia produksinya sudah mencapai sekitar 270 ribu hingga 590 ribu ton,” jelas dia.

Sampah makanan terbesar

Di sisi lain, sampah makanan atau food loss and waste menjadi penyumbang sampah nasional terbesar nomor satu. Sampah ini juga menimbulkan dampak kerugian negara sebesar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun. Angka tersebut setara dengan 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Padahal, jika dikelola dengan baik menggunakan sistem ekonomi sirkular, baik sampah sisa makanan, plastik maupun jenis limbah lainnya dapat memberikan manfaat yang tak sedikit jumlahnya bagi perekonomian nasional. Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan penerapan ekonomi sirkular berpotensi menghasilkan tambahan produk domestik bruto (PDB) nasional berkisar Rp593 triliun hingga Rp642 triliun hingga 2030 mendatang.

Di saat yang sama, sistem ekonomi berkelanjutan ini juga dinilai berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru jenis green job di Indonesia. 

“Ekonomi sirkular akan menurunkan emisi karbon ekuivalen hingga mencapai 126 juta ton pada 2030," kata Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas, Arifin Rudiyanto, kepada Alinea.id, Kamis (27/5).

Peluang pada pemanfaatan ekonomi sirkular, lanjut Arifin, sangat penting untuk bisa dimanfaatkan dalam membangun ekosistem bisnis berkelanjutan. Diharapkan, ada pergeseran paradigma pelaku usaha yang tadinya hanya melaksanakan corporate social responsible (CSR), menjadi menerapkan creating share value (CSV) di saat yang sama.

"CSV merupakan pendekatan bisnis baru yang mengintegrasikan peningkatan kualitas sosial dan lingkungan dalam penciptaan nilai ekonomi," ujarnya.

Adapun untuk ekonomi sirkular sendiri, memang diterapkan untuk mempertahankan nilai produk, bahan baku, dan sumber daya semaksimal mungkin.  Hal ini dapat dilakukan dengan memperpanjang umur produksi-konsumsi, inovasi desain, pemeliharaan, penggunaan kembali, daur ulang ke produk semula dan daur ulang ke produk yang berbeda. 

Ilustrasi Pixabay.com.

“Dengan begitu, ekonomi sirkular diharapkan akan membantu mengurangi sampah yang terbengkalai di TPA ataupun yang terbuang di aliran air hingga menyebabkan laut tercemar,” tutur Arifin.

Peluang bisnis

Pemerintah pun telah mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam Visi Indonesia 2045, dan telah mengintegrasikannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024. 

“Indonesia mulai mengadopsi ekonomi sirkular sebagai salah satu upaya mendukung strategi ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon,” jelas Arifin. 

Sebelum berfokus pada penerapan ekonomi sirkular, pemerintah juga telah melakukan beragam upaya untuk membenahi tata kelola sampah nasional. Mulai dari mendaur ulang sampah menjadi sumber pembangkit listrik, memproduksi kembali sampah-sampah berbahan dasar daur ulang hingga diet plastik. 

Namun, kondisi itu belum mampu mengurangi jumlah sampah nasional karena faktanya penimbunan sampah baik dengan pola open dumping serta landfill masih berkontribusi sebesar 69% dari pola pengelolaan sampah. Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik pun mengakui bahwa pengelolaan sampah di Indonesia belum optimal.

Tercatat, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, kapasitas pengelolaan sampahnya rata-rata di bawah 50%, kecuali di kota-kota besar yang mencapai 70-80%. "Polanya belum juga berubah, masih terpaku pada pola lama. Kumpul-angkut-buang,” katanya kepada Alinea.id belum lama ini. 

Meski masih menggunakan pola linear, Ujang bilang, dalam lima tahun terakhir, Indonesia sudah mulai beralih menggunakan pola sirkular. Dia pun mendesak pemerintah agar terus memperbaiki pengelolaan sampah nasional, baik dengan daur ulang atau lewat bank sampah. 

Sejumlah pemulung mencari sampah yang bisa dijual kembali di Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Foto Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana.

“Sejauh ini, kegiatan bank sampah baru berkontribusi sebesar 1,7% terhadap penanganan sampah nasional, melalui lebih dari 10 ribu bank sampah,” lanjut dia. 

Salah satu contoh pengelolaan sampah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta melalui gerakan yang digagas Gubernur Anies Baswedan, yakni Jakarta Sadar Sampah. Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Rita Ningsih, pengelolaan sampah di Ibu Kota dilakukan untuk mencari nilai ekonomis sampah melalui bank sampah. 

“Dari sini, masyarakat Jakarta bisa membawa sampah yang sudah dipilah ke bank sampah. Dengan itu, mereka akan dapat merasakan nilai tambah dari sampah,” jelasnya, kepada Alinea.id, Rabu (9/6).

Selain menampung sampah anorganik yang bisa didaur ulang, kebanyakan bank sampah di DKI juga menerima sampah organik. Rita bilang, dari sampah organik yang terkumpul, kemudian akan diolah menjadi kompos, melalui magot atau resapan biopori. 

“Dengan upaya itu, Pemprov DKI telah mampu mengurangi timbulan sampah sebanyak 22,45%,” lanjut Rita.

Partisipasi korporasi

Tak hanya pemerintah yang ambil peran, perusahaan pun bisa turut berkontribusi melalui penerapan 6R. Konsep rethink (memikirkan kembali), refuse (menolak), reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan repair (memperbaiki) juga mulai diadopsi oleh perusahaan-perusahaan nasional, seperti Garnier Indonesia, Aqua dan PT Uniliver Indonesia. 

Manajer Produk Senior Garnier Indonesia Diana Beauty mengatakan, sejak  beberapa tahun terakhir, Garnier telah berkomitmen menjaga keberlanjutan lingkungan hidup melalui pengurangan penggunaan sampah plastik dalam kemasan produknya. 

"Kami mulai dari kemasan dulu karena memang apa yang diterima konsumen itu langsung produk dalam bentuk kemasan,” jelasnya kepada Alinea.id, Selasa (8/6). 

Seiring berkembangnya bisnis kecantikan, Garnier sadar akan semakin banyak produk dan kemasan yang dihasilkan. Merek kosmetik asal Prancis itu memulai dengan membuang lapisan biru plastik pakai pada produk masker dan membuang plastik segel. Dengan dua cara itu, Garnier telah menghemat 32 ton sampah plastik di tahun 2019.

Kedepannya, Garnier berkomitmen akan menghemat 402 ton plastik baru pada 2022 dan tidak lagi menggunakan plastik baru pada tahun 2025 mendatang. Tak hanya berfokus pada kemasan ramah lingkungan, Garnier juga mempraktikkan kegiatan produksi berkelanjutan.

"Kita tidak akan menggunakan virgin plastik. Sama sekali zero virgin plastik. Di Eropa, Garnier sudah meluncurkan produk shampoo bars yang kemasannya menggunakan kertas," ujarnya.

Sampah plastik memenuhi pantai. Pixabay.com.

Berbeda dengan Garnier, PT Unilever Indonesia Tbk. berupaya menerapkan ekonomi sirkular dengan cara lain, yaitu dengan memaksimalkan peran bank sampah. Head of Corporate Affairs and Sustainability Unilever Indonesia, Nurdiana Darus mengungkapkan, melalui Yayasan Unilever Indonesia (YUI), hingga saat ini perusahaan sudah berhasil menghimpun sekitar 4.000 bank sampah aktif di seluruh Tanah Air. 

"Tahun 2008 menjadi penanda bagi kami untuk memulai program terkait pengumpulan sampah dan salah satunya adalah bank sampah," kata dia, kepada Alinea.id melalui pesan singkat, Sabtu (12/6). 

Dalam kurun 10 tahun, yakni hingga 2018 saja, YUI bersama mitra bank sampah binaan mereka sudah berhasil mereduksi sampah ke TPA sebesar 7.779 ton. Angka itu juga melonjak saat 11 bulan fase pandemi berlangsung. Sebanyak 13 ribu ton sampah mampu dijaring untuk diolah kembali oleh 4.000 bank sampah binaan YUI.

Tantangan ekonomi sirkular

Pada kesempatan lain, Ketua Kajian Ekonomi Lingkungan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah menyebutkan, ada dua masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam pemanfaatan ekonomi sirkular. Pertama, masih rendahnya tingkat pengumpulan sampah nasional. 

“Data statistik menyebutkan collection rate sampah di Indonesia kurang dari 40%, di bawah negara-negara Asia Tengah dan Pasifik yang rata-rata sudah 70%,” katanya, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Jumat (11/6). 

Alin bilang, tingkat pengumpulan sampah dapat ditingkatkan dengan memaksimalkan peran pemulung. Namun, profesi pemulung kerap kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Padahal, menurut data KLHK, pemulung mengumpulkan 84,3% sampah plastik yang ada (setara 354.957 ton) di Tanah Air.

Masalah kedua adalah masih rendahnya daya serap dari kegiatan daur ulang. Kementerian LHK menyebut angka itu baru berkisar 11 %. “Bandingkan dengan Korea Selatan yang mencapai 50% dari total produksi sampah nasional mereka atau masih lebih rendah dari Kolombia (20%),” imbuhnya.

Senada, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri menjelaskan, sektor informal seperti pemulung dan pengepul berperan dalam penerapan ekonomi sirkular. Meski demikian, sektor informal ini bersifat profit oriented. 

“Banyak teman-teman sektor informal tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan, mereka berhasil mengolah sampah dengan teknologi seadanya,” ujarnya, Minggu (13/6).

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pemulung Indoensia (IPI), Pris Polly Lengkong mengatakan sampah yang diambil pemulung di wilayah DKI Jakarta dan dibuang ke TPST Bantargebang memang bisa menghasilkan cuan. 

Antara lain bisa dikelola untuk daur ulang dan pupuk organik. "Kami juga ada aplikasi Greeny yaitu pengelolaan sampah berbasis digital. Saya anggap pemulung ke depan bagian dari pahlawan lingkungan. Jadi perlu ada sumber daya manusia untuk masuk ke era digital," kata Pris kepada Alinea.id, Selasa (8/6).

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

 

Berita Lainnya
×
tekid