sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengantisipasi bahaya kelangkaan stok BBM

Pihak Pertamina mengatakan, stok BBM nasional berada di level 25 hari.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 06 Des 2019 17:50 WIB
Mengantisipasi bahaya kelangkaan stok BBM

Di Balai Sarwono, Jakarta, pada 27 November 2019, staf ahli Direktur Logistic Supply Chain & Insfrastructur PT Pertamina Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, stok bahan bakar minyak (BBM) menipis.

“Sekarang ini stok kita hanya 12 hari. Dengan luas wilayah seperti ini, enggak cukup,” kata dia kepada wartawan.

Persoalan ini, kata dia, harus disikapi oleh petinggi Pertamina. Termasuk Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

“Kalau untuk negara ini berbahaya karena berdampak ke political cost yang luar biasa ketika rakyat kekurangan bahan bakar. Kebayang enggak kalau BBM langka, harga berapa pun itu akan tetap dibeli, biaya menjadi tinggi,” ujar Rifky.

Ketika dikonfirmasi terkait pernyataannya itu, Rifky menganggapnya sekadar diskusi panjang karena khawatir akan memicu kerawanan dan gejolak sosial.

“Itu kan sudah selesai, sudah kita diskusikan kemarin,” ujar Rifky saat dihubungi Alinea.id, Kamis (5/12).

Akan tetapi, Rifky mengatakan, banyak penyebab kelangkaan yang melanda beberapa daerah beberapa hari lalu. Bukan hanya problem stok BBM kurang dan distribusi.

“Prinsipnya, seperti bak mandi. Besaran pemakaiannya harus seimbang dengan pengisiannya,” tuturnya.

Sponsored

Rifky mengaku, pembangunan infrastruktur pendukung sangat rumit, dari sistem logistik hingga tangki timbun.

Merujuk standar International Energy Agency (IEA), cadangan BBM minimal di level 90 hari. Rifky mengatakan, Indonesia bukan anggota IEA, dan target sebesar itu takbisa ditampung semua tangki timbun di Indonesia.

Padahal, pada 2015 Indonesia sudah dikukuhkan menjadi anggota resmi badan energi internasional itu di Paris, Prancis, dalam pertemuan menteri-menteri energi sedunia.

Sejumlah kendaraan mengantre untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM), di SPBU Lubuk Buaya, Padang, Sumatera Barat, Jumat (8/11). /Antara Foto.

Stok aman?

Menanggapi pernyataan Rifky, Vice Presiden Corporate Communication PT Pertamina, Fajriyah Usman menegaskan, yang bersangkutan sudah meralatnya. “Itu sudah lama. Sudah direvisi sama orangnya,” kata Fajriyah saat dihubungi, Rabu (4/12).

Lebih lanjut, ia menerangkan, stok BBM dan elpiji dalam kondisi aman. Secara nasional, menurut Fajriyah, stok BBM berada di level 25 hari, sedangkan elpiji 15 hari.

“Bahkan, stok avtur dan solar dalam keadaan surplus sejak bulan Maret 2019,” kata Fajriyah saat dihubungi, Rabu (4/12).

Ia menjamin, stok BBM aman karena Pertamina memiliki jaringan infrastruktur energi yang lengkap untuk keperluan distribusi dan menjangkau hingga pelosok. Selain itu, Pertamina juga sudah membangun 161 titik BBM satu harga di daerah terdepan, terpencil, dan terluar.

“Pertamina pun punya 112 terminal BBM, 9.677 kilometer jalur pipa, kurang lebih 10.000 mobil tangki, dan 6.781 SPBU di seluruh Indonesia,” ucapnya.

Untuk mengantisipasi peningkatan permintaan BBM dan elpiji menjelang Natal dan Tahun Baru 2020, Fajriyah mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan tambahan suplai.

Permintaan BBM di saat Natal dan tahun baru, katanya, bisa diatasi dengan optimalisasi kilang dan teknologi dalam mengelola minyak mentah.

“Stok BBM meningkat seiring dengan suplai minyak mentah domestik dari kontraktor kontrak kerja sama yang beroperasi di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu menuturkan, selama ini memang stok BBM Pertamina berada pada angka sekitar 12 hari. Untuk mengantisipasi kelangkaan, kata Irawan, sebaiknya Pertamina meningkatkan kapasitas tangki timbun.

“Kalau memang ada peluang ditingkatkan, ya bagus. Kita tidak pernah dalam kondisi ideal (90 hari). Maka, kesannya adalah Pertamina terbiasa untuk menjaga supaya stok cadangan yang 12 hari itu tidak terganggu,” ujar Gus Irawan di Jakarta Selatan, Rabu (4/12).

Untuk saat ini, ia hanya berharap Pertamina bisa menjaga stok BBM agar tetap aman. Sebab, kata dia, usaha meningkatkan kapasitas cadangan memerlukan dana investasi yang besar.

“Ini hanya cadangan Pertamina, cadangan pemerintah enggak ada, kan negara harus punya cadangan juga,” ucapnya.

Menurut Pria Indirasardjana di dalam buku 2020 Indonesia dalam Bencana Krisis Minyak Nasional (2014), Indonesia belum punya cadangan strategis minyak (CSM). Indonesia hanya menerapkan kebijakan stok BBM untuk operasional, yang harus tersedia setiap saat.

Pria menulis, stok BBM 22 hari saja sesungguhnya masih cukup rawan, jika dilihat dari sisi ketahanan energi.

“Kita ingat, berkali-kali Pertamina mengalami krisis pasokan minyak mentah dengan berbagai alasan, seperti tidak adanya dana, gangguan cuaca, dan gangguan pasokan akibat disanderanya kapal tangker Pertamina oleh perompak Somalia,” tulis Pria.

Pria menulis, membangun CSM memerlukan biaya yang besar, tetapi tidak ekonomis. Menurutnya, hanya negara kaya yang mampu memilikinya karena CSM untuk 90 hari senilai Rp120 triliun.

China memiliki CSM 684,3 juta barel minyak mentah ekuivalen dengan 90 hari, Jerman punya kapasitas CSM minyak dan BBM sekitar 90 hari, serta Jepang lebih dari 583 juta barel minyak dan BBM ekuivalen dengan lebih dari 140 hari.

Sementara Indonesia hingga kini masih mengimpor minyak lebih dari separuh kebutuhan. “Tampaknya akan selamanya mengimpor minyak,” tulis Pria.

Pria menulis, konsep sekadar bertahan untuk mencukupi energi sudah tak relevan. Indonesia harus berusaha dengan segala cara agar pasokan minyak dan energi terjamin. Termasuk mengantisipasi gejolak global akibat ketergantungan dengan pasar internasional.

Menurut Pria, untuk jangka menengah, Indonesia sebaiknya mengembangkan konsep ketahanan energi guna menjamin kelancaran pasokan minyak dan BBM nasional. Sedangkan jangka panjang, harus memperkuat konsep pengamanan energi yang bukan sekadar ketahanan.

Saat cadangan mulai menurun dan tidak ada pengganti, Indonesia perlu segera mencari cadangan lain yang memiliki karakteristik berbeda dengan yang semula.

Sejumlah truk diparkir saat menunggu pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar yang habis, di SPBU Solok, Sumatera Barat, Sabtu (16/11). /Antara Foto.

Solusi atasi kelangkaan

Dihubungi terpisah, pengamat energi Kurtubi mengatakan, stok BBM di level 12 hari tergolong berbahaya. Sebab, menyalurkan ke seluruh Indonesia membutuhkan waktu yang relatif panjang.

Kurtubi menuturkan, dari kilang minyak atau impor luar negeri didistribusikan ke daerah kepulauan, menghabiskan waktu lebih lama dibandingkan dengan negara geografis daratan.

Menurut Kurtubi, justru Amerika Serikat yang struktur geografisnya daratan, sudah mempertahankan stok BBM jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia. Jepang, kata dia, malah sudah mencapai di atas level 90 hari.

“Semua negara maju telah merencanakan stok BBM untuk jangka panjang agar jangan sampai kekurangan,” ujar Kurtubi saat dihubungi, Rabu (4/12).

Kurtubi mengatakan, pertimbangan minimal di level 90 hari untuk menjamin kebutuhan transportasi, industri, dan pembangkit listrik tenaga diesel yang harus berjalan terus 24 jam. Sehingga, kata dia, tangki timbun penting untuk menjaga BBM selalu tersedia.

Kurtubi mengingatkan, kebutuhan BBM akan terus mengalami peningkatan setiap tahun. Maka, Indonesia harus merencanakan, baik dari pengadaan maupun produksi kilang dalam negeri. Tak lupa, Kurtubi juga menyarankan membangun infrastruktur tangki timbun untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan BBM.

“Motor dan mobil baru penjualannya juga terus ada. Itu artinya kebutuhan BBM akan meningkat, mobil dan motor lama tetap jalan, malah ditambah mobil dan motor baru,” ujar Kurtubi.

Menurutnya, BBM juga termasuk produk yang sensitif terhadap gejolak sosial. Ia mengatakan, agar kepentingan ekonomi konsisten berjalan, diperlukan kepastian stok persediaan BBM di tangki timbun.

Sayangnya Pertamina tidak pernah membangun tangki timbun baru. Ia menyarankan pemerintah dan Pertamina untuk membangun infrastruktur tangki timbun tambahan.

Infografik. Alinea.id/Oky Diaz.

“Kalau BBM-nya ada di kapal tangki di tengah laut, parkir doang, mestinya pemerintah atau Pertamina tidak perlu membantah fakta seperti itu, dengan mengatakan stok cukup, aman. Bangun saja storage baru,” kata dia. “Hikmahnya diambil, bukan dengan berkelit.”

Kurtubi menegaskan, pembangunan tangki timbun tidak perlu menunggu satu atau dua tahun. Semuanya tergantung daerah tersebut membutuhkan stok untuk berapa hari.

Kurangnya infrastruktur tangki timbun, kata dia, disebabkan produksi BBM dalam negeri masih terbilang rendah. Produksi kilang nasional juga tidak mampu mencukupi kebutuhan. Sehingga Indonesia mengimpor. Makanya, kata Kurtubi, Indonesia perlu membangun kilang baru.

“Intinya pemerintah dan Pertamina harus memperhatikan stok BBM yang cukup, apalagi belakangan ini ada gejala kekurangan solar. Itu harus diantisipasi," ujar Kurtubi. "Jangan sampai truk-truk pengangkut barang, pabrik-pabrik yang menggunakan solar tidak berjalan."

Berita Lainnya
×
tekid