sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Meracik ulang strategi pemulihan setelah ekonomi kontraksi

Pertumbuhan ekonomi kuartal II anjlok -5,39%, ke mana arah kebijakan pemerintah selanjutnya?

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Kamis, 06 Agst 2020 16:47 WIB
 Meracik ulang strategi pemulihan setelah ekonomi kontraksi

Para pemerhati ekonomi harap-harap cemas pagi itu, Rabu (5/8). Sekira 15 menit lagi hasil survei pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 akan diumumkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto.

Sekitar 6.000 orang lebih bersiap di kanal Youtube BPS sembari menebak-nebak seperti apa laju pertumbuhan ekonomi di kuartal II ini. Kolom komentar penuh dengan hilir-mudik orang yang bertaruh seberapa tinggi atau rendah kinerja ekonomi Indonesia di tengah pandemi. Beberapa masih cukup optimistis, tapi lebih banyak lagi yang pesimistis.

Tepat pukul 11.00 WIB, suara Kecuk lamat-lamat terdengar. Ia hadir dengan batik biru dan masker hitam menutupi bibir dan hidungnya. Seketika itu pula, kolom komentar ramai dengan lambang emotikon tepuk tangan, seakan-akan Kecuk adalah seorang musisi besar yang hendak melaksanakan konser daring.

Sepatah dua patah kata disampaikan Kecuk sebagai pengantar. Bak penunggang kuda troya, penampilan Kecuk begitu tenang dan mengesankan. Caranya berbicara sedikit menguarkan aura positif bagi sejumlah orang yang mengikuti konferensi pers daring itu.

Tetapi tidak sampai 5 menit ia berbicara, awan kelabu seolah muncul di atas kepala setiap orang. Kecuk pun mengumumkan apa yang sudah dinanti-nanti sejak awal kehadirannya di layar Youtube BPS siang itu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020, katanya, terkontraksi -5,3% secara tahunan. Artinya, ekonomi tak tumbuh selama periode tiga bulan kedua 2020. Ini bahkan menjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) terparah sejak 1999. Kala itu, Indonesia menghadapi krisis ekonomi terdalam sepanjang sejarah, dan krisis kali ini membuntut di belakangnya.

“Jadi, pada kuartal I tahun 1999, pada waktu itu mengalami kontraksi sebesar 6,13%,” tutur Kecuk dalam konferensi pers daring, (5/8).

Kecuk menjelaskan, runtuhnya ekonomi Indonesia ke teritori negatif ini disebabkan oleh turunnya pendapatan pada mayoritas sektor industri Tanah Air. Dari 17 sektor yang ada, katanya, hanya ada tiga lini yang tumbuh positif, yakni pertanian, informasi dan komunikasi (infokom), serta pengadaan air. Sedang sisanya berada pada pertumbuhan yang negatif.

Sponsored

Jika dilihat dari sisi kontribusi terhadap total akumulatif PDB, sektor transportasi dan pergudangan memberi sumbangsih beban terparah, yakni -1,29%. Disusul sektor industri pengolahan -1,28%, perdagangan -1%, akomodasi dan makan-minum -0,66%, serta industri lain-lain -1,09%.

Menurut Kecuk, sektor transportasi dan pergudangan memberi dampak cukup parah terhadap depresiasi PDB lantaran pemerintah sempat memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Belum lagi adanya imbauan work form home dan school from home

Tidak hanya itu, PSBB juga membuat sebagian besar moda transportasi, khususnya angkutan udara harus menghentikan operasionalnya sejak Maret 2020 lalu. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi di sektor angkutan udara pada kuartal II harus terkoreksi menjadi -80,23% atau turun 67,02% dari kuartal sebelumnya yang berada di level -13,37%. Pun demikian dengan moda transportasi lainnya yang juga turut terkontraksi rerata -17% sampai -39%.

Walhasil, secara keseluruhan sektor transportasi dan pergudangan mengalami pertumbuhan negatif -30,84%, terjun bebas dibandingkan kuartal I yang masih tumbuh 1,95%. Dengan pertumbuhan yang negatif ini, kontribusi sektor transportasi dan pergudangan terhadap PDB pun turut terkoreksi.

“Kalau pada kuartal II/2019 yang lalu kontribusi transportasi ini sebesar 5,57%. Karena mengalami kontraksi yang cukup dalam sumbangan dari transportasi dan pergudangan (terhadap PDB) turun menjadi 3,57%,” terangnya.Warga Jakarta melintas di Jalan Protokol, Jakarta. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Di sisi lain, sektor yang masih tumbuh positif yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air tidak bisa memberikan dorongan terlalu kuat terhadap PDB. Pasalnya, 2 dari 3 sektor yang masih positif itu bukan merupakan bagian dari 5 komoditas utama pengungkit PDB.

Hanya pertanian saja yang merupakan bagian dari 5 sektor utama tersebut, di luar sektor industri, pertambangan, perdagangan, dan konstruksi. Itu pun tumbuhnya tidak seberapa, hanya 2,19% dibandingkan kuartal I yang berada di level 0,02%. Tidak sebanding dengan penurunan 4 sektor pengungkit PDB lainnya yang pertumbuhannya berada pada kisaran -6% hingga -20%.

“Jadi pergerakan di 5 sektor ini yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sayangnya pada kuartal II/2020 hanya satu sektor yang tumbuh positif, yaitu pertanian” ungkap Kecuk.

PDB dari sisi pengeluaran dan spasial

Sementara, jika melihat kinerja ekonomi dari indikator pengeluarannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tampak jauh lebih buruk dari yang terlihat. Pasalnya, dari 6 indikator pengeluaran yang dirilis BPS, tidak ada satu pun yang berada pada teritori positif.

Bahkan, sektor konsumsi rumah tangga yang biasanya selalu memberikan sumbangsih terbesar terhadap PDB, kini harus terjun bebas ke level -5,51%, turun dari 2,83% di kuartal I. Begitu juga dengan indikator pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang terdepresiasi lebih dari 9% dari sebelumnya tumbuh 1,70% di kuartal I menjadi -8,61% di kuartal II.

Yang lebih menyedihkan lagi, konsumsi pemerintah yang diharapkan mampu memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi justru terkontraksi cukup dalam hingga -6,90%. Hal ini membuktikan bahwa upaya pemerintah memulihkan ekonomi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) belum dapat berjalan sesuai rencana.

Terbukti, hingga Rabu (5/8), realisasi PEN dari total anggaran Rp695,2 triliun baru terserap Rp145,41 triliun. Berarti, masih ada sekitar Rp549 triliun atau 60% lebih anggaran yang belum terserap dalam program PEN ini.

Kecuk menyebut, ambruknya konsumsi pemerintah ini juga disebabkan minimnya realisasi belanja barang dan jasa pemerintah yang hingga kuartal II masih negatif -22,17% dan belanja pegawai -10,64%.

“Sementara bansos masih naik 55,87% sebagai komitmen pemerintah memberi perlindungan sosial,” katanya.

Lantas jika dilihat secara spasial, pertumbuhan ekonomi di sejumlah kota juga masih menunjukkan indikasi negatif. Di pulau Jawa misalnya, pertumbuhan ekonominya masih -6,69%. Padahal, pulau Jawa menyumbang setidaknya 58,55% dari total pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Hanya ada dua kota yang tumbuh positif, yaitu Maluku dan Papua dengan total pertumbuhan 2,36%. Tetapi sayangnya, dua kota ini hanya menyumbang 2,37% bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi meski meningkat, sumbangsih terhadap PDB tidak begitu signifikan.

Meski demikian, Kecuk mengatakan, pada periode Mei-Juni sudah ada beberapa indikator yang menunjukkan sedikit perbaikan. Indikator tersebut antara lain purchasing managers index (PMI) manufaktur yang pada bulan Mei hanya 28,6 mulai naik pada bulan Juni menjadi 39,1 dan Juli 46,9.

Selain itu ada juga sedikit perbaikan dari sektor transportasi, baik darat, laut, dan udara yang perbaikannya dibandingkan rata-rata bulan Mei hampir tiga kali lipat atau 262%.

“Seiring dengan adanya relaksasi PSBB beberapa indikator mulai mengalami perbaikan, meskipun masih jauh dari normal. Tetapi aktivitas ekonomi sudah mulai bergerak, dengan harapan di bulan Juli, Agustus, September iramanya akan meningkat,” ungkapnya.

Janji stimulus baru

Satu jam usai rilis BPS, pemerintah pun langsung meresponsnya dengan menggelar konferensi pers secara beruntun hingga selesai ketika adzan maghrib tiba. Sekitar pukul 13.00 WIB, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hadir ke tengah-tengah media.

Dengan tempo bicara yang cepat, Airlangga lantas menyampaikan beberapa hal penting terkait langkah pemerintah merespons penurunan PDB. Menurut Airlangga, saat ini tim Komite Penanganan Covid-19 dan PEN tengah  berupaya memaksimalkan belanja pemerintah guna mengangkat perekonomian. Jumlahnya diharapkan tembus Rp800 triliun per kuartal.

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) juga termasuk dalam upaya memaksimalkan belanja ini. Dana Rp24 triliun untuk Pemilukada plus dana kampanye para calon bupati maupun walikota yang diperkirakan besarannya mencapai Rp10 triliun diharapkan mampu mendorong aktivitas konsumsi pada kuartal III.

“Kemungkinan Rp34-35 triliun dana beredar. Tentu akan meningkatkan konsumsi terutama untuk alat-alat ataupun alat peraga bagi para calon, termasuk di antaranya masker, hand sanitizer dan alat kesehatan lain,” ungkapnya, (5/8).

Di luar itu, sambung ia, pemerintah juga sedang menyiapkan stimulus baru bagi 12 juta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), bansos bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, dan pelaksanaan kembali program Kartu Prakerja bagi 2,1 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Datanya sedang disiapkan dari BPJS Ketenagakerjaan sehingga sesudah data by name, by address, by rekening sudah ketemu ini program akan dijalankan,” katanya.

Lebih detailnya, program stimulus baru itu diterangkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menggelar konferensi pers bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sekira 2 jam setelah Airlangga rampung berbicara dengan media.

Sri Mulyani mengatakan, program insentif bagi 12 juta UMKM nantinya akan digelontorkan pemerintah dalam bentuk kas sebesar Rp2,4 juta per orang. Anggarannya sudah disiapkan sekitar Rp30 triliun. Sementara terkait bantalan sosial bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, program ini akan menyasar sekitar 13 juta pekerja. Dananya sekitar Rp31,2 triliun.

“Langkah ini dilakukan karena sampai dengan Agustus ini penyerapan program PEN masih dirasa perlu untuk ditingkatkan,” terang Sri Mulyani, (5/8).

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan kepada dunia usaha berupa pengurangan beban listrik dengan menghapuskan batas minimum pembayaran listrik bagi industri dan sektor sosial. Dana yang dianggarkan untuk program ini diperkirakan mencapai Rp3 triliun.

Selanjutnya pemerintah juga bakal memperbesar diskon Pajak Penghasilan (PPh) 25 korporasi dari semula diskon 30% menjadi 50%. Lalu untuk mendorong konsumsi, pemerintah berencana akan memperpanjang masa pemberian bansos hingga Desember 2020.

Sekitar 10 juta masyarakat miskin dan rentan miskin bakal menerima sembako berupa beras seberat 11 kilogram dan bahan pokok lainnya, dengan total anggaran mencapai Rp4,6 triliun. Kemudian BLT sebesar Rp500 ribu bagi penerima kartu sembako yang di luar Program Keluarga Harapan (PKH).

“Ini kira-kira hampir 10 juta dari penerimanya dengan anggaran Rp5 triliun akan dibayarkan bulan Agustus,” kata Ani, panggilan akrab Sri Mulyani.

Tuna kebijakan

Terlepas itu, upaya pemerintah memperpanjang program bansos rupanya mendapatkan kritik dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Ia mempersoalkan penyaluran bansos yang selama ini tidak efektif dan cenderung salah sasaran.

Terbukti, beberapa survei yang diselenggarakan sejumlah lembaga juga menyampaikan hal serupa. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) misalnya, menyebut bahwa sebanyak 50% penduduk menilai bahwa penyaluran bansos tidak tepat sasaran dan kurang efektif.

Survei lain oleh Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik (Puspek) Universitas Airlangga (Unair) juga memberikan kesimpulan nyaris serupa. Dalam survei yang dirilis 14 Juli lalu, Puspek Unair menyimpulkan sebanyak 38,7% responden menyatakan penyaluran bansos masih kurang efektif.

Pun demikian dengan hasil riset Indikator Politik Indonesia pada Mei lalu. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa mayoritas publik menilai bansos pemerintah kepada masyarakat masih jauh dari kata efektif. Sebanyak 46,8% responden menilai program bansos kurang tepat sasaran, sementara 13,5% responden menilai bansos sama sekali tidak tepat sasaran.

“Jadi, berapapun nilainya mau ditambah berapapun kalau program itu tidak tepat sasaran maka mubazir, gak akan mampu menopang daya beli masyarakat,” terang Enny saat berbincang dengan Alinea.id, (5/8).

Sementara itu, Pendiri Indef Didik J Rachbini menyebut bahwa upaya pemerintah merespons pelemahan ekonomi saat ini masih terlalu pasif. Mestinya, sambung Didik, ketika melihat ada sinyal positif di sejumlah sektor, seperti di infokom, pemerintah bisa langsung menyikapinya dengan kebijakan yang inovatif.

Sehingga peluang untuk menggali potensi dari sektor ekonomi yang tumbuh itu bisa berjalan lebih eksplosif dan menguntungkan negara. Namun sayangnya, pemerintah tidak melakukan itu, sehingga sektor infokom yang punya potensi besar di masa pandemi ini pun hanya tumbuh 3,44%.

“Mengapa sektor ini secara keseluruhan hanya tumbuh 3,44%? Jawabannya karena miskin ide dan inovasi, tuna kebijakan,” ungkap Didik melalui keterengan tertulis.

Didik menyarankan agar pemerintah bisa mengaktifkan satelit Palapa Ring secara maksimal kepada PT Telkom Indonesai (Persero) Tbk. (Telkom) dan perusahaan telekomunikasi swasta agar bisa mengembangkan jaringan ke seluruh penjuru negeri. Tiang-tiang listrik juga sebaiknya diberikan secara gratis kepada pihak Telkom dan swasta agara sistem elektrifikasi di Indonesia bisa menjangkau lebih dari 90% wilayah Indonesia.

Warga menerima paket bansos sembako dari pemerintah. Foto Antara.

Kalau hal sederhana ini dilakukan, kata Didik, maka sektor ini bisa tumbuh pesat. Sebaliknya, jika pemerintah tetap tuna kebijakan seperti sekarang, maka sektor yang harusnya bisa tumbuh tinggi tersebut akan mandek.

“Jika saran kebijakan ini juga tidak laku, maka saya pastikan ada penyakit bebal kebijakan (di tubuh pemerintah),” pungkas Didik.

Stimulus dorong belanja

Ekonom Indef lainnya, Tauhid Ahmad juga mengingatkan pentingnya kebijakan stimulus yang tepat sasaran untuk mengangkat kembali konsumsi masyarakat. Direktur Eksekutif Indef ini menilai rencana pemerintah memberikan BLT bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan kurang tepat.

"Penghasilan Rp5 juta bukan orang miskin, mereka enggak akan gunakan tapi simpan uang itu. Ketika stimulus diberikan kepada kelompok penghasilan Rp2,92 sampai 5 juta uang akan sia-sia," ungkapnya saat Webinar Indef, Kamis (6/8).

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (5/8) sudah menyebutkan stimulus dari pemerintah berupa bantuan gaji tambahan kepada pekerja dengan pendapatan tertentu. BLT ini akan fokus pada 13,8 juta pekerja non PNS dan BUMN yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), dengan iuran di bawah Rp150.000 per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Tauhid pun menyarankan agar kebijakan BLT dialihkan kepada masyarakat miskin dan hampir miskin untuk mendorong konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama PDB. Pasalnya, kelompok ini dipastikan akan membelanjakan dana segar dari pemerintah. Sementara kelompok pegawai bergaji hingga Rp5 juta lebih cenderung menyimpan dana untuk berjaga-jaga menyambut resesi.

"Kalau masyarakat ada pemasukan walau sedikit bisa dialihkan untuk makanan dan minuman. Pemerintah bisa menjamin kebutuhan makan dan minum dengan memperbesar bantuan terutama uuntuk PKH (Program Keluarga Harapan) dan bantuan sembako agar sumber daya bisa dialihkan ke makanan," katanya. 

Menurutnya, kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin hampir separuh belanjanya adalah untuk makanan dan minuman. Jika kebijakan ini bisa diterapkan, ia optimistis konsumsi masyarakat akan membaik di kuartal selanjutnya.

 

 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid