sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mewujudkan ekosistem karbon biru di tengah laju deforestasi 

Cita-cita ekosistem karbon biru masih terganjal masalah deforestasi lahan mangrove, padang lamun, dan berkurangnya terumbu karang.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 08 Mei 2023 19:44 WIB
Mewujudkan ekosistem karbon biru di tengah laju deforestasi 

Sebagai negara maritim dengan banyak kepulauan, Indonesia menyimpan potensi karbon biru atau blue carbon yang sangat besar, yakni mencapai 3,4 Giga Ton (GT) atau sekitar 17% dari total karbon biru dunia. Data Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) mencatat potensi tersebut berasal dari ekosistem mangrove seluas 3,36 juta hektar (Ha) dan padang lamun seluas 3 juta Ha.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi beberapa waktu lalu bilang, potensi ini masih bisa lebih besar lagi. Sebab, angka-angka itu baru berasal dari cadangan mangrove yang ada di atas tanah saja. Sementara ekosistem karbon biru lainnya, seperti bakau, padang lamun, rumput laut, terumbu karang, dan tutupan lahan gambut di pesisir belum dihitung dalam national determined contribution (NDC).

“Data yang kami miliki belum memadai,” katanya.

Sementara itu, dari data KLHK, dengan luas lahan mangrove sekitar 3,36 juta Ha, kandungan karbon yang bisa diserap mencapai 800-1.200 ton per hektare. Dengan hitung-hitungan tersebut, potensi karbon biru pada ekosistem mangrove diperkirakan mencapai 3,14 miliar ton, yang mana juga berpotensi mengurangi emisi tahunan sebesar 10-31% dari sektor FoLU (Forest and Other Land Uses) atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan.

Hutan mangrove. Foto Pixabay.com.

Sedangkan dengan hitungan luas padang lamun sekitar 3 juta Ha, menurut Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso, mengutip hasil riset Alongi, et all (2015), potensi stok karbon dari ekosistem pada laut dangkal ini mencapai 119,5 ton karbon per Ha. Dengan rincian karbon di atas tanah sebesar 0,2%, karbon di bawah tanah 0,9%, dan karbon tanah 98,9%.

“Maka total potensi stok karbon padang lamun mencapai 386,5 ton karbon,” ujar Murdiyarso, kepada Alinea.id, Jumat (5/5).

Adapun menurut data FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 2014-2018, estimasi serapan karbon dari budidaya rumput laut di Indonesia mencapai 1-1,2 juta CO2 per tahun, atau setara dengan 0,279-0,338 juta ton karbon per tahun. Selain itu, terumbu karang pun juga sudah lama dikenal sebagai penyerap karbon yang efektif.

Sponsored

Belum lagi gambut di dataran rendah (lowland) yang diperkirakan seluas 13,8 juta Ha, yang diperkirakan mampu menyimpan karbon sebesar 13,6-40,5 GT karbon. “Lahan gambut Indonesia mencakup 45% dari lahan gambut tropis dunia, dan ini diperkirakan bisa menyimpan karbon sebesar 37%-65% dari carbon pool gambut tropis,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja, saat dihubungi Alinea.id, Senin (8/5).

Dengan besarnya potensi serapan karbon (carbon sink) tersebut, sejak tahun lalu pemerintah pun mulai melirik ekosistem karbon biru sebagai salah satu upaya untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi dalam NDC. Menteri KLHK Siti Nurbaya dalam Seminar Penguatan Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia bahkan menilai bahwa ekosistem karbon biru (EKB) juga sangat relevan dengan agenda FOLU Net Sink 2030.

“Ekosistem karbon biru yang mengintegrasikan ekosistem laut, yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, rawa air payau, rawa air asin dan terumbu karang memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon dan berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim,” tuturnya dalam acara yang dihelat Indonesia Ocean Justice Initiative (OIJI) di Jakarta, akhir Januari kemarin.

Meski begitu, EKB dapat memberikan tantangan di sektor lain, di antaranya perikanan dan akuakultur berkelanjutan, pariwisata laut dan pesisir, serta pembangunan pesisir. Oleh karenanya, peraturan, insentif, pembangunan institusi, partisipasi pemangku kepentingan, penelitian dan pengembangan kapasitas serta mekanisme pembiayaan di sektor ini sangat penting.

Foto Pixabay.com.

Begitu juga di sektor-sektor jasa lingkungan utama seperti konservasi keanekaragaman hayati, pengolahan limbah padat, layanan pengolahan dan remediasi air limbah. Hal tersebut memungkinkan untuk mendukung investasi lebih lanjut demi mewujudkan laut yang sehat dan berkelanjutan. Pada saat bersamaan, hal-hal tersebut juga dapat menggenjot ekonomi laut yang tangguh dan berkelanjutan pula.

Untuk mewujudkannya, lanjut Siti, memerlukan tindak lanjut terkait kelembagaan, yang dalam hal ini berkaitan dengan kapasitas institusi dalam aspek yang sangat luas. 

“Pada pandangan saya, inilah yang dapat menjadi arahan kita terkait karbon dengan ecosystem based,” imbuhnya.

Di mana di dalamnya, mencakup pula aspek regulasi, institusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, basis data (database) dan pembiayaan, policy exercise dan policy making serta interaksi pemerintah pusat dan sub nasional (masyarakat, swasta dan pemerintah daerah). Elaborasi kebijakan dan peran pun perlu dilakukan untuk menuju implementasi kebijakan karbon biru.

“Saya optimis, pada sektor ocean and wetland,” ujar dia.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengungkapkan pemerintah tengah melakukan berbagai upaya agar karbon biru dapat efektif untuk mencapai NDC. Salah satunya ialah dengan mendorong program konservasi mangrove.

Luas mangrove Indonesia menurut pulau 2021

Sumatera  660.445 Ha
Jawa  56.500 Ha
Bali dan Nusa Tenggara 34.974 Ha
Kalimantan  688.025 Ha
Sulawesi 137.186 Ha
Maluku dan Papua 1.786.951 Ha

Sumber: KLHK

“Kita perlu juga melihat bahwa pentingnya konservasi, selain pentingnya restorasi. Ini tidak lain karena konservasi mangrove memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi dibandingkan restorasi mangrove,” jelasnya, kepada Alinea.id, Kamis (4/5).

Ekosistem karbon biru (EKB)

Selain itu, pemerintah juga telah menyusun kerangka kerja strategi karbon biru Indonesia (Indonesia Blue Carbon Strategy Framework). Di mana dalam kerangka kerja ini terdapat beberapa agenda nasional, antara lain memetakan ekosistem karbon biru, penghitungan cadangan karbon biru, membahas kesiapan perdagangan karbon, serta penghidupan masyarakat pesisir.

“Kita juga baru saja menandatangani kesepakatan dengan WEF (World Economic Forum) di Davos untuk membentuk NBACAP (National Blue Carbon Action Partnership), tujuannya untuk mempercepat implementasi blue carbon di Indonesia,” imbuhnya.

Selanjutnya, pemerintah juga telah membentuk Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional (KKMN) berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kepmenko Marinves) Nomor 88/2022. Kelompok kerja ini melibatkan beberapa kementerian, seperti Kemenko Marves, KLHK, KKP, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PPN/Bappenas, Kemendes PDTT, dan BRGM.

Potensi Karbon di Indonesia memang sangat besar, pun dengan tantangan untuk mengimplementasikannya. Apalagi, pemerintah menargetkan pada tahun 2030 nanti berdasarkan FOLU Net Sink, lahan-lahan di tanah air, termasuk lahan basah yang terletak di pesisir tidak lagi menghasilkan emisi, selain juga untuk mencapai target NDC dan SDG (Sustainable Development Goals).

“Sebagai contoh saja, mangrove itu dalam NDC belum masuk dalam rencana strategi mitigasi (perubahan iklim), tapi dalam enhanced NDC sudah masuk, meskipun baru land use saja. Padahal yang banyak (cadangan karbon) ada di dalam tanah. Jadi seharusnya nanti di dokumen setelah NDC mungkin bisa dimasukkan,” ujar Peneliti CIFOR Daniel Murdiyarso, kepada Alinea.id, Jumat (5/5).

Foto Pixabay.com.

Tidak hanya itu, implementasi EKB pun masih harus menghadapi tantangan lain, yakni degradasi lahan mangrove. Menurut Data CIFOR, dalam 20 tahun terakhir, luas lahan mangrove telah terdeforestasi sekitar 200 ribu Ha. Artinya, dalam setahun Indonesia kira-kira kehilangan lahan mangrove seluas 10 ribu Ha.

Deforestasi lahan mangrove, lanjut Murdiyarso, paling banyak terjadi karena alih fungsi lahan menjadi tambak, lahan pertanian, atau peruntukkan lainnya. “Dalam studi saya, paling banyak itu dialih fungsikan sebagai tambak udang,” beber ilmuan di bidang ilmu alam ini.

Hal ini pun diamini pula oleh Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Virni Budi Arifanti. Menurutnya, laju deforestasi yang cukup tinggi, bahkan tergolong cukup tinggi di antara negara-negara pemilik mangrove dunia, jelas membuat fungsi tanaman bakau ini berubah dari penyerap karbon menjadi penghasil emisi gas rumah kaca (GRK).

Untuk memulihkan ekosistem mangrove yang rusak dan terdegradasi, pemerintah memang telah melakukan restorasi mangrove dan menetapkan restorasi mangrove seluas 600 ribu Ha dari 2021-2024. 
“Upaya ini memang bisa mencegah emisi karbon. Dari studi yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) KLHK dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), kegiatan restorasi mangrove pemerintah dari 2020-2030 diprediksi mencegah emisi 8,9 juta CO2 per tahun,” katanya, kepada Alinea.id, Minggu (7/5).

Namun demikian, solusi iklim yang efektif jika dibandingkan dengan restorasi adalah dengan mencegah deforestasi dan degradasi ekosistem mangrove terjadi. Pencegahan ini salah satunya bisa dilakukan melalui konservasi mangrove, penguatan dasar hukum kebijakan untuk mendukung perlindungan ekosistem mangrove dari alih fungsi lahan, pengembangan ekowisata, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove, menciptakan sumber penghasilan non-kayu alternatif bagi masyarakat pesisir, dan lain sebagainya.

Selain efektif, pencegahan juga jauh lebih murah ketimbang harus merestorasi lahan mangrove. Kata Virni, mengutip World Bank, untuk merehabilitasi 1 Ha lahan mangrove di Indonesia, setidaknya membutuhkan biaya sekitar US$3.900. Nilai ini mencakup biaya 10.000 bibit per Ha, pembangunan fasilitas dan infrastruktur persemaian, serta penanaman dan pemeliharaan bibit mangrove standar.

“Dengan perbandingan-perbandingan itu, perlu strategi mengoptimalkan potensi mitigasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan keseimbangan antara konservasi, perlindungan, rehabilitasi, dan restorasi ekosistem mangrove,” lanjut dia.

Selain deforestasi mangrove, optimalisasi ekosistem karbon biru juga masih terganjal dengan semakin berkurangnya luasan padang lamun, terumbu karang dan juga tutupan lahan gambut. Luasan padang lamun di wilayah Nias Utara, Sumatera Utara, dan Papua misalnya yang tak bisa menghentikan laju deforestasinya, di mana dari data BRIN, luas padang lamun menurun rata-rata dari 58% menjadi 48% pada tahun 2016 dan dari 61% menjadi 55% di 2017.

Masalah ini pun diakui pula oleh Plt Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Vivi Yulaswati. Menurutnya, seiring dengan tingginya alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan dan lahan pertanian yang semakin tinggi, kebakaran dan deforestasi hutan di atas lahan gambut, membuat tutupan lahan gambut kian berkurang tiap tahunnya.

Berdasarkan data KLHK, sejak 2000-2019 saja Indonesia telah kehilangan luas tutupan lahan gambut mencapai 1,82 juta Ha per tahun, atau sekitar 96 ribu Ha per tahun. “Selain itu, data dan informasi terkait dengan ekosistem mangrove dan lamun masih perlu diperbaharui. Tantangan lain, metode standar dalam pengumpulan data baseline yang belum terimplementasi dan kurangnya pendanaan untuk kegiatan konservasi dan restorasi ekosistem mangrove dan lamun,” beber Vivi, saat dihubungi Alinea.id, Senin (8/5).

Sadar akan tantangan-tantangan itu dan juga belum masuknya ekosistem karbon biru dalam NDC, pemerintah, khususnya Bappenas hanya bisa melakukan kegiatan adaptasi, seperti mendorong restorasi, rehabilitasi dan konservasi ekosistem karbon biru. Selain itu, pemerintah juga tengah berfokus untuk mengimplementasikan kerangka kerja strategi karbon biru Indonesia (Indonesia Blue Carbon Strategy Framework) yang nantinya dapat menjadi dasar penyusunan peta jalan.

“Saat ini yang diperlukan adalah pengembangan panduan MRV (monitoring reporting verification) khusus karbon biru,” tutupnya.
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Berita Lainnya
×
tekid