sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Peta jalan ketahanan pangan fokus pada diversifikasi makanan

Roadmap ini pada akhirnya akan menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 21 Okt 2019 18:21 WIB
Peta jalan ketahanan pangan fokus pada diversifikasi makanan

Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan peta jalan (roadmap) ketahanan pangan dalam periode kedua pemerintahan Jokowi akan fokus kepada integrasi sistem untuk pemenuhan gizi masyarakat dengan diversifikasi produk pangan.

Kepala Bidang Ketersediaan Pangan Kementan Rachmi Widiriani mengatakan roadmap ini pada akhirnya akan menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia. Bukan hanya dari segi pemenuhan gizi masyarakat namun juga kesejahteraan pelaku usaha dan petani.

"Sehingga tidak hanya di konsumen yang menikmati tapi pelakunya juga, dan juga termasuk petani sesuai RPJMN 2020," katan Rachmi di Jakarta, Senin (21/10).

Rachmi melanjutkan, dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat, konsumsi bahan pangan tidak harus berasal dari beras saja, melainkan juga bisa berasal dari bahan pangan yang memiliki kandungan gizi baik dan tumbuh subur di Indonesia.

"Kecukupan gizi harus dipenuhi dan karena keterbukaan informasi, masyarakat tidak lagi beras minded, harus ada diversifikasi pangan. Permintaan untuk kebutuhan pangan pun juga mengikuti selera konsumen," ujarnya.

Dia pun memaparkan, sampai dengan saat ini, tingkat konsumsi beras per kapita pun terus mengalami penurunan permintaan setiap tahunnya. Dari yang sebesar 139 juta ton pada tahun 2016, sekarang hanya menyisakan 111,5 juta ton per kapita per tahun.

"Yang akan naik adalah dari kelompok hewan, susu, telur, daging, ikan, sayur dan buah. Karena tadi, adanya keterbukaan informasi dan kebutuhan konsumen yang lebih beragam," jelasnya.

Ekstensifikasi pertanian

Sponsored

Di sisi lain, pengamat pertanian Khudori mengatakan pemerintah perlu mendorong ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian untuk meningkatkan produktivitas pangan. Pasalnya, banyak sekali lahan potensial yang tidak tergarap dengan baik selama ini.

Khudori menjelaskan, tingkat konsumsi masyarakat selalu mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Sementara, ketersediaan bahan pangan, utamanya beras masih belum cukup. Untuk itu, ia mengatakan, diperlukan memanfaatkan pangan lainnya.

"Kualitas pangan masih jadi persoalan. Sebagian besar bahan pangan masih disumbang dari umbi-umbian. Sudah saatnya pemerintah mencari bahan pangan selain padi, jagung, dan kedelai," ucapnya.

Khudori juga menambahkan, diperlukan pemanfaatan bahan pangan sesuai dengan bahan makanan pokok masyarakat lokal yang tumbuh subur di wilayah sekitar, untuk pengganti beras seperti sagu dan sorgum.

Sebab, katanya, jika hanya mengandalkan beras dengan jumlah yang tidak mencukupi akan mendorong harga beras naik. Sedangkan setiap kenaikan harga beras berkontribusi besar terhadap peningkatan kemiskinan.

"Meskipun harga beras naik sedikit saja, tapi angka kemiskinan akan meningkat menjadi besar. Karena masyarakat miskin sangat bergantung dengan beras," tuturnya.

Selain itu, dia juga memberi catatan, selama ini pemerintah terlalu fokus untuk peningkatan produksi, namun abai terhadap kesejahteraan petani. 

Dia berharap pemerintah memberikan subsidi output misalnya dengan membeli langsung hasil panen petani oleh pemerintah, bukan hanya subsidi input seperti bantuan pupuk dan benih.

"Pemerintah terlalu berorientasi produksi, tapi nasib petani tidak dipikirkan bagaimana mereka sejahtera. Kalau pemerintah bisa memberikan dengan subsidi output bagaimana pemerintah dari sekian subsidi itu mereka akan menggandakan produktivitas," jelasnya. 

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota DPR RI Herman Khaeron, menurut dia ekstensifikasi hanya dapat dilakukan jika adanya ketersediaan lahan yang subur, cukup air, dan dapat ditanami sehingga menjamin keberlangsungannya. 

Ia pun berujar, ekstensifikasi dapat digarap sehingga marketable, di mana benih dan pupuk dapat dipasok dengan mekanisme pasar. 

"Ekstensifikasi bisa marketable, bisa karena market. Misalnya benih, bisa diserahkan ke pasar. Pupuk juga pasar," ucapnya.

Dia pun menjelaskan ekstensifikasi perlu dilakukan karena dengan masifnya pembangunan infrastruktur di era Jokowi telah membuat penurunan yang signifikan kepada ketersediaan lahan pertanian.

"Ekstensifikasi juga dihadapkan ke persoalan gencarnya pembangunan infrastruktur dan Daerah otonomi baru (DOB), sangat memakan lahan pertanian produktif. Karena gak mungkin mereka bangun rumah di atas gunung," ucapnya.

Ia menuturkan, setiap tahunnya Indonesia kehilangan 100.000 hektare hingga 120.000 hektar lahan pertanian produktif. Atau jika diambil dalam kurun waktu 10 tahun telah kehilangan 1,2 juta hektar lahan.

"Harus ada keputusan politik yang tegas mana yang dibolehkan untuk lahan pertanian dan tidak sesuai undang-undang," tuturnya.

Hanya saja, praktik di lapangan, lahan abadi pertanian yang seharusnya tidak boleh diganggu gugat, sesuai undang-undang pertanian, telah diubah menjadi jalan raya dan jalan tol, sehingga kekurangan lahan produktif.

"Harus ada ketegasan politik untuk perluasan lahan. Agar produksi meningkat dan bisa mengimbangi peningkatan konsumsi agar tidak kehilangan kedaulatan pangan," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid