sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Stunting tak sekadar masalah tumbuh anak

Berdasarkan hasil riset kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018, jumlah penderita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 30,8%.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 31 Jan 2019 18:40 WIB
Stunting tak sekadar masalah tumbuh anak

Berdasarkan hasil riset kesehatan (riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018, jumlah penderita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 30,8%. Meski turun dari 37,2% pada 2013, namun angka tersebut masih cukup tinggi dan mengkhawatirkan, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Stunting umumnya terjadi, karena asupan makan yang tak sesuai dengan apa yang dibutuhkan tubuh.

Bahaya stunting

Jika tak segera ditangani, kondisi stunting bisa mengancam bonus demografi Indonesia pada 2030 mendatang. Sebab, stunting dapat menurunkan kualitas hidup anak. Menurut ahli gizi Rita Ramyulis, stunting tak hanya kondisi tubuh pendek pada anak.

“Kalau bicara stunting, kita bicara tentang dua hal, tumbuh dan kembang anak yang tak maksimal. Artinya, tubuh pendek dan IQ yang tidak maksimal. Kalau sudah stunting, tidak bisa diapa-apakan lagi,” kata Rita saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (30/1).

Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Mardani Ali Sera mengatakan, tingginya angka stunting sebagai sebuah bencana.

“Karena stunting membatasi pertumbuhan seorang anak, bukan saja secara fisik, tetapi juga secara sosial dan ekonomi,” kata Mardani saat dihubungi, Kamis (31/1). Stunting, lanjut Mardani, selalu diikuti dengan penurunan daya saing sumber daya manusia (SDM).

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Melihat tawa mereka, sungguh bikin bahagia, ya? :) . Sayangnya, ketika kita melihat kondisi tubuh mereka seutuhnya, kita pasti tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang menderita gizi buruk. . Mereka ini adalah kakak beradik. Sang kakak, yang berbaju ungu, namanya Prisqila. Di sebelahnya adalah Bernabas, sang adik. Prisqila berusia 4 tahun, sedangkan Bernabas 3 tahun. Di foto kedua, ada Mario, adik bungsu Prisqila dan Bernabas. Ya, mereka bertiga adalah anak-anak gizi buruk bersaudara. . Seperti anak-anak seusianya, bercanda, pasti jadi hal yang menyenangkan. Bernabas menggoda Mario, Prisqila ikut tertawa jahil. Tapi, mereka tak bisa tertawa lepas karena tak punya cukup tenaga. Kata ibunda mereka, Mama Yohana, “Kalau Leo, bapak dari anak-anak ini ada kerja angkat barang di pelabuhan atau berlayar cari ikan, hasilnya bisa untuk beli beras. Tapi kalau tidak ada uang kami hanya makan sagu dan ulat sagu,". Kondisi fisik Prisqila bisa dibilang lebih buruk dibanding kedua adiknya. Giginya patah di barisan depan, tulang-tulang lengannya terlihat jelas, tulang kakinya pun serupa. Rambutnya tidak lagi utuh. Wajah Prisqila persis seperti seorang lansia berumur di atas setengah abad. Padahal Prisqila baru empat tahun. . “Prisqila ini susah sekali makan. Sejak di kampung Prisqila tidak mau makan. Sampai di sini juga kalau suster kasih susu Prisqila tidak mau,” keluh Mama Yohana sembari mengunyah pinang. Prisqila masih mengamati tingkah dua bocah adiknya. Bernabas dan Mario terlibat dalam perebutan sekeping biskuit. Sampai akhirnya Mario dibuat menangis lagi oleh Bernabas, kakaknya. . Prisqila, Bernabas, dan Mario, hanyalah tiga dari ratusan anak dengan gizi buruk yang ada di Agats, Papua. Dan mereka masih berada dalam keadaan yang sangat kritis. Yuk, kita bergerak terus untuk mereka. Tunjukkan kasih sayang kita untuk anak-anak Indonesia.. . . #LetsACTIndonesia BNI Syariah 66 0000 3303 Mandiri 127 000 772 1309 atas nama Aksi Cepat Tanggap . . . #JauhDibantuDekatApalagi #ACTforHumanity #AksiCepatTanggap #ACT #Humanity #giziburuk #Asmat #Papua

Sponsored

Sebuah kiriman dibagikan oleh Aksi Cepat Tanggap (@actforhumanity) pada

Sementara itu, data dari Bank Dunia berjudul “Aiming High: Indonesia’s ambition to reduce stunting” menyebutkan, stunting pada anak-anak memberikan beban seumur hidup ketika dewasa.

“Anak-anak dengan kondisi stunting akan menerima pemasukan yang lebih rendah. Di Indonesia hal ini akan berpengaruh pada hilangnya 10,5% dari pendapatan produk domestik bruto,” tulis laporan tersebut.

Masih dari laporan Bank Dunia, stunting juga akan semakin memperburuk kesenjangan ekonomi. Ketimpangan kesempatan saat kelahiran dan di masa awal anak-anak diidentifikasikan sebagai salah satu kunci meningkatnya kesenjangan di Indonesia.

Sedangkan dari hasil penelitian Ty Beal, Alison Tumilowicz, Aang Sutrisna, Doddy Izwardy, dan Lynnette M. Neufeld berjudul “A review of child stunting determinants in Indonesia” yang terbit di Maternal and Child Nutrition, Oktober 2018 menyebut, faktor ekonomi-politik, seperti harga pangan, pekerjaan, aturan perdagangan, turut memengaruhi kondisi stunting.

Selain faktor pangan, Beal dan kawan-kawan dalam penelitiannya menyebutkan, akses ke pelayanan kesehatan, infrastruktur kesehatan, sistem dan aturan pelayanan kesehatan, serta pelayan kesehatan yang berkualifikasi juga turut memengaruhi kondisi stunting pada anak-anak.

Berita Lainnya
×
tekid