sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tantangan ekonomi RI dan dunia pada 2019

Indef memandang sepanjang 2019 ini setidaknya ada beberapa tantangan ekonomi global yang perlu diwaspadai agar ekonomi domestik dapat tumbuh

Soraya Novika
Soraya Novika Kamis, 14 Feb 2019 03:38 WIB
Tantangan ekonomi RI dan dunia pada 2019

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memandang sepanjang 2019 ini setidaknya ada beberapa tantangan ekonomi global yang perlu diwaspadai agar ekonomi domestik dapat tumbuh dengan baik pasca-pemilu.

Salah satunya terkait kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve yang diprediksi masih akan menaikkan bunga acuannya di tahun ini. Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China juga tampaknya akan terus bergulir dan bila tak diwaspadai tentu bakal berdampak pada terkoreksinya perdagangan global.

"Tantangan 2020 nanti akan lebih besar karena tanda-tanda semakin banyak walau belum signifikan. Apalagi mulai dari ancaman krisis dalam negeri AS yaitu masalah government shutdown-nya bakal berdampak pada perlambatan ekonomi sampai 2020," ujar Ekonom Senior Indef Faisal Basri di Hotel Ritz Carlton Pasific Place, SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (13/2). 

Tantangan selanjutnya yang juga harus diwaspadai adalah ancaman perlambatan ekonomi China. 

Sebagaimana diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan PDB China dari 6,6% menjadi 6,2% pada 2019. Hal ini merupakan pertumbuhan ekonomi paling lemah sejak 1990. Otomatis, pertumbuhan ekonomi global akan terkena dampak atas perlambatan tersebut. 

"Pertumbuhan ekonomi 2019 masih lumayan walau tren dunia menurun dibanding 2018. IMF dua kali menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9% menjadi 3,7% dan akhirnya 3,5%," tuturnya.

Faisal menambahkan, tantangan terakhir yang penting untuk diantisipasi adalah kecenderungan harga minyak dunia yang kembali merangkak naik ke level US$60-US$80 per barel. Demikian pula harga komoditas yang masih rentan bergejolak. 

Ekonomi domestik

Sponsored

Sejumlah pihak menyebut jika perekonomian Indonesia mengalami stagnasi alias tidak bergerak. Namun, anggapan itu langsung dibantah oleh Faisal.

Menurutnya, istilah stagnansi tidak tepat untuk menggambarkan keadaan perekonomian Indonesia hingga tahun ini.

"Stagnasi itu mandek, tidak bergerak. Tapi Indonesia itu kecenderungannya (ekonomi) masih naik, kalau stagnasi itu diiringi oleh pengangguran yang meningkat, Indonesia kan tidak," terangnya.

Faisal menjelaskan bahwa ekonomi Indonesia masih berada di level yang cukup baik yakni 5% serta masih menunjukkan peningkatan dari kuartal ke kuartal setiap tahunnya. 

"Memang terkesan masih anteng di 5%, tapi masih ada kenaikan, meskipun fondasinya belum sustain dan perlu diperkuat," jelas dia.

Faisal menyampaikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut dibutuhkan pertumbuhan konsumsi yang tinggi. 

"Karena konsumsi masih menjadi salah satu sektor yang dapat meningkatkan perekonomian," imbuhnya.

Pendapatnya tersebut tidak berbeda jauh dari data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut riset BPS, dari segi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yaitu sebesar 9,08%.

Demikian pula dengan sektor jasa, menurut Faisal saat ini sektor tersebut sudah dominan dalam perekonomian yakni hampir mendekati 60%.

BPS pun menyajikan perkembangan yang sama di mana dari sisi produksi pertumbuhan tertingginya justru dicapai oleh lapangan usaha jasa yakni sebesar 8,99%. 

Berita Lainnya
×
tekid