sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Untung dan buntung bisnis musiman Ramadan di masa pandemi

Coronavirus membuat bisnis musiman hadapi kendala dan peluang sekaligus.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Selasa, 05 Mei 2020 19:18 WIB
Untung dan buntung bisnis musiman Ramadan di masa pandemi

Bagaikan sebuah musim, Ramadan adalah secercah semi yang lahir tatkala kemarau panjang ‘menyelimuti’ bumi. Di bulan ini, jari-jari roda ekonomi seakan tengah diperbarui dan mesin utama pendapatan negara, yakni Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sedang kencang-kencangnya berlari.

Tahun lalu, Bank Indonesia mencatat, uang tunai yang ada di tangan masyarakat menembus angka Rp160 triliun lebih. Sebanyak Rp84 triliun dari jumlah itu khusus berputar di pulau Jawa selama Ramadan-Idul Fitri 1440 Hijriyah lalu. Hal ini tidak lain tidak bukan dipicu oleh tingginya minat berbelanja masyarakat Indonesia saban bulan Ramadan tiba.

Tradisi-tradisi seperti buka puasa bersama, mudik, silaturahmi keluarga dan lain sebagainya menjadi sejumlah alasan mengapa minat berbelanja masyarakat Indonesia semakin tinggi di bulan Ramadan. Daya beli yang tinggi juga tak lepas dari adanya kucuran Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima masyarakat menjelang Lebaran. Dari tradisi ini pulalah, akhirnya muncul fenomena bisnis musiman yang kerap dimanfaatkan para pengusaha dadakan semasa bulan suci.

 

Sejak dahulu hingga sekarang, setiap bulan suci akan banyak orang yang mulai berjualan takjil, busana muslim, kue kering, parsel, dan lain sebagainya. Mereka berharap bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari bisnis yang hanya ramai satu tahun sekali itu.

Wajar, karena memang kue keuntungan dari bisnis-bisnis itu amatlah menggiurkan. Ramadan tahun lalu, beberapa pebisnis makanan ringan, busana muslim dan lain sebagainya mengaku bisa meraup omzet dua kali lipat lebih banyak dari hari-hari biasanya.

Tetapi itu terjadi tahun lalu. Sekarang, pandemi Covid-19 tengah melanda dunia. Hampir semua sendi ekonomi luluh lantak dibuatnya. Banyak karyawan dipecat dari pekerjannya dan perusahaan-perusahaan terpaksa ditutup lantaran tak mampu membayar biaya operasional. Pelaksanaan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) membuat aktivitas perdagangan selain pangan mandeg.

Situasi ini otomatis berdampak pada kemampuan atau daya beli masyarakat untuk membeli produk-produk yang ramai di bulan Ramadan itu. Pertanyaannya sekarang, masihkah bisnis-bisnis musiman itu menjanjikan keuntungan yang menggiurkan?

Sponsored

Alinea.id telah mewawancarai sejumlah pelaku bisnis musiman untuk mencari jawabannya. Salah satunya adalah penjual takjil atau panganan khas untuk berbuka puasa. Daryonah (45 tahun) sudah 8 tahun mencoba peruntungan dengan berjualan takjil saat Ramadan. Padahal, sehari-hari ia merupakan seorang pedagang kudapan kampung di Pasar Pengampuan, Jakarta Selatan.

Hanya jika Ramadan datang, katanya, ia akan pindah berdagang ke Jalan Panjang Kelapa Dua, Jakarta Barat. Lokasi yang memang selalu ramai dengan para pedagang takjil saat Ramadan. Kepada Alinea.id, Daryonah mengaku bahwa berdagang takjil saat ini tidak semenguntungkan tahun-tahun lalu. 

Daryonah menjaga lapak takjil miliknya di daerah Jakarta Barat, Senin (4/5). Alinea.id. Fajar Yusuf Rasdianto.

Omzetnya yang dulu bisa menyentuh Rp2,5 juta-Rp3 juta kini amblas hingga hanya Rp700 ribu per hari.
“Dulu per hari saya sekitar Rp2,5 juta- Rp3 juta. Sekarang melorot banget. Dapat Rp700 ribu doang,” kesahnya, Senin (4/5).

Sepinya pelanggan, sambung Daryonah, disebabkan oleh tidak adanya tradisi berbuka puasa bersama seperti tahun-tahun sebelumnya. Jika biasanya, ada saja karyawan kantor yang memesan dagangannya hingga ratusan buah untuk berbuka puasa bersama, kini pesanan-pesanan dengan jumlah besar itu otomatis tidak ada.

Sebab itu, kini ia mulai mengurangi jumlah dagangannya dari yang biasanya mencapai 1.000 buah per hari, sekarang hanya tinggal 500 buah saja.
“Banyak-banyak juga enggak laku, mas. Nanti malah nombok. Dulu sih 1.000 mah habis. Sekarang, 500 aja masih sisa banyak,” terangnya.

Hal serupa juga dirasakan Khairudin (30 tahun) seorang pedangan timun suri di Pasar Patra, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Udin, begitu ia akrab disapa, mengaku hanya berjualan timun suri saat bulan puasa tiba.

Sehari-harinya, ia merupakan seorang pedagang minuman beralkohol di pasar yang sama. Namun ketika Ramadan tiba, usahanya itu ditutup sementara untuk menghormati orang yang berpuasa.

Menurut Udin, penjualan buah timun suri yang khas sebagai menu berbuka puasa tidaklah seramai dulu. Jika dulu, ia bisa menjual sebanyak 4 ton timun suri dalam seminggu, kini penjualannya merosot drastis hingga hanya 1 ton per pekan. Omzetnya yang tahun lalu sempat mencapai Rp7 juta per pekan pun kini anjlok hingga lebih dari separuhnya, yakni Rp1,5 juta per pekan.

“Enggak tahu juga kenapa, mas. Karena corona-corona (Covid-19) itu kali. Itu masih banyak di truk. Dulu mah bisa Rp7 juta seminggu, sekarang mah Rp1,2 juta-Rp1,5 juta juga udah syukur,” tuturnya saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (3/5).

Saat ini, Udin mengaku bingung bagaimana menjual sisa timun suri yang masih disimpannya. Pasalnya, ia sudah terlanjur membeli timun suri dengan jumlah banyak, bahkan hingga bertruk-truk.

“Bingung juga ini kita. Sekali beli ‘kan banyak, mas, 4 ton. Itu modalnya aja sudah habis Rp4,5 juta. Sekarang mau gimana coba abisinnya?” katanya sedikit bingung.

Terkendala PSBB

Lain lagi cerita pedagang musiman kue kering. Jajanan yang satu ini juga selalu ramai kala Ramadan datang. Orang-orang kerap membeli kue-kue seperti nastar, kastangel, putri salju, kue cokelat dan lain sebagainya untuk disajikan di rumah masing-masing ketika Lebaran tiba.

Tak ayal penjualan kue kering pun selalu meningkat beberapa pekan menjelang hari raya Idul Fitri. Potensi ini dicium oleh Fera Oktaviani (32 tahun) yang akhirnya pun turut mencicipi bisnis ‘manis’ tersebut.

Ibu dua anak ini mulai berjualan kue kering sejak Ramadhan 2014. Namun, bisnis kue kering ini hanya dibuka pada momen-momen tertentu saja, yakni saat Ramadan, Idul Adha, serta Natal dan tahun baru. Sedang di hari-hari lainnya, Fera hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang kini tengah menetap di Bandung, Jawa Barat.

“Jadi, saya jualan kue kering itu cuma tiga kali, mas dalam setahun. Puasa, Idul Adha, sama Natal dan tahun baru,” katanya saat dihubungi Alinea.id, (4/5).

Di tahun-tahun sebelumnya, jelas Fera, berjualan kue kering saat Ramadan selalu menjanjikan keuntungan besar. Dalam sebulan ia bisa menjual sebanyak 400-500 stoples dengan mudah. Dengan harga sekitar Rp150 ribu-Rp125 ribu per stoples, Fera pun bisa mengantongi omzet hingga Rp30 juta-Rp35 juta dalam satu kali Ramadan. Keuntungannya, kata ia, sekitar 90% dari omzet yang didapatkan.

“Waktu itu sih bisa Rp30 jutaan-Rp35 jutaan. Kalau untung ya sekitar 90% nya lah, mas,” terang Fera.

Sayangnya, di tengah situasi pandemi saat ini, penjualan kue kering tidak lagi semudah dahulu. Kesulitannya bukanlah pada permintaan yang menurun, melainkan justru pada cakupan wilayah pengiriman yang kian terbatas.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyulitkan Fera untuk memenuhi orderan yang datang dari luar kota seperti Jakarta, Tangerang, Depok dan beberapa wilayah Jawa Barat lainnya. Padahal, menurutnya, permintaan dari wilayah-wilayah itu juga masih banyak dan bahkan berlimpah.

“Setiap hari sebetulnya ada aja order dari luar kota, tapi kita enggak bisa penuhin ‘kan karena enggak bisa diantar ke luar kota. Jadi kita buat untuk yang di Bandung aja,” katanya.

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Assalamu'alaikum.. ???? . Haaaiii my lovely customer ???? @ALFERACOOKIES OPEN PO IDUL FITRI 2019 . OPEN PO mulai hari ini : RABU, 24 APRIL 2019 CLOSED PO sampai : RABU, 8 MEI 2019 . KUOTA : 150 TOPLES . FORMAT ORDER ???????????? : NAMA : ALAMAT : NO HP : JUMLAH ORDERAN : Kirim ke WA : 081320631787 LINE : AYESHACD . JENIS KUE : #NASTAR #KASTANGEL #PUTRISALJU #BAWANG #PALM #CHOCO . PEMBAYARAN : BCA, MANDIRI, BJB . PENGIRIMAN : BANDUNG - GOSEND JABODETABEK - TRAVEL Untuk pengiriman VIA EKSPEDISI bisa, tapi kami sudah infokan konsekuensinya dari awal. . TERIMAKASIH, @ALFERACOOKIES ???????? . #alferacookies #cookies #cookiesbandung #kuekering #kuekeringbandung #jualkue #jualcookies #jualkuekeringbandung #kuliner #kulinerbandung #kulinerindonesia #jajananbandung #jajananindonesia #cookiespremium #kuekeringlebaran #cookieslebaran #cookiespremium #kuekeringenak #kuekeringjakarta

Sebuah kiriman dibagikan oleh ALFERA COOKIES (@alferacookies) pada

Kebijakan PSBB itu pun tak pelak memaksa Fera untuk turut mengurangi produksi kue keringnya. Tahun ini, ia mengaku hanya akan memproduksi sekitar 180 stoples saja.

Dengan jumlah itu, Fera menaksir bahwa omzet usahanya di Ramadhan tahun ini hanya akan menyentuh Rp20 juta-Rp25 juta dalam sebulan. Artinya, dengan asumsi keuntungan 90% dari omzet seperti yang dikatakannya, maka tahun ini Fera akan mendapatkan laba sekitar Rp16 juta-Rp18 juta per bulan.

“Ya mungkin tahun ini sekitar Rp20-Rp25 juta, mas. Masih untung, tapi ya berkurang saja,” terang ia.

Pasokan minim

Kisah bisnis Ramadan yang berbeda di tahun ini juga dialami Piksi Susanti (24 tahun). Ia memulai berjualan busana muslim sejak Ramadhan 2017 lalu. Sejak awal ia merintis toko secara online lewat akun Instagram @Stuffcisy yang kini sudah memiliki 122.000 pengikut lebih.

Kepada Alinea.id Piksi mengaku bahwa pandemi Covid-19 tidak begitu berpengaruh terhadap permintaan busana muslim di toko daring miliknya. Penjualan busana muslim di Ramadhan tahun ini justru jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.

Jika pada Ramadhan tahun lalu ia hanya mampu menjual sekitar 350-400 potong pakain muslim per hari, maka di Ramadhan tahun ini ia bisa menjual sekitar 400-500 potong per hari. Dengan total penjualan sebanyak itu, Piksi mengaku omzet usahanya saat bulan Ramadan selalu meningkat dua kali lipat lebih banyak dari hari biasanya. Dari Rp80 juta-Rp100 juta per bulan menjadi Rp200 juta-Rp220 juta per bulan.

“Kalau saya sebagai pemilik bisnis sih Alhamdulillah lihatnya tahun ini lebih banyak permintaannya dari tahun lalu, sih. Sekitar 400-500an sekarang, kalau tahun lalu itu sekitar 350-400an” katanya melalui sambungan telepon, (4/5).

Piksi mengira, alasan mengapa permintaan busana muslim di toko daring miliknya tetap ramai adalah lantaran kecenderungan orang yang lebih memilih berbelanja secara daring dibandingkan harus keluar rumah.

Menurutnya, masalah yang timbul dari pandemi Covid-19 nanti bukanlah datang dari sisi permintaan, melainkan justru dari sisi pasokan. Ia kerap kesulitan untuk menyediakan permintaan konsumen lantaran barang dari pemasok belum siap atau belum jadi.

“Permintaannya masih banyak. Susahnya malah dari konveksinya yang kadang belum siap barangnya. Mereka kan juga kurang karyawan karena ada yang dirumahkan,” pungkas ia.

Dampak luar biasa

Para pebisnis musiman Ramadan ini sebagian besar adalah pebisnis skala rumahan atau UMKM yang terkena dampak Covid-19 cukup besar. Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menyatakan dampak Covid-19 kepada perekonomian mempunyai eskalasi yang luar biasa. Berbeda dengan krisis tahun 1998 dan krisis global, krisis kali ini menerjang semua lini bisnis baik besar maupun kecil.

"Bedanya dengan krisis sebelumnya krisis Covid-19 terjadinya pembatasan ruang gerak mobilitas orang dan barang," ungkapnya dalam paparan "Update UMKM : Jurus Bertahan Selama Pandemi Covid-19" melalui streaming Youtube, Selasa (5/5).

Sampai sejauh mana UMKM mampu bertahan, kata dia, bergantung dari kapan Covid-19 sirna dari Indonesia. Ini pun harus menunggu pernyataan resmi pemerintah berdasarkan hasil penyebaran Coronavirus yang melandai.

Sayangnya, berakhirnya Covid-19 di Tanah Air juga masih belum jelas. Apalagi, saat ini muncul cluster-cluster penyebaran Covid-19 yang baru.

Praktisi Pemberdayaan Ekonomi Syariah BI Sigit Iko Sugondo menyatakan setidaknya ada enam jurus yang bisa dilancarkan UMKM untuk menolak bala Covid-19. Dia memaparkan kreativitas dan inovasi harus menjadi kunci, UMKM juga harus memastikan cashflow tetap terjaga dan sehat. "Yang juga penting adalah memahami perubahan perilaku konsumen," ujarnya.

Sigit juga menyarankan UMKM melakukan review terhadap produk yang dijualnya. Ini juga bisa diiringi dengan kesesuaian strategi customer relation dan kanal penjualan. Di masa pandemi, UMKM juga harus mampu menyusun ulang pendapatan dan pangkas anggaran biaya.
Bisnis musiman seperti takjil, kue kering, busana muslim kerap mewarnai suasana Ramadan di Indonesia. Alinea.id/Oky Diaz.

Berita Lainnya
×
tekid