sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Untung-rugi di balik pembatalan kenaikan cukai rokok

Pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok. Hal ini menimbulkan pro-kontra.

Manda Firmansyah Armidis
Manda Firmansyah | Armidis Jumat, 14 Jun 2019 20:25 WIB
Untung-rugi di balik pembatalan kenaikan cukai rokok

Solusi di luar cukai rokok

Menurut Aditia Purnomo, alasan kelesuan industri menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam membatalkan kenaikan cukai rokok. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus realistis. Jika akan menaikkan cukai, harus pula disesuaikan dengan kondisi industri dan kemampuan konsumen.

“Keduanya menjadi penopang utama industri rokok,” tutur Adit.

Pandangan terkait kenaikan cukai rokok di internal pemerintah juga belum padu. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merupakan salah satu kementerian yang menentang kenaikan cukai tersebut.

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mendukung langkah Kemenkeu yang membatalkan kenaikan cukai rokok tahun ini. Ia menilai, pembatalan itu merupakan langkah proteksi pemerintah menjaga industri rokok.

Petani memeriksa tanaman tembakau yang diserang hama ulat di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (14/6). /Antara Foto.

Abdul mengatakan, jika cukai naik, maka semua sektor akan terkena imbasnya. Terutama petani tembakau dan rantai distribusi lain yang terkait dengan industri rokok.

"Kalau cukai naik, harga akan naik. Dampaknya daya beli juga turun," kata Abdul saat dihubungi, Kamis (13/6).

Sponsored

Abdul menjelaskan, sebenarnya ada peluang lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga pendapatan negara, ketimbang menaikkan cukai rokok. Caranya, dengan menggenjot produksi rokok. Abdul melihat, tiga tahun belakangan produksi rokok menurun.

Lebih lanjut, menurutnya, cukai yang stabil sangat membantu serapan tembakau petani dan industri juga akan meningkat. Dengan langkah demikian, maka komponen yang berkaitan dengan industri rokok juga akan mendapat dampak yang positif.

“Bisa saja naik (pendapatan negara). Asal produksinya lebih besar dari tahun kemarin,” ujarnya.

Seandainya cukai rokok naik, Abdul menyarankan kenaikan itu mempertimbangkan pula daya beli dan dampak negatif terhadap para petani. Pihak Kemenperin, kata dia, tidak menutup pintu jika ada kenaikan, asal masih dalam batas yang wajar.

"Kita tidak 100% menolak kenaikan, tapi kalau pun naik angkanya tidak melampaui angka inflasi," ucapnya.

Ancaman kesehatan masyarakat

Sebetulnya, posisi pemerintah pun sangat dilematis. Di satu sisi, kenaikan cukai rokok akan meningkatkan pendapatan negara. Namun, di sisi lain, rokok harus dikendalikan karena berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 melaporkan, penyakit katastropik, seperti kanker, strok, ginjal, dan diabetes melitus—yang salah satunya disebabkan karena konsumsi dan paparan asap rokok, meningkat ketimbang Riskesdas 2013. Sementara itu, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang rendah dan kepatuhan membayar yang juga rendah membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit.

Menanggapi hal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, penyakit yang paling banyak ditanggung BPJS Kesehatan adalah jantung. Penyakit ini banyak disebabkan karena rokok.

Oleh karena itu, Timboel mendorong agar cukai rokok juga menanggung akibat yang disebabkan dari rokok. Menurutnya, selama ini pemerintah juga masih setengah hati mengalokasikan seluruh cukai rokok melalui pajak untuk menanggung pelayanan kesehatan.

Pemerintah berdalih mengalokasikan cukai rokok melalui pajak ke pos anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, sayangnya tidak spesifik untuk JKN. Padahal, secara normatif, cukai rokok memang diperuntukkan bagi korban dari rokok melalui JKN.

"Seharusnya 75% dari 50% pajak rokok yang diterima mesti dialokasi ke JKN. Tapi selama ini sangat umum, misalnya hitungan operasional juga masuk, bukan semata-mata untuk JKN saja, tapi item lain dalam kesehatan juga dimasukkan," kata Timboel ketika dihubungi, Jumat (14/6).

Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari sepakat cukai rokok naik secara berkala. Menurut dia, tujuannya agar fungsi pengendalian rokok bisa berjalan efektif. Ia menyayangkan prevalensi anak-anak yang merokok di usia 10 hingga 18 tahun, yang mengalami peningkatan mencapai 9,1% dari total populasi penduduk Indonesia.

"Persentase 9,1% itu nyaris 8 juta anak merokok. Artinya, sama dengan Gelora Bung Karno yang diisi penuh anak-anak yang merokok," ujar Lisda saat dihubungi, Jumat (14/6).

Sementara itu, survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) menyebut, tren anak merokok meningkat signifikan, dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016.

Masalah bahaya kesehatan dan tren perokok anak ini, sebenarnya juga mendapat perhatian Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pada 10 Juni 2019, Kementerian Kesehatan melayangkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), meminta pemblokiran iklan rokok di internet.

Menurut Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dalam rilis yang diterima Alinea.id, Jumat (14/6) menyebutkan, tren perokok remaja dan anak meningkat seiring masifnya iklan rokok yang ada di berbagai media, termasuk internet. Nila menilai, tak ada proteksi yang maksimal untuk menertibkan iklan rokok di internet.

"Kementerian Kesehatan meyakini bahwa Kemkominfo memiliki kesepahaman yang sama dengan Kementerian Kesehatan dalam hal mendukung pembangunan kesehatan masyarakat," kata Nila.

Sementara itu, Lisda percaya, cukai rokok bisa membatasi akses anak terhadap rokok. Sebab, cukai akan membuat harga rokok menjadi mahal, dan anak-anak tak sanggup membelinya.

"Kita semua sepakat tidak ingin anak kita merokok, tak terkecuali warga NU. Jika sepakat, maka seharusnya mendukung cukai rokok naik," tutur Lisda.

Fungsi cukai rokok, kata Lisda, bukan sebagai sumber penerimaan negara. Melainkan pengendalian konsumsi, terutama untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Di sisi lain, Lisda pun mengingatkan dampak rokok bukan saja pada kesehatan anak, tetapi juga pada tumbuh kembangnya.

"Kalau diterapkan cukai sebesar 57%, maka perkiraan harganya nyaris Rp40.000. Tapi, sekarang belum sampai 57%, masih sekitar 40 %," tutur Lisda.

Lisda menyesalkan pembatalan kenaikan cukai rokok. Menurutnya, hal itu tak sejalan dengan rencana pengendalian tembakau yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Rancangan pembangunan jangka menengah 2019 ini ditargetkan menurunkan perokok anak di Indonesia hingga 5,4 %. Jadi, apabila pemerintah tidak menaikkan cukai, maka menciptakan generasi masa depan yang sehat akan gagal total," ujar Lisda.

Riset : Fultri Sri Ratu Handayani

Berita Lainnya
×
tekid