Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan komitmennya dalam menjaga kedaulatan wilayah laut Indonesia melalui pembahasan mendalam terkait penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Parlemen memanggil sejumlah pakar hubungan internasional guna memperkuat perspektif strategis Indonesia dalam penyelesaian sengketa wilayah laut.
Secara khusus, rapat membahas pengesahan persetujuan (ratifikasi) antara Indonesia-Vietnam tentang penetapan batas ZEE. Adapun pakar yang hadir yakni Hikmahanto Juwana, Dafri Agussalim, dan M. Riza Widyarsa.
Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin, membuka diskusi dengan menyoroti kompleksitas perbedaan prinsip antara negara dalam menetapkan batas maritim, seperti pendekatan single line versus double line. Menurutnya, meski sejumlah perjanjian telah diratifikasi, perlu kepastian penyelesaian tersebut benar-benar menjamin stabilitas dan kepentingan nasional jangka panjang.
“Apakah ratifikasi ini benar-benar menyelesaikan persoalan antarnegara, terutama dengan masih adanya perbedaan prinsip yang signifikan dalam penentuan batas wilayah? Ini penting untuk kita bahas secara komprehensif,” ujarnya dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (23/4),
Sementara itu, anggota Komisi I lainnya, TB Hasanuddin optimistis dengan kesepakatan antara Indonesia dan Vietnam mengenai batas ZEE. Ia menilai perjanjian ini sebagai tonggak penting, terutama di tengah ketegangan di Laut Cina Selatan yang melibatkan klaim ekspansif dan tidak sah dari Tiongkok.
“Bagi kami ini langkah positif dan strategis. Ketika kita agak bingung dengan sikap beberapa negara terhadap konsep seperti nine dash line (sembilan garis putus-putus), kesepakatan ini memberikan kejelasan posisi Indonesia. Ini menjadi sinyal kuat Indonesia tegas menjaga hak maritimnya,” tegas Hasanuddin dalam kesempatan serupa.
Kesepakatan antara Jakarta dan Hanoi dijadwalkan difinalisasi secara resmi pada tahun 2025. Batas ZEE yang disepakati merupakan wilayah yang selama ini menjadi subjek klaim sepihak oleh Tiongkok, termasuk dalam peta sembilan garis putus-putus yang ditolak oleh hukum internasional.
Melalui pembahasan ini, DPR menunjukkan perannya bukan hanya sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai penjaga kepentingan geopolitik nasional. Komisi I DPR mendorong pendekatan diplomatik yang kuat, berbasis hukum internasional, serta kerja sama regional untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika kawasan Indo-Pasifik.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi besar Indonesia dalam memperkuat ketahanan maritim, melindungi kekayaan sumber daya laut, serta menegaskan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat di kawasan yang strategis dan penuh tantangan geopolitik.