sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menguji klaim Cak Imin vs Luhut soal hilirisasi nikel, siapa yang benar?

Menko Marves, Luhut Pandjaitan, geram dengan pernyataan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) soal hilirisasi nikel ugal-ugalan.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Minggu, 28 Jan 2024 19:10 WIB
Menguji klaim Cak Imin vs Luhut soal hilirisasi nikel, siapa yang benar?

Pernyataan calon wakil presiden (cawapres) nomor 1, Muhaimin Iskandar, tentang hilirisasi pertambangan, khususnya nikel, dilakukan secara ugal-ugalan memantik kegeraman Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan. Ia bahkan mengajak Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengecek langsung ke lapangan.

"Saya ingin sebenarnya itu mengundang Muhaimin ke Weda Bay [dan] ke Morowali untuk lihat sendiri, seeing is believing," kata Luhut melalui akun Instagram @luhut.pandjaitan, Kamis (25/1).

Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, dan Morowali, Sulawesi Tengah, adalah beberapa daerah yang menjadi sentra hilirisasi nikel di Tanah Air. Ada PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berdiri di atas sekitar 6.000 ha di Weda Bay, sedangkan di Morowali berdiri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Bukan membantah argumen Muhaimin dengan data ataupun fakta, Luhut justru terlihat ad hominem. Ini tampak dari pernyataannya yang menganggap ucapan hilirisasi secara ugal-ugalan dilontarkan guna memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

"Daripada Anda bohong pada publik, yang menurut saya, itu satu karakter yang enggak bagus untuk mencapai suatu posisi. Anda membohongi publik dengan memberikan informasi seperti tadi," kritiknya.

Gayung bersambut, kata berjawab. Muhaimin menyatakan kesiapannya diajak meninjau proses hilirisasi tambang di berbagai daerah.

"Saya diajak ke sana sama Pak Luhut, ke Morowali, lihat tambang. Ya, siap saja. Kalau perlu, kita cek masyarakat di sekitarnya dilibatkan atau tidak. Kemudian, apakah pertumbuhan ekonomi membawa kesejahteraan masyarakat sekitar," tuturnya saat Live TikTok, Kamis malam.

"Saya sangat senang kalau diajak Pak Luhut ke sana," imbuh Cak Imin, sapaannya, menegaskan.

Sponsored

Omong kosong Luhut

Lantas, bagaimana fakta sesungguhnya di daerah-daerah yang menjadi sentra hilirisasi? Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menyampaikan, apa yang disampaikan Luhut adalah bualan.

"Klaim Luhut itu omong kosong. Dia mengabaikan fakta perampasan lahan, pencemaran lingkungan, dan kekerasan hingga pelanggaran HAM terhadap warga setempat," tegasnya kepada Alinea.id.

Menurutnya, Luhut hanya peduli pendapatan negara, tetapi abai dengan kemiskinan warga setempat. Apalagi, mayoritas hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah hanya untuk menunjang kebutuhan industri di China. "Sementara, warga semakin menderita dan jatuh miskin."

Penderitaan masyarakat terdampak hilirisasi, salah satunya, tampak dari kian buruknya kualitas air. Berdasarkan hasil pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara, ungkap Melky, terindikasi tercemar logam berat akibat pertambangan dan pengolahan bijih nikel.

"Kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu. Padahal, sejumlah lokasi itu merupakan tempat pemijahan hingga pembesaran ikan dan juga jalur migrasi ikan tuna. Populasi ikan pun terancam punah jika tata kelola pertambangan tidak diperbaiki," terangnya.

Kondisi Sungai Sagea tercemar dan menjadi kuning kecokelat-cokelatan akibat hilirisasi tambang. Dokumentasi Save Sagea

Picu krisis multidimensi

Koordinator Save Sagea, Adlun Fiqri, menguatkan apa yang disampaikan Melky. Kepada Alinea.id, ia menerangkan, kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di Halmahera Tengah memicu krisis multidimensi. 

Kesehatan, misalnya. Jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) melonjak signifikan akibat kualitas udara memburuk dari kehadiran smelter hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

"Lima tahun terakhir ini, kan, kalau dari kesehatan, masyarakat terganggu sama udara kotor dari smelter, PLTU, pembongkaran hutan. Beberapa kampung di lingkar industri parah sekali debunya, polusinya. Jadi, sering sekali penyakit ISPA yang diderita masyarakat tinggi," bebernya.

Merujuk data Puskesmas Lelilef, salah satu fasilitas kesehatan (faskes) yang berada di lingkar kawasan tambang di Weda, terdapat 351 kasus ISPA pada 2018. Lalu, naik menjadi 852 kasus pada 2019, turun ke 434 kasus pada 2020, naik lagi jadi 729 kasus pada 2021, dan 1.100 kasus pada 2022.

Di Desa Sagea, yang juga terdampak pertambangan, berdasarkan data Puskesmas Sagea, penderita ISPA pun melonjak dalam beberapa tahun. Perinciannya, 282 kasus pada 2019, 291 kasus pada 2020, 420 kasus pada 2021, dan 644 kasus pada 2022.

Kultur dan sumber kehidupan juga terganggu seiring kian rusaknya kualitas air Sungai Sagea akibat pertambangan dan deforestasi di hulu. Adlun menyampaikan, Sungai Sagea sejak dahulu berperan vital bagi kehidupan masyarakat karena digunakan untuk minum dan aktivitas lain bahkan jalur ritual oleh leluhur.

"Sungainya jadi rusak karena itu, ketika hujan besar tiba, airnya menguning dan pesisir Teluk Weda pasti [menjadi] kuning," ucapnya. "Juga ada Sungai Kobe di Desa Lelilef, Desa Kobe, kemudian Desa Lukulamo. Ini [juga] hancur. Dulu airnya jernih, orang pada mencuci [baju di situ], sekarang [tidak bisa karena airnya] kuning."

Sungai Kobe tercemar akibat adanya aktivitas pertambangan oleh PT Weda Bay Nickel, PT Tekindo Energi, dan PT Halmahera Sukses Mineral. Dokumentasi Save Sagea

Dampak lainnya, kini lebih sering banjir kala hujan besar. Airnya pun menjadi keruh. "Jadi, semua sungai-sungai besar rusak karena di hulu sudah ditambang," tegasnya.

Mata pencarian warga pun remuk, salah satunya sektor pariwisata alam yang dikembangkan beberapa tahun terakhir dan menjadi primadona di Maluku Utara. Pangkalnya, usaha tersebut sangat bergantung dengan kondisi air sungai.

Kehadiran hilirisasi pertambangan juga memiliki dampak sosial serius. Konflik horizontal dan kriminalitas, contohnya, melonjak seiring meningkatnya jumlah penduduk selain didorong polarisasi oleh perusahan.

"Sekarang puluhan ribu orang datang di wilayah kami. Nah, terus dari berbagai macam suku. Kadang itu dari luar perusahaan ada perkelahian antarkelompok [atau] antarsuku ini dengan suku ini. Ini sering terjadi. Kemudian, tingkat kriminalitas tinggi sekali karena sesak. Misalnya, di Desa Lelilef atau di Desa Gemaf sekarang terjadi perkelahian antarsuku karena sesak sekali," tuturnya. "Belum lagi dampak-dampak kriminal lain, kayak narkoba, prostitusi, kemudian kekerasan seksual. [Itu semua] meningkat sekali di kawasan lingkar tambang."

"Belum lagi perusahaan membangun polarisasi di tengah masyarakat. Ada yang mereka beli lahan, bikin konflik. Ada masyarakat yang setuju, ada yang tidak setuju. Ini bikin segregasi di tengah masyarakat," sambungnya.

Adlun mengakui bahwa hilirisasi meningkatkan perekonomian. Namun, lebih banyak dinikmati pendatang daripada masyarakat sekitar. Sebab, Halmahera Tengah masih menjadi daerah termiskin di Maluku Utara.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekalipun ada lebih dari 60 izin usaha pertambangan (IUP) seluas 142.964,79 ha, tingkat kemiskinan di Halmahera Tengah pada 2022 mencapai 12% atau hanya lebih baik daripada Halmahera Timur (13,14%). Namun, jauh di bawah rata-rata Maluku Utara (6,23%).

Data penduduk miskin di Maluku Utara. Sumber: BPS

"Jadi, sebenarnya proyek hilirisasi lebih banyak menguntungkan orang-orang dari luar," ujarnya. "Memang betul [hilirisasi] ada dampak ekonominya, tapi yang kami pikirkan, kan, dampak ekologi. Ini yang paling terpenting, kan?"

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitulah kondisi masyarakat Halmahera Tengah yang hidup di tengah kepungan tambang atas nama proyek strategis nasional (PSN). Selain tidak mendapatkan manfaat langsung dari kehadiran berbagai perusahaan tambang, mereka justru merugi berlipat ganda.

Dari segi pengeluaran, misalnya, sekarang setidaknya setiap penduduk Desa Gemaf dan Lelilef harus keluar uang untuk membeli masker lantaran debu pekat "menggauli" udara bersih. "Tiap hari merogoh Rp5.000 untuk masker," ucapnya. 

Demikian pula dengan pendapatan dari sektor pariwisata yang sangat bergantung dengan kekuatan "magis" alam, utamanya air sungai yang bening dan karst yang sehat. Ketika air keruh permanen terimbas limbah tambang, usaha terancam tanpa pemasukan ke depannya.

"Pendapatan [dari pariwisata] biasanya pada weekend mencapai puluhan juta. Kalau libur panjang, seperti tahun baru atau Idulfitri, bisa sampai Rp100 juta-Rp200 juta pendapatan dari retribusi, penyewaan wahana. Itu belum perputaran uang dari warung-warung masyarakat. Nah, ketika air keruh setiap hujan, ... kerugiannya kalau dikalkulasi secara ekonomi miliaran," ulasnya.

Kondisi Sungai Sagea saat normal atau tidak tercemar pertambangan. Dokumentasi Save Sagea

Adlun melanjutkan, ada komunikasi antara pemerintah daerah (pemda), pemerintah desa (pemda), dan lain sebagainya dengan pihak korporasi tambang tentang upaya menanggulangi dampak lingkungan. Namun, program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang digulirkan tidak sebanding dengan kerugian yang muncul.

"Itu tidak bisa membayar atau menggantikan kerugian-kerugian kerusakan alam yang terjadi di sini. Itu nilainya [program CSR] tidak seberapa," keluhnya.

Alternatif membangun Halmahera Tengah

Lebih jauh, Adlun menilai, sejatinya ada solusi alternatif yang bisa dilakukan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian Halmahera Tengah tanpa "berpangku tangan" dengan hilirisasi tambang, khususnya nikel. Yakni, mengarusutamakan sendi-sendi perekonomian berkelanjutan (sustainable), macam wisata alam, perikanan, dan pertanian.

"Ini yang paling berkelanjutan dan bisa menopang ekonomi masyarakat sepanjang waktu. Di kawasan kami, misal, ada karst, hutan yang vegetasinya masih rapat, banyak hewan-hewan endemik. Ini, kan, kalau carbon trading masih bisa dan ini berkelanjutan dibanding pertambangan yang harus menebang pohon, clearence [lahan], dan lain-lain," urainya.

Sialnya, PT IWIP justru mengusulkan agar kawasannya dalam draf Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera naik menjadi 15.000 ha atau lebih dua kali lipat daripada kondisi saat ini. Nahasnya, pengajuan tersebut tanpa pelibatan masyarakat sekitar Teluk Weda, yang sebenarnya mendorong upaya perlindungan terhadap seluruh kawasan karst setempat.

"Di RTRW yang baru, kami 'diloncati'. Jadi, kawasan kami diusulkan menjadi kawasan lindung geolologi, tapi deliniasinya sangat kecil. Ini belum menjamin tingkat kerusakan lingkungan karena yang kami butuh perlindungan daerah aliran sungai, sementara yang mau dilindungi di RTRW yang sedikit kawasan karst. Belum lagi daerah aliran sungai yang di kawasan karst banyak dari kawasan nonkarst, yang notabene sekarang itu dibebankan izin usaha pertambangan semua. Pemilik kontrak karya terbesar, kan, [PT] Weda Bay Nickel. Itu juga masuk di daerah aliran Sungai Sagea, terutama di hulu," bebernya.

Sejauh ini, upaya perlawanan yang bisa dilakukan masyarakat Halmahera Tengah terdampak hilirisasi nikel hanya ala kadarnya karena keterbatasan sumber daya. Melakukan upaya hukum untuk menyelamatkan ruang hidup dari perusakan bentang alam tidak bisa dilakukan hingga kini.

"Belum ada yang menggugat secara hukum karena masyarakat memiliki keterbatasan-keterbatasan. Saat ini, kampung yang sangat resisten di Desa Sagea. Sampai sekarang, kami masih pertahankan wilayah yang ada di sini dari usaha pertambangan. Jadi, kemarin kami ribut-ribut soal perlindungan kawasan karst, kawasan daerah aliran sungai tidak boleh ditambang sama sekali karena ini yang sedikit di kawasan Teluk Weda yang tersisa," tandas Adlan.

Berita Lainnya
×
tekid