sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Akhir perang Rusia-Ukraina: Mungkinkah Kiev menaklukkan pasukan Putin?

Meski mulai kalah di berbagai medan tempur, Vladimir Putin tak juga mau menarik pasukannya dari Ukraina.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Selasa, 28 Feb 2023 18:19 WIB
Akhir perang Rusia-Ukraina: Mungkinkah Kiev menaklukkan pasukan Putin?

Beberapa jam menjelang "perayaan" setahun konflik antara Rusia dan Ukraina, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendadak menggelar sidang darurat. Dihadiri perwakilan dari 180 negara, sidang itu menyepakati sebuah resolusi penting. Muatan utamanya menuntut Rusia segera menarik pasukan dari Ukraina. 

Diberi nama "UN Charter Principles Underlying a Comprehensive, Just and Lasting Peace in Ukraine", sebanyak 141 negara--termasuk Indonesia--mendukung resolusi itu. Hanya tujuh negara yang menolak. Selain Rusia, penolakan datang dari Korea Utara, Eritrea, Mali, Nikaragua, Suriah, dan Belarusia. Sisanya abstain. 

"Semakin lama pertempuran berlangsung, semakin sulit pekerjaan (mencari solusi damai) ini. Kita tidak punya banyak waktu," kata Sekjen PBB  Antonio Guterres saat membuka sidang di markas PBB, New York, Amerika Serikat (AS), Kamis (22/2) lalu. 

Selain gencatan senjata, resolusi itu juga mendorong dibentuknya tim investigasi untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang yang terjadi dalam konflik tersebut. Sebelumnya, Ukraina menyebut militer Rusia telah melakukan setidaknya 65 ribu kejahatan sepanjang perang. 

"Komunitas internasional tidak boleh tutup mata terhadap eksekusi, penyiksaan, kekerasan, seksual, penculikan, hingga deportasi anak-anak dalam perang," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Prancis, Catherine Colonna. 

Perang Rusia-Ukraina pecah pada 24 Februari 2022. Hingga kini, diperkirakan sudah ada lebih dari 150 ribu prajurit yang tewas dari kedua belah pihak. Perang juga menyebabkan sebanyak 8 ribu warga sipil tewas, 487 di antaranya anak-anak. Sekitar 8 juta warga Ukraina terpaksa mengungsi karena terimbas konflik. 

Pada pertengahan 2022, militer Rusia sempat menguasai sekitar 28% teritori Ukraina. Namun, Ukraina--dibantu persenjataan dari AS dan sejumlah negara Eropa--sukses merebut kembali sejumlah kota. Teritori Ukraina yang dikuasai Rusia diperkirakan hanya tinggal18%, termasuk di antaranya sejumlah area di Luhansk, Donetsk, Mariupol, Melitopol, dan Zaporizhia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky optimistis bisa membalikkan keadaan dan mengusir militer Rusia dari Ukraina. "Kita telah bertahan. Kita tidak kalah. Dan, kita akan melakukan apa pun untuk meraih kemenangan tahun ini," ujar Zelensky dalam salah satu unggahan di Twitter. 

Sponsored

Mulanya ragu-ragu, AS, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya kini terang-terangan mendukung Ukraina dalam konflik. Sepanjang perang, AS dan Uni Eropa telah memberlakukan beragam sanksi ekonomi dan politik bagi Rusia. Sanksi-sanksi itu telah memukul perekonomian Rusia. 

"Setahun berlalu, Kiev bisa bertahan. Ukraina tetap berdiri. Demokratsi tetap tegak. Amerika dan dunia berdiri bersama Ukraina," kata Presiden AS Joe Biden. 

Tak hanya digempur sanksi, kinerja militer Rusia pun melempem. Meski menang jumlah pasukan dan persenjataan, Rusia kerap mampu dipukul mundur militer Ukraina di berbagai kota. Belakangan, Rusia bahkan rutin hanya mengandalkan serangan bom untuk mematahkan perlawanan Ukraina. 

Meski begitu, Presiden Rusia Vladimir Putin menolak menyerah. Akhir tahun lalu, ia memberlakukan wajib militer untuk mendongkrak jumlah pasukan Rusia. Putin juga rutin mengumbar ancaman bakal mengerahkan senjata nuklir jika AS dan negara-negara lainnya ikut campur terlalu jauh dalam perang. 

Dalam sebuah pidato baru-baru ini, Putin berjanji akan terus melanjutkan perang di Ukraina. Ia menyebut AS dan negara-negara Eropa mendukung pemerintahan neo-Nazi di Ukraina dan mengklaim masa depan bangsa Rusia tengah terancam. 

"Kami sedang menjalankan tugas melindungi kehidupan rakyat, tanah air kita. Dan, tujuan dari Barat adalah kekuasaan yang tak terbatas," kata eks agen badan intelijen Uni Soviet itu. 

 Sebuah ledakan menghancurkan sisi gedung apartemen di Mariupol, Ukraina, Maret 2022. /Foto Instagram @zelensky_official

Bagaimana perang berakhir?

Lantas, benarkan perang bakal segera berakhir? Hens Goeman, sejarawan dari University of Rochester, pesimistis konflik antara Rusia dan Ukraina bakal berakhir dalam waktu dekat. Ia merinci sejumlah faktor yang membuat Putin kemungkinan menolak memulangkan pasukannya dari Ukraina. 

Salah satunya, kata Goeman, ialah tidak adanya "keuntungan" bagi Rusia untuk menandatangani kesepakatan damai. Rusia, misalnya, bisa menerima gencatan senjata dengan menguasai sejumlah wilayah di Ukraina. Di lain sisi, Ukraina bisa melunak asalkan keamanan wilayahnya yang tersisa bisa terjamin. 

"Dan kelompok negara yang bisa menjamin itu hanya NATO (North Atlantic Treaty Organization). Itu (eksistensi NATO) adalah alasan Putin berperang. Rusia menolak Ukraina didukung atau bahkan bergabung dengan NATO," jelas Goeman seperti dikutip dari CNN

Putin, lanjut Goeman, berkepentingan untuk memastikan perang terus berlanjut hingga Rusia menang. Putin butuh kemenangan atau setidaknya klaim kemenangan dalam perang itu untuk mengamankan posisinya sebagai penguasa Rusia di tengah menguatnya protes publik. Kegagalan bisa berarti kematian.

"Dia akan dihukum karena performanya. Dia bisa dipenjara, diasingkan, atau bahkan terjatuh dari jendela di sebuah gedung di Kremlin. Dia akan dibunuh. Saya mengasumsikan itu yang akan terjadi," jelas Goeman. 

Dalam "New Commander, New Goals for Russia in Ukraine" yang terbit di Carniege, Vladimir Frolov memprediksi Rusia kemungkinan bakal melunak. Tak lagi bermimpi untuk mengganti rezim di Ukraina, Putin bakal bersedia bernegosiasi. Syaratnya, Rusia diperkenankan mempertahankan koridor ke Semenanjung Krimea yang dikuasai sejak 2014.

Indikasi itu, kata Frolov, terlihat dari penunjukan Jenderal Sergei Surovikin sebagai komandan baru operasi khusus militer Rusia di Ukraina, Oktober lalu. Dikenal dengan sebutan "Jenderal Kiamat", Surovikin ditugasi Putin untuk membangun pertahanan di semua medan tempur jelang musim dingin di Eropa. 

"Moskow butuh jeda yang panjang untuk membangun kembali pasukan darat yang siap bertempur. Mobilisasi parsial, sebagaimana disebut Putin, dibutuhkan untuk mempertahankan garis perbatasan sepanjang seribu kilometer," jelas Frolov. 

Ketimbang saat awal perang, menurut Frolov, Rusia bakal kesulitan menaklukkan Ukraina. Pasalnya, pasukan Ukraina kini jauh lebih tangguh setelah disokong senjata dan gelontoran dana dari AS, Inggris, dan negara-negara anggota NATO.

Di antara lainnya, opsi yang tersisa bagi Rusia ialah mempertahankan kota-kota di timur Ukraina yang menghubungkan daratan Rusia ke Krimea, semisal Mariupol, Berdyansk, Melitopol, dan Nova Kakhovka. Tidak tertutup kemungkinan Rusia bakal melepas kota-kota di barat Ukraina, semisal Kherson, Lysychansk, dan Sievierodonetsk. 

"Pada target minimum, operasi khusus militer Rusia ini harus sukses mengakuisisi koridor darat ke Krimea, sementara area-area perbatasan lainnya bisa kembali seperti sedia kala sebelum (invasi) 24 Februari," jelas Frolov. 

Seth Jones, Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) sepakat militer Rusia tak akan mundur selama Putin masih berkuasa di Kremlin. Ia menyebut Putin telah bertaruh terlalu banyak dalam perang tersebut.

Paling banter, menurut Jones, konflik berakhir sementara karena gencatan senjata.  Namun, kesepakatan damai dengan tanpa penarikan pasukan militer Rusia dari seluruh teritori Ukraina bakal sulit diterima pihak Ukraina.

"Bakal jadi bunuh diri politik bagi siapa pun pemimpin Kiev untuk melepas sebagian wilayah Ukraina," ujar Jones seperti dikutip dari Bussiness Insider. 

 Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri) bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (kanan) di Kiev, Ukraina, awal Februari 2023. /Foto Instagram @zelensky_official

Kemenangan bagi Ukraina? 

Sejumlah pakar lainnya menjagokan Ukraina. Dalam sebuah komentar yang tayang di Lowly Institute, Bermet Talant menyebut Rusia sudah terjepit. Selain di medan tempur, Rusia juga kalah di ranah geopolitik dan perang opini global. 

"Isolasi telah memaksa Kremlin untuk mati-matian berdiplomasi di Asia dan Afrika. Rusia juga menyaksikan eksodus besar-besaran bisnis asing dan warganya. Diperkirakan 500 ribu warga meninggalkan Rusia sejak perang dimulai," tulis Talant. 

Rusia, kata Talant, juga tak mampu menekan peran NATO pada batas minimum. Itu terlihat dari banjir dukungan dari negara-negara NATO terhadap Ukraina. Teranyar, Swedia dan Finlandia--sebelumnya bersikap netral--bergabung dalam aliansi negara penyokong Ukraina. 

"Uni Eropa juga telah menghentikan impor minyak dan gas dari Rusia. Serangkaian sanksi dari dunia internasional ini membuat Rusia menjadi negara pesakitan," jelas Talant. 

Di lain sisi, Putin juga bakal sulit mengelak dari kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan pasukannya di Ukraina. Terlebih, International Criminal Court telah meluncurkan investigasi yang disokong oleh lebih dari 40 negara di Eropa. 

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Mason Clark, analis senior dari Institute for the Study of War, berpendapat Ukraina bisa menang di medan tempur. Meski kalah jumlah pasukan, Ukraina unggul dari segi modernisasi senjata dan budget. Selain itu, prajurit Ukraina juga jauh lebih termotivasi ketimbang pasukan Rusia. 

"Pengiriman sistem pertahanan yang jauh lebih canggih, terutama HIMARS, memungkinkan serangan balik Ukraina di Kherson dan Kharkiv. Bersatunya negara-negara Barat untuk mendukung Ukraina benar-benar mengagetkan dan Putin keliru meremehkan hal ini," ujar Clark seperti dikutip dari TIME

HIMARS singkatan dari high mobility artillery rocket system. Agustus lalu, Zelensky menyebut penerjutan unit-unit peluncur roket ringan pabrikan Lockheed Marteen itu mampu mengubah jalannya perang di sejumlah kota di timur Ukraina. 

Lebih jauh, Clark menyebut keunggulan Ukraina pada aspek persenjataan bisa berujung kemenangan. Syaratnya, AS dan NATO tak menunda pengiriman senjata baru dan memastikan suplai amunisi bagi pasukan Ukraina. Menurut dia, Ukraina selama ini tak bisa menggelar serangan balik besar-besaran karena khawatir amunisi mereka habis di tengah pertempuran.

"Setahun berjalan, Ukraina butuh lebih banyak dukungan militer yang tepat waktu. Meningkatkan kemampuan Ukraina mengalahkan Rusia krusial bagi keamanan Ukraina, kesejahteraan Eropa, dan stabilitas global. Ukraina bisa memenangkan perang ini, tetapi momentum menjadi faktor kunci," kata Clark.

 

Berita Lainnya
×
tekid