AI membantu mendeteksi disleksia pada anak
Membaca dimulai dengan bahasa lisan. Pada anak usia dini, berbicara dimulai dengan membuat bunyi-bunyian sederhana. Saat seseorang mempelajari lebih banyak bunyi, seseorang juga belajar cara menggunakan bunyi untuk membentuk kata, frasa, dan kalimat. Belajar membaca melibatkan bunyi dengan berbagai simbol tertulis atau huruf.
Di sini disleksia berperan. Cleveland Clinic menyebut, disleksia mengganggu cara otak seseorang menggunakan bahasa lisan untuk menafsirkan tulisan. Otak mengalami kesulitan memproses apa yang kita baca, terutama memecah kata menjadi bunyi atau menghubungkan huruf dengan bunyi saat membaca.
Disleksia memengaruhi perlambatan membaca karena seseorang kesulitan memproses dan memahami kata-kata, kesulitan dalam menulis dan mengeja, menyimpan kata dan makna dalam ingatan, serta kesulitan membentuk kalimat untuk mengomunikasikan ide yang lebih kompleks.
Penyebab pasti disleksia belum jelas. Namun, hal-hal seperti genetika serta gangguan pada perkembangan dan fungsi otak diduga menjadi penyebabnya. Kebanyakan orang mengetahui mereka menderita disleksia saat masih kanak-kanak dan biasanya akan menjadi masalah seumur hidup.
Disleksia kini dapat dideteksi sejak dini dengan bantuan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Bukan cuma disleksia, penelitian ini pun menyoroti masalah disgrafia—kondisi neurologis yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan menulis sesuai tingkat usianya.
Para peneliti dari Universitas Buffalo menerbitkan riset mereka dalam jurnal SN Computer Science baru-baru ini bertajuk “AI-enhanced child handwriting analysis: A framework for the early screening of dyslexia and dysgrahia”.
“Mendeteksi gangguan perkembangan saraf ini sejak dini sangatlah penting untuk memastikan anak-anak menerima bantuan yang mereka butuhkan sebelum hal itu berdampak negatif pada pembelajaran dan perkembangan sosial-emosional mereka,” kata penulis studi itu sekaligus profesor di departemen ilmu komputer dan teknik di Universitas Buffalo, Venu Govindaraju di situs web University of Buffalo.
Beberapa dekade lalu, Govindaraju dan rekan-rekannya melakukan pekerjaan inovatif dengan menggunakan pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa, dan bentuk AI lainnya untuk menganalisis tulisan tangan. Inovasi itu masih digunakan layanan pos Amerika Serikat dan lembaga lain untuk melakukan penyortiran surat otomatis.
Sementara penelitian ini mengusulkan kerangka kerja dan metodologi serupa untuk mengidentifikasi masalah ejaan, pembentukan huruf yang buruk, masalah organisasi tulisan, serta indikator disleksia dan disgrafia lainnya.
Para peneliti menghimpun informasi dari para guru, ahli patologi wicara bahasa, dan terapis okupasi untuk membantu memastikan model AI yang mereka kembangkan dapat diterapkan di kelas dan lingkungan pendidikan lainnya.
Para peneliti juga bekerja sama dengan profesor madya bidang literasi di Universitas Nevada, Abbie Olszewski, yang ikut mengembangkan Dysgraphia and Dyslexia Behavioral Indicator Checklist (DDBIC) atau Daftar Periksa Indikator Perilaku Disgrafia dan Disleksia untuk mengidentifikasi gejala yang tumpang tindih antara disleksia dan disgrafia.
Mereka mengumpulkan sampel tulisan dari kertas dan tablet dari siswa taman kanak-kanak hingga kelas 5 di sebuah sekolah dasar di Reno, Amerika Serikat. Bagian dari penelitian ini disetujui oleh dewan etik. Datanya dianonimkan untuk melindungi privasi siswa.
Mereka bakal menggunakan data tersebut untuk memvalidasi lebih lanjut alat DDBIC, yang fokus pada 17 isyarat perilaku yang terjadi sebelum, selama, dan setelah menulis; melatih model AI untuk menyelesaikan proses penyaringan DDBIC; serta membandingkan seberapa efektif model ini dibanding dengan melakukan tes konvensional.
Studi ini menyimpulkan, permodelan AI bisa digunakan untuk mendeteksi kesulitan motorik dengna menganalisis kecepatan menulis, tekanan, dan gerakan pena; memeriksa aspek visual tulisan tangan, termasuk ukuran dan spasi huruf; mengubah tulisan tangan menjadi teks, menemukan kesalahan ejaan, pembalikan huruf, dan kesalahan lainnya; serta mengidentifikasi masalah kognitif yang lebih jauh berdasarkan tata bahasa, kosakata, dan faktor lainnya.
“Pekerjaan ini masih berlangsung, menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan untuk kebaikan publik, menyediakan alat dan layanan bagi orang-orang yang sangat membutuhkannya,” ujar peneliti pascadoktoral di Universitas Buffalo dan asisten profesor di Amrita Vishwa Vidyapeetham yang juga penulis studi, Sumi Suresh dalam situs University of Buffalo.


