sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus bunuh diri Goo Hara dan Sulli, pertemanan yang berakhir pada copycat suicide

Kehilangan sahabat yang dipandang sangat berarti dan dekat, dapat membuat seseorang mengalami pukulan yang berat. Ini terjadi pada Goo Hara.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Rabu, 27 Nov 2019 08:42 WIB
Kasus bunuh diri Goo Hara dan Sulli, pertemanan yang berakhir pada copycat suicide

Kabar meninggalnya artis belia Korea, Goo Hara, Minggu (24/11) lalu mengejutkan publik. Dilansir dari media hiburan Korea Selatan Soompi.com, mantan personil girl band KARA tersebut ditemukan tewas gantung diri di kawasan Cheongdam, sekitar pukul 18.00 waktu setempat, atau pukul 16.00 WIB.

Sementara pihak kepolisian Gangnam, Seoul, menginvestigasi penyebab kematiannya, Goo Hara diduga melakukan bunuh diri akibat tekanan mental yang dialaminya. Hal ini tampak mengulang kejadian naas bunuh diri yang dilakukan Choi Jin-ri atau lebih dikenal sebagai Sulli, anggota girl band f(x), 14 Oktober 2019 lalu.

Sebagaimana banyak diberitakan, Goo Hara dan Sulli bersahabat sejak lama. Dalam sejumlah unggahan di akun Instagram-nya, Goo Hara kerap berfoto bersama Sulli. Selain itu, hubungan persahabatan mereka ditunjukkan dengan ucapan maaf Goo Hara di hari pemakaman Sulli.

“…Berbahagialah di atas sana dan lakukan apa yang kamu suka. Saya akan hidup dan bekerja keras untukmu. Semuanya, Sulli dan aku sangat dekat, kami seperti saudara. Sehingga, saya ingin menyampaikan pesan bagi Sulli lewat pesan live broadcast ini. Maafkan saya. Maafkan saya. Jangan khawatir semuanya. Selamat tinggal, Sulli,” tulis Goo Hara dilansir dari Koreaboo.

Goo Hara dan Sulli bersahabat sejak lama. Dalam sejumlah unggahan di akun Instagram-nya, Goo Hara kerap berfoto bersama Sulli./instagram Koohara

Beberapa waktu sebelum kematiannya, Goo Hara pun mengunggah pesan “selamat tinggal”. Kejadian ini menunjukkan puncak tekanan mental yang dirasakan Goo Hara, setelah menjalani enam bulan masa pemulihan. Pasalnya, Goo Hara dikabarkan mencoba bunuh diri pada bulan Mei lalu.

Goo Hara lalu naik panggung kembali seusai tur empat hari di Jepang (14-19/11) untuk mempopulerkan single “Midnight Queen”. Kematian Goo Hara dan Sulli mengandung faktor pemicu yang sama, yaitu tekanan mental akibat ujaran kebencian oleh haters mereka di media sosial.

 

 

Budaya Sasaeng ‘Fans Penguntit’

Pengamat budaya populer dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Ratna Puspita, mencermati setidaknya ada dua faktor utama yang berkelindan dalam kasus kematian Goo Hara.

Pertama, tekanan mental akibat pola industri musik pop Korea yang sangat superior terhadap artis. Kedua, perundungan warganet terhadap persoalan privasi artis K-Pop yang marak dalam media sosial.

Dari segi industri musik, kata Ratna, agensi dan manajemen artis “hallyu wave”—istilah bagi semesta Korean-Pop—sangat mendikte penampilan dan perilaku artis.

“Agensi di Korea sudah sangat beracun, menuntut idol harus tampil sempurna. Mereka mengatur apa saja yang harus diomongkan artis kepada publik, hingga citra khusus artis yang sangat detail,” kata Ratna, dihubungi Senin (25/11).

Sebagai seorang figur publik, seorang artis pun memiliki tuntutan untuk dapat memuaskan penggemar atau fans. Ratna mengamati, industri musik pop Korea sangat longgar dan membiarkan tingkah laku penggemar yang bersifat urakan bahkan “gila-gilaan”. Ini, kata dia berakar pada budaya sasaeng di Korea.

“Di Korea ada budaya sasaeng atau fans yang stalking (menguntit) kehidupan pribadi artis. Ketika sasaeng ini kecewa sama artisnya bisa jadi dia berubah jadi antifan,” kata Ratna.

Ratna menjelaskan, kultur sasaeng telah bertumbuh sejak masa generasi pertama K-Pop yang antara lain ditandai dengan kehadiran grup Sechkies dan H.OT. Goo Hara termasuk sebagai generasi kedua K-Pop lewat debutnya di dunia hiburan pada 2008 sebagai anggota KARA. Selain itu, SNSD dan 2NE1 termasuk dalam generasi kedua. Adapun generasi ketiga K-Pop antara lain mencakup EXO, BTS, dan Blackpink.

Dalam industri K-Pop, selain sasaeng ada kategori lain, yaitu fans yang merujuk pada penggemar yang tidak menguntit), dan antifan yang membenci satu artis secara terang-terangan. Sejak ia berkembang, kata Ratna, sasaeng banyak dikritik oleh artis-artis K-Pop. Bagi para artis, sasaeng sangat mengusik ruang privasi mereka.

“Kultur sasaeng itu buruk karena para sasaeng bisa masuk ke rumah atau penginapan artis, mengambil barang artis dengan alasan buat memorabilia. Bahkan sasaeng ini ikut dalam penerbangan ke manapun artis pergi,” tutur Ratna.

Kehilangan sahabat yang dipandang sangat berarti dan dekat dalam hidup dapat membuat seseorang mengalami pukulan yang berat.Alinea.id/Dwi

 

Kecenderungan Mencontoh Bunuh Diri

Selain pengaruh fans yang mengganggu kehidupan pribadi artis, perundungan di media sosial dipandang lebih berdampak buruk ketimbang perundungan yang dilakukan langsung atau di tempat terbuka. Dari sudut pandang psikologi, risiko itu pun akan berkali-kali lipat, manakala ujaran kebencian ditujukan kepada tokoh publik seperti artis.

Psikolog Ayoe Soetomo menegaskan, hal itu disebabkan komentar negatif yang beredar di media sosial terbuka untuk dilihat semua orang.

Cyberbullying ini lebih berbahaya karena sepanjang ada akses ke sosial media, perasaan ketakutan dan kekhawatiran bisa muncul. Seakan tak ada lagi tempat yang aman,” kata Ayoe, kepada Alinea.id. 

Dalam kasus kematian Goo Hara, menurutnya, ada tekanan mental lebih besar yang dialami oleh figur publik. Sebab, semua komentar warganet yang negatif dapat disoroti oleh siapa saja pada media sosial selama terhubung dengan internet.

“Lain halnya dengan seorang anak yang di-bully di sekolah, maka rumah atau keluarga bisa menjadi tempatnya berlindung,” ujar Ayoe.

Komentar-komentar negatif yang diterima seseorang di media sosial, kata Ayoe, akan lebih buruk dampaknya bila tak diimbangi ketahanan sosial dan mental yang baik. Hal inilah yang membuat seseorang merasa tak berarti atau tak berharga lagi, bahkan menjadi depresi dan terpicu untuk memutuskan bunuh diri.

Terkait hubungan pertemanan erat Sulli dan Goo Hara, Ayoe menengarai ada potensi peniruan bunuh diri (copycat suicide). Kedekatan relasi keduanya, menurut Ayoe, membuat mereka memiliki konsep pemikiran dan kondisi mental yang sama. Ayoe berpendapat, pemberitaan tentang kasus bunuh diri di media massa turut menyumbang potensi peniruan. 

“Terhadap sisi pemberitaan yang tak tepat, orang yang punya tendensi bunuh diri jadi bisa terpicu untuk melakukannya juga. Pemberitaan tentang bunuh diri harus hati-hati sekali agar tidak terjadi copycat suicide,” ucapnya.

Sementara itu, psikolog klinis Kristi Poerwandari menekankan faktor relasi teman dekat atau persahabatan yang dapat memicu peniruan. Menurut Kristi, kehilangan sahabat yang dipandang sangat berarti dan dekat dalam hidup dapat membuat seseorang mengalami pukulan yang berat.

“Ketika si sahabat pergi, sangat mungkin seseorang jadi depresi, tidak berdaya, dan kesepian. Akhirnya ia juga melakukan upaya bunuh diri,” kata Kristi dalam pesan singkatnya, Senin (25/11).

Cyberbullying ini lebih berbahaya karena sepanjang ada akses ke sosial media, perasaan ketakutan dan kekhawatiran bisa muncul./Instagram Koohara

Kerentanan akibat perasaan senasib ini, kata Kristi, umumnya menonjol pada kalangan orang muda. Anggapan ini sejalan dengan kenyataan usia ketika Sulli dan Goo Hara mengalami tekanan mental akibat perundungan hingga memutuskan bunuh diri. Sulli, kelahiran 1994, meninggal pada usia 25, sedang Goo Hara bunuh diri saat berusia 28.

Young-Ha Kim dalam kolomnya di New York Times, 2 April 2014, menguraikan, Korea Selatan tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus bunuh diri tertinggi di dunia delapan tahun berturut-turut dalam era industrialisasi.

Pada 2012, tercatat sebanyak 14.160 orang berniat bunuh diri di Korea Selatan. Bunuh diri diperkirakan menjadi penyebab kematian nomor satu pada penduduk berusia 1–30 tahun. Sementara pada warga berusia 40 tahun ke atas, bunuh diri merupakan faktor kedua sesudah kanker.

Rata-rata kasus bunuh diri sebanyak 39 orang per hari dengan peningkatan sebesar 219% dari jumlah korban bunuh diri pada tahun 2000 sebanyak 6.444 orang.

“Bunuh diri diyakini publik sebagai cara pelarian paling cepat dari tekanan hidup di zaman modern,” tulis Young-Ha Kim dalam opininya yang berjudul “South Korea’s Struggle With Suicide” itu.

Sebenarnya Busan telah menerapkan pengawasan atas tingginya risiko bunuh diri warga setempat. Hal ini dicanangkan pada 2013 di Busan dengan mengerahkan para psikiater untuk meneliti mental lingkungan yang terbentuk di sekitar orang-orang yang menyimpan kecenderungan atau potensi bunuh diri.

Cara ini dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap para penyintas bunuh diri. Pemerintah setempat mencontoh sistem serupa yang diberlakukan di Finlandia pada 1992, ketika angka bunuh diri di negara Eropa tersebut tertinggi di dunia.

Dengan menerapkan pengawasan itu, Finlandia diketahui mampu menurunkan angka bunuh diri warganya hingga 40%.
 

Berita Lainnya
×
tekid