Bangunan dan tugu di Jakarta tempo dulu yang sudah lenyap
Jakarta sudah berdiri nyaris 500 tahun. Sebagai sebuah kota, banyak perubahan yang terjadi. Dari perkembangan sebuah kota, mulai dari sebuah bandar kerajaan, menjadi kota jajahan, hingga ibu kota negara merdeka, banyak yang sudah hilang. Terutama bangunan dan monumen, yang dahulu megah berdiri saat masa kolonial. Apa saja bangunan dan monumen yang sudah lenyap di Jakarta?
Monumen Pieter Erberveld
Dahulu, monumen ini berdiri di sudut lokasi yang sekarang menjadi Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat. Wujud monumen itu agak mengerikan: tembok bercat putih, di atasnya dipasang tengkorak tertembus tombak yang terbuat dari gips.
Pada dindingnya, tertulis peringatan berbahasa Belanda, yang jika diterjemahkan berbunyi, “Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan akan pengkhianat Pieter Erberveld yang dihukum. Tak seorang pun sekarang atau untuk seterusnya akan diizinkan membangun, menukang, memasang batu bata atau menanam di tempat ini. Batavia, 14 April 1722.
Menurut Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997), Erberveld adalah putra seorang Jerman kaya dengan ibu dari Thailand. Ayahnya adalah seorang tuan tanah dan kapten kavaleri Batavia yang dihormati. Erberveld berhubungan erat dengan masyarakat sekitar Batavia. Kemungkinan, dia juga berhubungan dengan putra-putra Surapati, yang memerangi VOC di Jawa Timur.

Laporan resmi VOC menulis, Erberveld bersama orang Jawa bernama Raden Kartadria, sudah lama berencana ingin membunuh semua penduduk Belanda di Batavia. Konon, Erberveld ingin menjadi “gusti”, kepala Kota Batavia. Sedangkan Kartadria ingin menjabat patih daerah luar kota. Sumber lain mengatakan, sultan dari Banten yang diminta Erberveld untuk mendukung rencana pemberontakan, malah memberi tahu Gubernur Jenderal.
Akibatnya, semua orang yang ikut pertemuan rahasia di rumah Erberveld ditangkap. Mereka lantas dihukum mati pada 22 April 1722. Erberveld dan Kartadria, bersama 17 orang lainnya dihukum mati secara sadis di lapangan sebelah selatan Benteng Batavia.
“Tubuh mereka semua dicincang dan jantung dicopot, lalu badannya ditarik empat kuda hingga pecah menjadi empat bagian,” tulis Heuken.
Tubuh Erberveld lalu dikubur di bawah monumen tersebut. Pada saat Jepang menginvasi Indonesia tahun 1942, tugu itu dihancurkan. Prasastinya masih bisa diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali. Sejak 1985, tugu itu dipindah ke Museum Prasasti Jakarta. Kini, tempat monumen itu berdiri menjadi showroom mobil.
Gerbang Amsterdam
Gerbang Amsterdam atau Amsterdamsche Poort awalnya merupakan bagian dari kastil yang dibangun pada 1619 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808/1809 kastil itu dihancurkan. Yang tersisa tinggal Gerbang Amsterdam.

Gerbang ini merupakan bekas pintu masuk kastil bagian selatan. Dahulu, jaraknya sekitar 400 meter di atah utara dari gedung yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta—persisnya di dekat pertemuan Jalan Cengkeh dan Jalan Tongkol. Gerbang ini sempat dipugar antara 1830 dan 1840.
Gerbang ini dihancurkan karena pembangunan jalur trem. Pada April 1869, trem kereta kuda mulai beroperasi di Batavia. Rutenya melintasi gerbang itu. Karena pintu gerbang terlalu kecil, trem tak bisa lewat. Lalu, jalur trem diubah lewat samping gerbang, dengan menghancurkan sisi-sisinya. Lantas, seluruh gerbang pun dihancurkan demi pembangunan.
Rumah mewah Chastelein
Menurut Heuken, Cornelis Chastelein adalah anggota Dewan Hindia dan tuan tanah kaya raya pada masa kolonial. Dia punya tanah di Noordwijk (sekarang sekitar Masjid Istiqlal) dan Depok. Dia membangun rumah peristirahatan di tanah miliknya pada 1714, yang diberinama Weltevreden. Nama itu kemudian disematkan untuk semua daerah Jakarta Pusat sekarang, hingga masa pendudukan Jepang pada 1942.

Rumah itu lalu dibeli Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Kemudian berpindah tangan ke Gubernur Jenderal van der Parra pada 1767. Sekarang, bangunannya tidak lagi terlihat sebagai rumah mewah karena sudah menjadi Rumah Sakit Militer Gatot Subroto.
Tugu aneh di Waterlooplein
Waterlooplein sekarang kita kenal sebagai Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Heuken menyebut, pada 1828 dibangun tugu yang sedikit aneh di tengah Waterloo Plein. Bentuknya sebuah tiang besar, kurang berproporsi, dengan seekor anjing berbulu ikal berdiri di atas sebuah keju pada puncaknya. Seekor anjing itu sebenarnya singa Belanda yang kekecilan. Jadi, tampak seperti anjing pudel.

Tugu itu dinamakan Monumen Pertempuran Waterloo, tempat Napoleon I dikalahkan secara definitif. Tugu tersebut diratakan dengan tanah oleh tentara Jepang pada 1942. Lokasi tugu itu kini berdiri Monumen Pembebasan Irian Barat.
Patung JP Coen
Jan Pieterzoon Coen—yang menjabat Gubernur Jenderal pada 1619-1623 dan 1627-1629—dianggap pahlawan oleh pemerintah kolonial. Maka sebuah patungnya didirikan di halaman Istana Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels pada 1876. Istana itu sekarang jadi gedung Departemen Keuangan.

Patung JP Coen berdiri tegak, bertopi, berjubah, berpakaian lengkap perwira VOC, ditopang di atas tembok segi empat yang tinggi. Patung itu sangat gagah. Tidak seperti perawakan asli JP Coen yang berbadan tinggi dan kurus, serta bermuka tirus.
Saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, menurut Marco Kusumawijaya dalam Jakarta: Metropolis Tunggang-langgang (2004), patung JP Coen dipindahkan dari Waterlooplein. Lantas, mengutip Wajah Jakarta di Usia 467 (2019) yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo, tahun 1963-1964 patung tersebut dihancurkan massa, ketika gelombang antineokolonialisme sedang panas.


