Di era pesan instan dan aplikasi kencan digital, keterlambatan membalas pesan sering kali langsung diartikan sebagai bentuk penolakan atau ghosting. Namun, para pakar hubungan menyarankan untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bisa jadi, orang yang Anda tunggu hanya sedang sibuk — bukan menghilang.
Menurut Monica Berg, pakar hubungan dan penulis buku Rethink Love, banyak orang, khususnya mereka yang memiliki pengalaman emosional kurang stabil sejak kecil, cenderung mengartikan jeda komunikasi sebagai penolakan pribadi.
“Ketika kita memiliki luka lama — seperti merasa tidak cukup atau selalu ditinggalkan — pesan yang tidak kunjung dibalas bisa terasa seperti penegasan dari ketakutan itu,” kata Berg.
Ketika notifikasi jadi sumber kecemasan
Di masa awal jatuh cinta, tubuh kita dibanjiri zat kimia seperti dopamin dan kortisol, yang membuat kita merasa bersemangat namun juga mudah cemas. Akses komunikasi yang terus terbuka melalui pesan teks, DM, dan tanda centang biru menciptakan ekspektasi baru: bahwa pasangan harus selalu responsif.
Berg menjelaskan bahwa keintiman instan seperti ini bisa membuat kita ketagihan, menciptakan pola kecanduan emosional terhadap respons orang lain. Ketika pesan dibalas, kita merasa diterima; ketika tidak, kita merasa ditolak.
“Ini adalah bentuk ketergantungan pada validasi eksternal. Kita seolah meletakkan harga diri kita di tangan orang lain,” ujar Berg.
Aplikasi kencan dan lingkaran dopamin
Psikoterapis Israa Nasir menambahkan bahwa desain aplikasi kencan digital memang dirancang seperti permainan: menciptakan reward loop layaknya mesin slot. Setiap notifikasi atau match memberi ledakan dopamin, memperkuat ilusi bahwa kita hanya bernilai jika dipilih.
Ketika kita terlalu menggantungkan diri pada “ping” dari orang lain, kemampuan kita untuk menenangkan diri dan membangun relasi sehat jadi terhambat. Kecemasan muncul ketika pesan tak kunjung dibalas, dan pikiran negatif pun bermunculan.
“Tanpa disadari, otak menafsirkan diam sebagai ancaman. Ini memicu keraguan diri dan reaksi impulsif,” kata Nasir.
Bagaimana mengatasinya?
Jika Anda merasa gelisah saat pesan tak kunjung dibalas, Berg menyarankan untuk jeda sejenak, menarik napas, dan menyadari bahwa reaksi itu bisa jadi berasal dari cerita lama, bukan realitas saat ini.
“Anda boleh bilang ke diri sendiri: ‘Ini cuma cerita lama. Aku tahu ini bukan kenyataan.’ Latih pikiran kedua Anda untuk menantang pikiran negatif yang muncul lebih dulu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa cinta sejati tidak dibangun dari kecepatan membalas pesan, tetapi dari kesabaran, rasa percaya, dan pertumbuhan bersama.
Nasir menambahkan bahwa penting untuk mengamati pola, bukan momen. Jika seseorang biasanya responsif dan tiba-tiba tidak lagi, itu patut dicermati. Tapi bila seseorang sejak awal memang jarang membalas dengan cepat, itu bisa jadi hanya gaya komunikasi mereka.
Jika Anda curiga sedang diabaikan, Nasir menyarankan cukup sekali bertanya dengan cara yang masuk akal. Bila tidak dibalas, anggap itu sebagai informasi, bukan kegagalan pribadi.
Jangan jadikan hubungan sebagai pusat hidup
Nasir juga menekankan pentingnya membangun ketahanan emosional, dengan cara tidak menjadikan hubungan asmara sebagai pusat hidup. Sebaliknya, isi waktu dengan kegiatan bermakna: bersosialisasi, menjalani hobi, eksplorasi pribadi, atau sekadar menikmati waktu sendiri.
Ia menyarankan untuk rutin memeriksa perasaan diri setelah berinteraksi dengan orang lain. “Tanyakan: bagaimana perasaanku? Apakah aku menjadi diriku sendiri?” katanya.
Berg dan Nasir sepakat bahwa hubungan sehat tidak dibentuk lewat intensitas kontak, tapi lewat koneksi nyata yang tumbuh perlahan seiring waktu.
“Ketidakpastian bukan musuh,” tutup Nasir. “Itu adalah bagian dari proses yang akan membantu kita mengenal diri dan membangun hubungan yang lebih kuat.”(huffpost)