close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sentuhan. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi sentuhan. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 21 September 2025 17:31

Mengapa ada orang yang tak suka disentuh?

Mengapa sebagian orang menolak sentuhan? Studi Binghamton University menjelaskan kaitan antara aversi sentuhan, koersi fisik, gaya hubungan.
swipe

Sentuhan adalah salah satu cara paling penting manusia berkomunikasi tanpa kata. Kita semua kenal ada tipe orang yang “touchy-feely”—mereka yang gemar menyentuh atau merangkul untuk menunjukkan kedekatan kepada orang lain. 

Dalam banyak situasi, sentuhan justru menjadi sumber kenyamanan, terutama saat kita menghadapi masa-masa sulit. Namun demikian, tak jarang kita refleks menarik diri ketika merasa ruang pribadi dilanggar via sentuhan.

Bagi sebagian orang, sentuhan yang dimaksudkan sebagai tanda simpati bahkan bisa terasa tak tertahankan. Fenomena ini disebut touch aversion, yakni kondisi di mana seseorang mengalami sentuhan secara negatif.

Bagaimana seseorang merespons sentuhan jadi fokus penelitian Emily Ives dan rekan-rekannya di Binghamton University, New York, Amerika Serikat. Riset bertajuk "Dark side of touch: How attachment style impacts touch through dark triad personality traits" itu sudah diterbitkan di Jurnal Current Psychology, belum lama ini. 

"Sentuhan tidak selalu dialami secara positif atau digunakan dengan itikad baik oleh sebagian individu," tulis Ives dan rekan-rekannya dalam dokumen laporan riset terbaru mereka.  

Ada versi lain yang lebih gelap: touch coercion, yakni sentuhan yang digunakan untuk menyakiti, memanipulasi, atau mengendalikan orang lain—bahkan pasangan romantis sendiri. 

"Pola ini terkait dengan gaya keterikatan (attachment style) dan kepribadian seseorang," jelas para peneliti. 

Individu dengan gaya keterikatan menghindar (avoidance) cenderung masuk kategori aversion, sedangkan mereka yang melakukan coercive touch umumnya memiliki kecemasan keterikatan tinggi. Kecemasan ini kemudian diwujudkan dalam upaya manipulasi lewat kontak fisik.

Faktor lain yang ikut bermain dalam touch coercion adalah dark triad traits—kombinasi berbahaya dari psikopati, narsisme, dan Machiavellianisme. Tentu, tidak semua orang dengan gaya keterikatan tidak aman otomatis akan memaksa secara fisik pasangannya. 

Namun, jika tingkat ketidakamanan keterikatan itu dipadukan dengan sifat-sifat dark triad, hasilnya bisa ganda: menjaga jarak fisik sekaligus menggunakan sentuhan sebagai alat dominasi.

Ives dan timnya menguji teori itu pada 512 mahasiswa. Mereka mengukur gaya keterikatan, sifat dark triad (melalui skala “dirty dozen”), dan kecenderungan aversi maupun koersi sentuhan.

Skala “avoidance” dalam gaya keterikatan memuat item-item seperti, “Saya sulit bergantung pada orang lain.” Sedangkan skala “anxiety” memuat pernyataan, semisal “Saya sering khawatir pasangan saya tidak mencintai saya.”

Untuk mengukur sensitivitas sentuhan, peneliti menggunakan instrumen seven touch scales (STS) yang mencakup sembilan item aversi, semisal “Saya sering harus mengingatkan pasangan saya untuk berhenti menyentuh saya”. Ada juga enam item koersi, misalnya, “Saya sering menyentuh pasangan untuk menegaskan kendali saya."

Hasilnya ternyata sesuai prediksi. Individu dengan gaya keterikatan menghindar lebih cenderung mengalami aversi sentuhan. "Ini mencerminkan ketidaknyamanan umum dengan sentuhan intim," jelas para peneliti. 

Untuk perempuan dengan keterikatan tidak aman dan sifat dark triad, penghindaran sentuhan intim dipakai sebagai alat manipulasi terhadap pasangan. Pada laki-laki, keterikatan cemas berkorelasi dengan coercive touch terlepas dari sifat kepribadian lain.

"Coercive touch terjadi dalam rangka mencari jaminan atau perlindungan," kata Ives dan kawan-kawan. Ini adalah tipe laki-laki yang bisa menjadi koersif secara fisik, misalnya saat merasa cemburu.

Satu pasangan membuka sebentar masker pelindung saat berfoto di sebuah taman bermain di Seoul, Korea Selatan, Kamis (30/4), di tengah pandemik Covid-19. ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Hong-Ji

Apa artinya bagi kita? 

Susan Krauss Whitbourne, pakar psikologi dari University of Massachusetts Amherst berpendapat temuan Ives dan kawan-kawan memberi peringatan bagi siapa saja yang tengah mempertimbangkan hubungan baru atau berusaha menavigasi relasi dengan seseorang yang menggunakan sentuhan secara manipulatif. 

"Bagi kita yang hidup di tengah orang-orang yang suka menyentuh, temuan Ives dan peneliti lainnya ini juga menjadi kompas. Sadar bahwa orang punya sensitivitas berbeda terhadap sentuhan sudah membantu kita mengatur langkah," ujar Whitbourne seperti dikutip dari Psychology Today, Ahad (21/9). 

Selama ini, menurut Whitbourne, sebagian dari kita tak pernah menyadari bahwa ada orang yang menolak sentuhan kita bukan karena membenci kita. Mereka tak ingin disentuh atau didekati secara fisik  karena mereka memang tak menyukainya. 

"Sensitivitas sentuhan adalah hal nyata. Reaksi seseorang terhadap sentuhan kita bisa berarti dia benar-benar tidak suka disentuh, atau dia sedang mengatur seberapa jauh dia membiarkan kita mengekspresikan rasa hangat," ujar dia. 

Memahami tingkat kenyamanan kita terhadap kanal sensorik itu, lanjut Whitbourne, bisa membantu kita jadi komunikator lebih baik. "Daripada terkesan kaku dan tak berperasaan saat seseorang memeluk kita, kita bisa merespons lebih bijak dengan menyatakan preferensi," cetusnya. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan