Pada 2025, Jepang membetot perhatian dunia setelah pemerintahnya mengesahkan penggunaan robot pendamping bagi warga lanjut usia (lansia). Langkah itu merupakan jawaban teknologi untuk krisis kemanusiaan yang dikenal dengan istilah kodokushi atau “kematian dalam kesepian”.
Jepang bukan satu-satunya negara yang mencoba menanggulangi masalah kesepian di kalangan warganya. Pada 2018, Inggris bahkan menunjuk Tracey Crouch sebagai “Menteri Kesepian” pertama di dunia, usai laporan pemerintah mengungkap meningkatnya angka isolasi sosial.
Lalu, bagaimana dengan Amerika Serikat? Belakangan, banyak Gen Z di negara itu kini mengaku sahabat terdekat mereka bukan manusia—melainkan aplikasi. Fenomena itu menunjukkan kesepian juga menghantui anak-anak muda di AS.
Laporan Surgeon General AS tahun 2023 bahkan menyebut kesepian sebagai “epidemi”. Risiko kesehatannya ditaksir setara dengan dampak negatif merokok 15 batang rokok per hari.
"Kita hidup di zaman paling terhubung dalam sejarah, tetapi jutaan orang justru merasa benar-benar sendirian," ujar Sam Goldstein, pakar psikologi dari University of Utah School of Medicine, seperti dikutip dari Psychology Today, Sabtu (11/10).
Menurut Goldstein, kesepian kini telah jadi penyakit warga global. Indikasinya gamblang, bisnis yang fokus utamanya "menjual obat kesepian" menyeruak di berbagai belahan dunia. Teknologi kecerdasan buatan atau AI juga menawarkan jasa serupa.
Goldstein menyebutnya loneliness economy atau ekonomi kesepian—era ketika teman bicara, pelukan, bahkan rasa kedekatan bisa dibeli, disewa, atau di-streaming.
"Butuh teman ngobrol jam dua dini hari? Ada aplikasinya. Replika—salah satu chatbot AI paling populer di dunia—menawarkan teman digital yang bisa “belajar” mengenali diri Anda dari waktu ke waktu," kata dia.
Di Jepang, ada layanan penyewaan ossan—pria paruh baya yang bisa diajak bicara atau sekadar menemani jalan santai di taman, tanpa embel-embel romansa. Di Seoul dan Tokyo, restoran kini punya bilik makan tunggal bagi pelanggan yang lebih nyaman makan sendiri ketimbang berbasa-basi sosial.
Goldstein juga mencontohkan aplikasi terapi mental yang buka 24 jam dan retret kesehatan mental menjanjikan 'reset hidup' bagi milenial yang lelah mencari makna. Selain itu, ada pula perusahaan hewan peliharaan ikut ambil bagian: mereka menyewakan anjing atau kucing untuk pelukan singkat bagi yang belum siap memelihara penuh waktu.
"Semua ini menandakan satu hal—ada kelaparan emosional yang sangat dalam, dan pasar tak pernah absen menemukan cara untuk memuaskannya, tentu dengan harga tertentu," kata Goldstein.
Mengapa manusia modern begitu mendamba kasih sayang digital dan teman sewaan? Intinya, menurut Goldstein, banyak orang merasa tercerabut dari akar sosialnya. Tempat-tempat yang dulu jadi sumber komunitas—gereja, balai warga, bahkan kantor—telah berubah atau menghilang.
"Kerja jarak jauh membuat kita semakin terpisah, sementara budaya yang mengagungkan kemandirian membuat permintaan untuk ditemani terasa seperti kelemahan," kata dia.
Perubahan terbesar, tentu saja, datang dari teknologi. Sosiolog MIT Sherry Turkle pernah menyebut kondisi ini sebagai “alone together”—sendiri di tengah keramaian digital. Kita terus dikelilingi notifikasi, chat, dan feed, tapi tetap haus akan sesuatu yang nyata.
Kini, kedekatan emosional dengan influencer yang tak pernah ditemui, atau karakter fiksi dari layar kecil, jadi hal biasa. Sebuah bentuk keintiman yang telah “diasingkan” dari tubuh manusia. Pertanyaannya: apakah kedekatan digital semacam itu benar-benar memuaskan? Atau kita hanya mengira interaksi tanpa henti adalah koneksi sejati?
Wajah global dari kesepian
Kesepian kini diakui sebagai masalah kesehatan publik global, dengan dampak sosial dan ekonomi yang nyata. Namun, bentuknya berbeda di tiap budaya. Di masyarakat kolektivis, isolasi sosial bisa jadi aib. Di masyarakat individualis, ia sering dianggap sekadar “fase dewasa.”
"Di balik perbedaan itu, jutaan orang di seluruh dunia ternyata merindukan hal yang sama: hubungan manusia yang berarti. Tak bisa dipungkiri, ekonomi kesepian menjawab kebutuhan yang nyata. Bagi penyandang disabilitas, orang dengan gangguan kecemasan, atau mereka yang hidup di daerah terpencil, teman virtual dan aplikasi terapi bisa jadi penyelamat," ujar Goldstein.
Namun, sisi gelapnya tak kalah besar. Banyak platform itu dirancang untuk keterikatan, bukan penyembuhan. Mereka membuat kita terus scrolling, tapi tidak betul-betul connecting. Ketika hubungan manusia mulai digantikan relasi buatan, kita kehilangan kehangatan, konflik, dan spontanitas—segala hal yang justru membuat koneksi manusia menjadi bermakna.
Peneliti sosial Julianne Holt-Lunstad telah lama memperingatkan bahwa kesepian kronis dapat memicu berbagai penyakit serius: dari depresi hingga gangguan jantung. Tak ada algoritma, secerdas apa pun, yang bisa menggantikan empati, sentuhan, dan pengalaman bersama yang hanya manusia bisa berikan.