close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penyanyi sekaligus penulis lagu kebangsaan Amerika Serikat, Taylor Swift, saat manggung di Munich, Jerman, Agustus 2024. /Foto Instagram @taylorswift
icon caption
Penyanyi sekaligus penulis lagu kebangsaan Amerika Serikat, Taylor Swift, saat manggung di Munich, Jerman, Agustus 2024. /Foto Instagram @taylorswift
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 27 Agustus 2025 19:05

Dari James Dean hingga Taylor Swift: Apa yang membuat seseorang terlihat keren?

Setiap orang punya bakat untuk jadi sekeren James Dean atau Taylor Swift.
swipe

Apa yang membuat seseorang dianggap "cool" atau keren? Dari ikon klasik seperti aktor James Dean hingga megabintang era kini seperti Taylor Swift, apa yang membuat mereka layak disebut keren.  Pertanyaan ini seolah tidak pernah habis dibahas dan kini bahkan diteliti. 

James Dean adalah contoh nyata bagaimana “keren” tidak cuma soal tampang, tapi gabungan talenta dan sikap. Ia memadukan kemampuan akting yang luar biasa dengan gaya hidup yang memberontak—jadi ikon generasi muda yang merasa “tak dimengerti” di era 1950-an. 

Slogan tak resminya: “live fast, die young.” Kematian tragisnya di usia 24 justru menambah aura misteri yang membuatnya melegenda. Dari jaket kulit khasnya, tatapan tajamnya, hingga citra pemberontak yang menolak aturan. Meski sudah puluhan tahun berlalu, Dean masih jadi bahasa universal untuk satu kata: keren.

Sebuah tim peneliti internasional memutuskan untuk mengukur faktor “keren” secara ilmiah. Hasilnya dimuat dalam Journal of Experimental Psychology, belum lama ini. Riset itu memaparkan sesuatu yang mengejutkan: ternyata, meski latar budaya dan bahasa berbeda, ada pola yang sama soal siapa yang dianggap keren.

Antara 2018 dan 2022, para peneliti melibatkan hampir 6.000 peserta dari 12 negara: Australia, Chile, China, Jerman, India, Meksiko, Nigeria, Afrika Selatan, Korea Selatan, Spanyol, Turki, dan Amerika Serikat. 

Metodenya sederhana tapi menarik. Setiap responden diminta menyebut nama orang yang menurut mereka keren, tidak keren, baik, atau tidak baik. Setelah itu, mereka diminta menilai kepribadian dan nilai orang-orang tersebut. 

Dari data ini, peneliti memetakan perbedaan dan persamaan antara mereka yang dianggap keren, tidak keren, dan baik. Hasilnya cukup konsisten: ada enam sifat utama yang muncul lintas budaya, tanpa peduli usia, gender, atau tingkat pendidikan.

Pertama, berkuasa. Keren jenis ini berarti mereka yang punya pengaruh, kaya, memiliki barang mahal, memimpin, dan biasanya diikuti orang lain. Kedua, hedonistik atau mereka mencari kesenangan, memanfaatkan setiap kesempatan untuk bersenang-senang dan tahu cara memanjakan diri.

Ketiga, otonom yang berarti kreatif, penuh ide, bebas mengambil keputusan, dan merancang hidup sesuai pilihan sendiri. Keempat, petualan atau mereka yang suka risiko, mencari pengalaman seru, gemar kejutan, dan hidupnya jarang membosankan.

Keenam, terbuka. Orang-orang keren pada kategori itu ialah mereka yang mau menerima pengalaman, ide, dan perasaan baru. Terakhir, kaum ekstrovert atau orang-orang yang cenderung ramah, antusias, banyak bicara, dan mudah bergaul.

“Yang paling mengejutkan adalah sifat-sifat ini konsisten di mana pun. Entah di China, Korea, Chile, atau AS, orang mengagumi sosok yang mendorong batas dan memicu perubahan. Sepertinya, konsep keren ini lebih dalam dari sekadar label,” kata Todd Pezzuti, dosen pemasaran di Universidad Adolfo Ibáñez, Chile, yang juga pemimpin riset itu. 

Pezzuti menyebut bahwa sebagian besar sifat tersebut bawaan lahir. “Lima dari enam adalah ciri kepribadian, dan sifat kepribadian cenderung stabil,” katanya. Artinya, kita bisa mengasah sisi-sisi tertentu, tapi sebagian besar “bakat keren” mungkin memang terlahir bersama kita.

Menariknya, hasil riset ini juga menyoroti bahwa keren dan baik tidak selalu sama. Ada irisan, seperti sifat yang disukai atau dikagumi, tapi beberapa sisi keren justru bertentangan dengan moralitas.

“Untuk dianggap keren, seseorang biasanya harus sedikit bisa disukai atau dikagumi, yang membuatnya mirip dengan orang baik,” jelas Caleb Warren, dosen pemasaran di University of Arizona. “Tapi sering kali, sifat keren melibatkan hal-hal yang tidak selalu dianggap ‘baik’ secara moral, seperti hedonisme dan kekuasaan.”

Aktor klasik James Dean. /Wikimedia Commons

Kenapa mempelajari faktor keren itu penting?

Jon Freeman, dosen psikologi di Columbia University, menambahkan dimensi lain. Baginya, riset ini baru permulaan. Perlu penelitian lanjutan untuk membedakan antara keren yang ‘baik’ dan keren yang ‘buruk'. 

“Dalam hidup nyata, keren bisa berarti positif, tapi juga bisa punya konotasi negatif tergantung konteks sosial. Pendekatan studi ini memberikan fondasi yang bagus,” kata Freeman seperti dikutip dari Cordis.  

Jika ditelusuri, terminologi "cool" muncul sejak beberapa dekade silam, terutama lazim digunakan di kalangan musisi jazz. Saat ini, menurut Freeman, makna “keren” meluas dan sudah jadi bahasa sosial yang sarat makna. 

“Istilah ini adalah singkatan dari inferensi kompleks. Ia mewakili sinyal status, identitas, dan afiliasi yang bisa dipahami seketika, tapi juga penuh stereotip," kata dia. 

Dari perspektif ilmiah, menurut dia, mempelajari ‘keren’ penting. "Karena ia menunjukkan bagaimana persepsi cepat memengaruhi perilaku dan dinamika sosial, terutama di era media sosial dan budaya influencer,” kata dia. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan