sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ferdian Paleka dan pelajaran bagi prank youtuber tak beretika

Akibat ulahnya, Ferdian Paleka masuk bui. Ia dianggap membuat konten prank yang melecehkan orang lain.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 18 Mei 2020 14:11 WIB
Ferdian Paleka dan pelajaran bagi prank youtuber tak beretika

Pelarian youtuber Ferdiansyah alias Ferdian Paleka berakhir pada 8 Mei 2020. Polisi menangkapnya di Tol Tangerang-Merak, saat tengah menuju Jakarta. Ia lantas dibawa ke Mapolrestabes Bandung.

Pada 3 Mei 2020, Ferdian dilaporkan ke Polrestabes Bandung oleh sejumlah waria yang menjadi korban keisengannya. Sebelumnya, bersama dua rekannya, Ferdian membuat konten prank (gurauan) di akun Youtubenya berjudul “Prank Kasih Makanan ke Banci CBL”.

Video prank itu viral dan mendapat kecaman karena dinilai tak manusiawi dan kurang ajar. Ia dan dua rekannya membagikan kardus menyerupai bantuan sembako, yang isinya sampah dan batu ke beberapa waria dan anak kecil. Dua rekan Ferdian ikut diamankan dalam kasus ini.

Polisi menyebut, mereka memenuhi syarat dikenakan Pasal 45, Pasal 36, dan Pasal 51 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancamannya, pidana paling lama 12 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp12 miliar.

Cara instan abai etika

Seorang kreator konten Youtube yang juga komedian, Wawan Aldo Supriatna alias Aldo Rojax menilai, Ferdian pantas menerima sanksi hukum atas perbuatan yang dilakukannya. Aldo mengatakan, sanksi diperlukan agar bisa memberikan pembelajaran bagi sesama youtuber.

“Kasus Ferdian Paleka memang pantas diadili dan harus dikaji kembali untuk pasal yang benar-benar bisa menjerat dia. Semua konten Ferdian Paleka enggak ada yang positif,” kata Aldo saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (14/5).

“Kalau youtuber bilang, secara kasar itu namanya konten sampah.”

Sponsored

Menurut Aldo, Ferdian melakukan kecerobohan dengan bertindak usil terhadap warga di Bandung dalam video yang dibuatnya. Dari tindakan ceroboh Ferdian yang berujung penjara itu, Aldo merasa diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam merencanakan produksi konten di akun Youtube-nya.

Aldo yang aktif memanfaatkan Youtube sebagai kanal untuk menayangkan konten video sejak Februari 2016 itu mengatakan, kasus video prank yang dibuat Ferdian merupakan efek bumerang yang menimpa youtuber jika ingin terlalu cepat mendapatkan popularitas.

“Lain halnya seperti saya. Saya melewati proses apa pun dengan panjang, memikirkan matang-matang sebuah ide gagasan untuk sebuah konten,” ujarnya.

Tersangka kasus candaan bantuan sosial yang berisikan sampah dan batu kepada transpuan, Ferdian Paleka (tengah) bersama kedua rekannya dihadirkan saat gelar perkara di Polrestabes Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/5/2020). Foto Antara/Ahmad Fauzan.

Ia mengatakan, memang acara hiburan berupa prank sangat diminati penonton. Ia membuktikannya sendiri kala terlibat dalam produksi sebuah konten program acara hiburan berupa prank di sebuah stasiun televisi pada 2015.

“Program itu sangat diminati penonton dan tayang hingga ratusan episode,” tuturnya.

Akan tetapi, Aldo tak tertarik dengan konten prank untuk akun Youtube-nya. Ia membuat konten hiburan yang bermuatan sindiran, digambarkan berupa sketsa komedi.

“Saya mikirin matang-matang bahwa efek hiburannya bukan untuk saya sebagai pembuat konten, tapi menghibur orang lain, penonton, agar nyaman. Saya cuma pernah sekali nyoba bikin konten prank dan itu pun enggak riil, tapi di-setting sedemikian rupa,” tuturnya.

Aksi prank Ferdian pun mendapat kecaman dari youtuber Fariz Syahputra alias Maell Lee. Youtuber yang memiliki 5,87 juta subscriber (pelanggan) ini berpendapat, Ferdian gagal melakukan prank secara benar dan menghibur.

Ia mengatakan, konten prank bersifat agak sensitif, sehingga perlu dipoles dengan cara kreatif. Di mata Fariz, Ferdian melakukan kesalahan besar karena keliru menerapkan konsep prank.

Prank itu menurut saya seperti reality show, tetapi semua di-setting. Orang yang dilibatkan untuk tampil dalam konten video itu diarahkan,” kata Fariz saat dihubungi, Jumat (15/5).

“Kalau tidak di-setting bisa menimbulkan pertengkaran. Tapi yang dilakukan Ferdian itu tidak di-setting, sehingga warga marah.”

Youtuber yang berjuluk “preman terkuat di bumi” ini menilai, Ferdian amatiran dan belum bisa mempertimbangkan dengan matang dampak dari konten yang dibuat.

“Mereka hanya senang-senang. Bisa dibuat dan diunggah, lalu dapat duit dari konten yang ditayangkan lewat Youtube,” ucapnya.

Fariz menyayangkan, ulah Ferdian akan membangun pandangan negatif publik kepada para youtuber.

“Hanya karena konten prank yang dilakukan Ferdian Paleka, nama youtuber menjadi tercoreng. Perbuatannya itu sangat tidak manusiawi,” katanya.

Selain dibuat dengan persetujuan orang-orang yang berkenan dijaili, menurut Fariz, ada cara lain dalam merancang konten prank. Salah satunya berkonsep eksperimen sosial. Misalnya, seorang karakter bisa ditampilkan jahat, tetapi sebenarnya berwatak baik.

“Contohnya, dia membawa bungkusan plastik yang sudah jorok dan lusuh. Eh ternyata ketika dibuka, isinya makanan yang masih baik, juga berisi duit. Ini bisa disebut juga prank,” ujarnya.

Selain itu, bila kesulitan melibatkan orang di luar tim pembuat konten, konsep prank bisa dilakukan dengan mengundang orang terdekat, semisal anggota keluarga. Hal ini dilakukan untuk mencegah potensi penolakan atau bahkan pelaporan karena perbuatan kurang menyenangkan.

Imbas dari aksi Ferdian, ke depan Fariz mengaku akan berupaya memilah dan menimbang dengan lebih bijak ide-ide yang akan dibuat dalam video konten miliknya. Selama ini, Fariz mengunggah video berbentuk sketsa komedi, yang disisipkan aksi berbahaya.

Ilustrasi seseorang menonton tayangan di Youtube. Foto unsplash.com.

Peran pemerintah dan pentingnya literasi digital

Menanggapi kasus Ferdian, Kepala Subdivisi Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Mohamad Arsyad mengungkapkan, sebaiknya aspek edukasi harus diutamakan dari fenomena penyebaran informasi elektronik di media sosial.

Menurut dia, pemerintah harus mengintervensi para pemilik platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, maupun Youtube untuk lebih selektif memantau isi konten yang ditayangkan.

Terlepas dari itu, Arsyad kurang sepakat dengan pasal dalam UU ITE yang digunakan untuk menjerat Ferdian dan dua rekannya.

“UU ITE ini tak menyelesaikan masalah karena penerapannya tidak bertujuan edukasi,” tutur Arsyad saat dihubungi, Minggu (17/5).

Arsyad selalu menyatakan penolakan atas penggunaan sejumlah pasal karet dalam UU ITE, yang cenderung dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berekspresi warga. Namun, ia setuju bahwa tindakan Ferdian tak termasuk sebagai aktivitas berekspresi.

“Tindakan Ferdian tidak tepat. Dia bukan berpendapat dan berekspresi karena ada unsur kesengajaan, dia melakukan tindakan bersifat tercela,” ujarnya.

Ia menyarankan, youtuber membuat konten yang bertujuan edukasi. “Jangan ajarkan hal yang kurang etis,” katanya.

Sementara itu, Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Sinta Dewi menjelaskan, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur konten video prank di Youtube.

Meski begitu, Sinta menyebut, ada ketentuan layanan bagi pembuat konten yang akan menayangkan video di Youtube. Ketentuan itu, menurut dia, memuat pernyataan bahwa Youtube tidak bertanggung jawab terhadap semua isi konten. Sementara tanggung jawab isi konten diserahkan kepada pembuatnya masing-masing.

“Karena Youtube ini platform asing, maka acuannya pada term of service itu saja. Jadi, tak bisa melakukan apa pun. Sedangkan penegakan hukum di Indonesia menggunakan Undang-Undang ITE,” kata Sinta saat dihubungi, Minggu (17/5).

“Penyaring” untuk konten-konten yang negatif, kata dia, bisa dilakukan penonton video Youtube dengan mengklik simbol jempol terbalik (unlike). Dengan jumlah unlike yang banyak, Sinta mengatakan, video bisa diturunkan atau ditarik.

“Youtube lalu bisa mencabut penayangannya dari akun youtuber yang dinilai tidak layak bagi publik,” katanya.

Sinta melanjutkan, Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengatur soal pelanggaran hukum penghinaan atau pencemaran nama baik secara elektronik. Kata Sinta, aturan itu cukup kuat untuk menjadi dasar sanksi hukum kepada youtuber, seperti yang dilakukan Ferdian.

Sinta mengatakan, tindakan Ferdian sangat melukai perasaan pihak yang menjadi sasaran keisengannya karena bertentangan dengan nilai kepatutan sosial.

“Kasus ini menimbulkan kerugian secara mental atau rasa malu. Menurunkan harga diri orang itu nilai kerugiannya bisa lebih besar daripada denda puluhan miliar,” ujarnya.

Disebabkan belum ada aturan ketat terhadap konten prank di Youtube, Sinta menyarankan youtuber semakin hati-hati dalam membuat konten.

Infografik youtuber. Alinea.id/Oky Diaz.

Youtuber kalau mau nge-prank harus atas kesepakatan dengan orang yang ada dalam konten videonya. Sebab Youtube tak bisa bertanggung jawab terhadap user dan isi tayangannya,” ujar Sinta.

Celah itu, menurut dia, semestinya dapat disikapi aktif oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Peran Kemkominfo diharapkan bisa mengelola laporan pengaduan dari publik, termasuk menyediakan regulasi pendukung untuk menyaring isi konten yang tak pantas.

Di sisi lain, Sinta memandang penting peningkatan literasi untuk membangun ekosistem digital yang lebih beretika, terutama di kalangan anak muda. Sebab, menurutnya Youtube telah menjadi media sosial yang sangat populer di kalangan milenial.

“Yang kurang ialah literasi digital. Sebenarnya pembuat konten boleh berinovasi, tapi ada saja yang bikin konten tidak benar, seperti berupa prank,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid