close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi masyarakat adat. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi masyarakat adat. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 11 Agustus 2025 09:00

Film-film tentang penyingkiran masyarakat adat

Film bisa menjadi medium yang tepat untuk mengeksplorasi bentuk penindasan masyarakat adat.
swipe

Diskriminasi terhadap masyarakat adat merupakan masalah serius yang terus berlangsung, ditandai dengan berbagai bentuk perlakuan tidak adil, marjinalisasi, dan pelanggaran hak-hak mereka. Hal ini mencakup perampasan tanah, kriminalisasi, serta kurangnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak tradisional mereka. 

Film bisa menjadi medium yang tepat untuk mengeksplorasi bentuk penindasan masyarakat adat. Berikut lima film yang mengangkat tema penyingkiran masyarakat adat.

Rabbit-Proof Fence (2002)

Film Rabbit-Proof Fence karya Phillip Noyce, sebuah drama Australia yang sangat menyentuh hati berdasarkan kisah nyata tiga anggota generasi Aborigin yang diculik yang menempuh perjalanan panjang dan berbahaya untuk kembali ke ibu mereka.

Molly (Everlyn Sampi), Gracie (Laura Monaghan), dan Daisy (Tianna Sansbury) dengan putus asa berusaha melarikan diri dari perwakilan pemerintah yang dikirim untuk menangkap dan memisahkan mereka dari keluarga. Anak-anak itu dibawa ke sebuah asrama.

Mereka pun melarikan diri, mengikuti pagar yang dinamai sesuai nama mereka, menjadikannya sebagai panduan untuk pulang. Rabbit-Proof Fence mencapai kekuatan terbesarnya saat berfokus pada karakter dan momen reflektif. Dalam salah satu adegan di sisi pagar, Daisy—anak bungsu dari ketiga gadis—duduk di tanah sambil mengeluh kakinya sakit. Molly lalu menggendongnya. Adegan sederhana ini menjadi salah satu momen yang paling menyentuh hati, bahkan lebih kuat daripada banyak adegan konfrontasi dalam film.

Dances With Wolves (1990)

Dalam arti tertentu, Dances With Wolves adalah fantasi sentimental, membayangkan dunia di mana orang kulit putih benar-benar tertarik mempelajari budaya penduduk asli Amerika, yang pernah hidup lebih dekat dalam harmoni dengan alam daripada siapa pun sebelum atau sesudahnya. Namun pengetahuan kita tentang sejarah—tentang bagaimana orang Indian diusir dari tanah mereka melalui genosida dan pencurian—memberikan bayangan kelam yang menyelimuti cerita ini.

Film ini meninggalkan tipu daya plot biasa demi menampilkan secara detail bagaimana orang asing bisa saling mengenal. Kisah dilihat dari sudut pandang Dunbar (Costner), seorang letnan Angkatan Darat Union yang kabur dari rumah sakit lapangan saat kakinya hendak diamputasi, lalu menantang maut dengan berkuda sendirian ke garis Konfederasi dalam misi bunuh diri.

Setelah kontak pertama dengan suku Sioux, ia mulai mencatat bagaimana hubungan mereka berkembang perlahan. Dunbar memiliki satu kualitas yang memungkinkannya menembus rasisme pada masanya: ia mampu menatap mata orang lain dan melihat pribadi tersebut, bukan prasangkanya.

Saat Dunbar mengenal budaya Sioux, kita sebagai penonton ikut mengenalnya. Suku Sioux sadar orang kulit putih akan datang, dan mereka ingin tahu rencana mereka. Mereka pernah melihat penjajah lain—Spanyol, Meksiko—namun mereka selalu pergi. Kali ini mereka khawatir orang kulit putih akan menetap. Mereka ingin Dunbar berbagi pengetahuan.

Atanarjuat: The Fast Runner (2000)

Film ini adalah karya pertama yang ditulis dalam bahasa Inuit, diangkat dari legenda suku nomaden Inuit, dan berlatar di bentangan es Arktik Kanada yang memukau sekaligus tanpa ciri khas. Salah satu daya tarik utamanya terletak pada latar tersebut, yang bagi penonton non-Inuit terasa seolah berada di luar ruang dan waktu. Kisahnya murni mitos, murni narasi: arketipe dan emosi digoreskan di atas kanvas putih bersih, tanpa jejak sejarah maupun detail dunia nyata yang dapat dikenali.

Atanarjuat menikahi Atuat yang cantik. Namun, Oki — putra kepala suku yang licik dan penuh ambisi — juga mencintainya dan berusaha membunuh sang pahlawan saat ia tertidur. Atanarjuat, yang terkenal akan kelincahannya, berhasil lolos dan berlari secepat mungkin di atas es, bahkan dalam keadaan telanjang bulat.

Meski sekilas tampak naif dan sederhana, film ini justru memikat lewat penampilan para pemerannya — sebagian besar aktor non-profesional — yang bermain dengan keindahan, ketulusan, dan nuansa yang begitu memikat.

Kanehsatake: 270 Years of Resistance (1993)

Film dokumenter ini meraih 18 penghargaan internasional, termasuk menjadi dokumenter pertama yang memenangkan gelar Film Kanada Terbaik di Festival Film Internasional Toronto.

Film ini merekam salah satu konfrontasi paling kontroversial antara pemerintah Kanada dan masyarakat adat. Kisahnya berpusat pada perselisihan atas tanah adat Kanien'kéhaka di Quebec pada musim panas 1990—peristiwa yang kini dikenal sebagai Krisis Oka. Lahan tersebut rencananya akan diubah menjadi lapangan golf, memicu pendudukan oleh warga dan pejuang bersenjata. Saat ketegangan memuncak, polisi provinsi Quebec digantikan oleh Tentara Kanada, yang kemudian menutup akses masuk dan menghalangi media meliput dari dekat.

Tanah Moyangku (2023)

Film dokumenter yang disutradarai Edy Purwanto ini mengangkat perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan wilayah leluhur mereka. Film berdurasi 84 menit ini diadaptasi dari hasil penelitian kolaboratif antara peneliti Belanda—Ward Berenschot dan Otto Hospes—dengan peneliti Indonesia—Afrizal dan Ahmad Dhiaulhaq. Hasil penelitian tersebut awalnya diterbitkan dalam buku Kehampaan Hak, yang kemudian ia visualisasikan menjadi film dengan judul berbeda. Bagi Masyarakat Adat, tanah itu adalah warisan tak ternilai dari leluhur, yang harus dijaga dan dipertahankan. Namun, realitasnya sering kali pahit: tanah adat dirampas atau disalahgunakan demi kepentingan segelintir oligarki yang merusak dan tak bertanggung jawab.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan