sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Freckles: Dulu dibenci, sekarang diidamkan

Tren freckles muncul sejak 2015, namun populer setelah pesohor Meghan Markle memamerkan bintik-bintiknya itu di Royal Wedding.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 30 Jul 2018 12:20 WIB
Freckles: Dulu dibenci, sekarang diidamkan

Sejak pesohor Meghan Markle menikah dengan Pangeran Harry, ia terus menjadi sorotan. Salah satu hal yang disorot dari Meghan adalah gaya rias wajahnya yang minimalis, sehingga menunjukkan freckles atau bintik-bintik kecil coklat pada wajah dan bagian tubuh lain, yang ia miliki.

Segera setelah itu, muncul tagar #freckleslikemeghan yang menunjukkan para perempuan tanpa malu-malu lagi menutupi freckles mereka. Namun, perempuan-perempuan berkulit mulus yang tak memiliki freckles tak kehabisan ide. Ada yang menato wajahnya dengan bintik-bintik agar terlihat seperti freckles yang dimiliki Meghan.

Tren rias wajah freckles mulai menjadi sorotan sekitar 2015, ketika seorang perempuan Los Angeles Remi Brixton memulai kampanye untuk mendapatkan pendanaan di Kickstarter. Remi mengatakan di laman Kickstarter-nya, "Tidak ada yang lebih cantik bagiku selain kulit yang alami dan freckles yang segar. Untukku, freckle adalah tanda pemimpi yang memberontak, petualangan yang liar, dan kecantikan alami.”

Remi berencana membuat stensil yang ditempelkan ke wajah untuk membuat freckle semi permanen. Riasan dari stensil tersebut akan bertahan selama dua hari. Kampanye pendanaan yang dilakukan Remi tidak berhasil. Dari targetnya meraih US$ 215.000, ia hanya berhasil mengumpulkan US$ 21.116.

Setelahnya, pada 2016 freckle perlahan menjadi tren. Saat itu, freckle dengan model pelangi, glitter, maupun galaksi muncul menjadi tren. Hingga akhirnya pada 2017, penyanyi Selena Gomez mengaplikasikan freckle ke wajahnya di video musik "Fetish" miliknya.

Video musik tersebut sontak memicu perdebatan di media sosial. Tak sedikit warganet yang mengungkapkan kemarahannya pada Selena. Seorang warganet mengatakan, “Freckles palsu? Yang benar saja?”

Freckles yang sebelumnya berusaha dihilangkan, kini menjadi tren kecantikan. Tren kecantikan freckle sendiri mendapat kecaman dari orang-orang yang memiliki freckle asli. Tara Holstein dalam situs The Odyssey Online misalnya, menulis sebagai orang yang memilki freckle asli, ia membenci tren tersebut.

“Aku selalu diingatkan jika freckles adalah sebuah ciuman kecil dari surga, tetapi, perempuan-perempuan ini lahir dengan muka mulus yang selalu aku mimipikan. Pada akhir hari, mereka bisa membasuh wajah mereka dan freckle mereka menghilang, tetapi tidak denganku,” tulis Tara.

Sponsored

Tara menulis dirinya ketakutan saat musim panas ketika freckle miliknya menjadi gelap, tetapi, kulitnya tidak. “Aku harus memikirkan risiko meningkatnya kanker kulit karena freckle yang aku punya,” kata Tara.

Selain Tara, Melody Mikel di situs Refinery29 juga menuliskan kekesalannya dengan freckle yang dimilikinya. “Untuk waktu yang lama, orang-orang memperlakukanku seolah-olah aku tidak sehat dan memiliki kelainan kulit, dan sekarang freckle dianggap sehat dan cantik,” tulis Melody.

Melody melihat tren freckle sungguh membingungkan. Ia sendiri belum menentukan bagaimana perasaannya soal freckle palsu tersebut. “Sesungguhnya, aku sedikit tersakiti dengan tren freckle itu, karena baru dua minggu yang lalu kalian semua membuat freckle yang tak bisa dan tak ingin aku hilangkan sebagai lelucon. Sekarang kalian meletakkan freckle di wajah kalian karena seseorang bilang itu lucu,” tulisnya.

Sharon Romm dalam penelitiannya “The Changing Face of Beauty” melihat sejak1960, tidak ada standar kecantikan yang baku. Wajah dengan air muka yang tak biasa seperti alis milik Brooke Shields atau bintik-bintik milik Meghan Markle menjadi sesuatu yang bisa diterima bahkan diinginkan.

 

Wajah-wajah di majalah fesyen seperti Vogue, kata Romm, mencerminkan imaji wajah yang ingin ditiru dan disaingi oleh perempuan. Untuk menjelaskan ketertarikan kita pada tren kecantikan, Sigmund Freud pernah berkata, kenikmatan pada kecantikan memiliki sebuah perasaan yang ganjil dan memabukkan. Kecantikan tidak memiliki kegunaan yang jelas—tetapi peradaban tidak bisa begitu saja melewati kecantikan.

Konstruksi kecantikan barat

Tren freckle nyatanya tak hanya menjamah perempuan-perempuan di Eropa dan Amerika sana. Perempuan-perempuan Indonesia juga mulai mencoba tren kecantikan ini. Salah satu sosok yang banyak mencuri perhatian karena riasan frecklenya adalah artis Tasya Kamila. Ia menunjukkan gaya rias freckle di foto pra-weddingnya.

Freckle sendiri banyak dimiliki oleh redheads, atau orang-orang berambut merah yang memiliki sedikit melanin di tubuh mereka. Para redheads tidak bisa membuat kulit mereka kecoklatan ketika berjemur, karena jumlah melanin yang minim tersebut.

Selain redheads, freckle juga banyak dimiliki oleh orang-orang kulit putih atau mereka yang berasal dari ras kaukasia. Sementara, orang-orang berkulit hitam yang berasal dari ras negroid tak lantas membuat mereka bebas dari freckle. Banyak orang-orang berkulit hitam yang juga memilki freckle di kulitnya.

Sebaliknya, orang-orang Indonesia jarang ada yang memiliki freckle di kulit mereka. Tren rias wajah freckle yang diikuti oleh perempuan-perempuan Indonesia tak bisa dilepaskan dari konstruksi kecantikan akan kulit putih. Keterpesonaan bangsa Indonesia akan kulit putih yang dianggap cantik tidak bisa dilepaskan dari konteks historis.

L. Ayu Saraswati dalam bukunya “Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” mencatat, dalam beberapa kepustakaan tertua di Indonesia seperti puisi epos "Ramayana", yang diadaptasi pada akhir abad ke-9 menyebutkan, perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan dominan pada masa itu.

Kemudian, ketika kolonialisme Belanda menancapkan kukunya di Indonesia, citra cantik digambarkan dengan perempuan berwajah putih bercahaya bak bulan purnama. “Ketika Jepang berkuasa sebagai kekuatan kolonial baru di Indonesia sejak 1942 hingga 1945, mereka menyebarkan ideal kecantikan yang baru, tetapi putih tetap menjadi warna kulit yang disukai,” tulis Ayu.

Ketika Soeharto berkuasa, budaya pop Amerika menjadi salah satu pengaruh terkuat yang dengannya ideal cantik putih diasosiasikan. Hingga hari ini, konstruksi kecantikan yang terbentuk tak jauh-jauh dari tren yang berkembang di budaya pop Amerika, termasuk tren freckles ini. Dengan mengikuti tren kecantikan tersebut, perempuan Indonesia bisa memosisikan dirinya di hierarki global.

Perempuan diganjar dengan komentar-komentar menyenangkan seperti “kamu terlihat cantik dengan freckles, wajahmu tampak alami,” merupakan contoh komentar surveilans atau pengawasan yang tanpa henti dijalani perempuan.

Freckles alami dimiliki perempuan redheads atau kulit putih dari ras Kaukasia./DIY photography

Dalam proses ini freckles dinormalisasi sebagai standar kecantikan di berbagai negara yang berbeda. Artinya, cantik putih Indonesia dengan freckle menggoyang, menantang, tapi sekaligus juga mengafirmasi ulang putih dan tren freckle sebagai warna unggulan dan tren idaman di berbagai negara.

Menulis dalam konteks barat, psikolog John Williams menyatakan orang mengasosiasikan putih yaitu “baik” pada ras yang terkode putih, dan makna hitam sebagai “buruk” pada ras yang terkode hitam.

Sementara ahli geografi Yi Fu Tuan juga mengakui, dalam kebudayaan barat dan non-barat, meski putih memiliki beberapa konotasi negatif, warna ini umumnya memiliki makna positif seperti “terang, harapan, bahagia, dan kemurnian”, sementara hitam memiliki makna negatif.

Berita Lainnya
×
tekid